Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN Moonlight-film tentang seorang gay berkulit hitam-pada acara Oscar tahun lalu membunyikan gong di Hollywood. Setelah terlalu lama dengan nominasi yang serba kulit putih hingga memunculkan protes #OscarsSoWhite, ajang penghargaan film bergengsi itu akhirnya memberi tempat bagi karya-karya sineas kulit berwarna yang juga mengangkat cerita tentang mereka. Gaungnya masih berlanjut dan tahun ini kita melihat nominasi Oscar yang jauh lebih variatif dibanding sebelumnya.
Ruang untuk keberagaman itu terbuka semakin lebar dengan dirilisnya Black Panther. Sebuah film superhero dari jagat raya Marvel yang digdaya sekaligus amat putih. Sebuah film yang belum pernah kita lihat karena sang pahlawan super adalah pria Afrika tanpa sedikit pun gen Kaukasoid di dalam dirinya: Pangeran T’Challa dari Wakanda.
Rasanya tak berlebihan menyebut Black Panther sebagai film terbaik Marvel, bahkan film superhero terbaik. Bukan dari segi suspense atau kedahsyatan teknologi yang digunakan, tapi dari suara jernih yang disampaikannya yang mewakili perbedaan ras.
Sejak diumumkan pada 2005 bahwa Black Panther akan menjadi satu dari sepuluh superhero Marvel yang dibuatkan film tunggalnya, antisipasi tinggi telah merebak. Namun baru pada 2014 isyarat kemunculan Black Panther terasa nyata lewat cameo-nya dalam Captain America: Civil War. Chadwick Boseman didapuk sebagai Black Panther sejak saat itu.
Inilah film Marvel pertama yang hampir semua pemerannya adalah Afro-Amerika. Selain Boseman, ada Lupita Nyong’o sebagai Nakia, Michael B. Jordan sebagai Erik Killmonger, Danai Gurira sebagai Okoye, Daniel Kaluuya sebagai W’Kabi, dan seterusnya. Deretan aktor itu mendapat arahan sutradara muda yang juga berdarah Afro-Amerika, Ryan Coogler.
Coogler punya visi yang jelas. Selain penggemar Black Panther sejak zaman komik, ia sendiri bagian dari kelompok yang diangkat dalam film ini yang di dunia nyata punya sejarah panjang represi. Ia, misalnya, memilih Oakland sebagai salah satu latar film ini. Oakland adalah kota kelahiran Coogler sekaligus tempat pembuatan film pertamanya, Fruitvale Station, yang berdasarkan pada kisah nyata seorang pemuda kulit hitam yang tewas ditembak polisi kulit putih akibat prasangka. Maka, untuk Black Panther, Coogler menggali sedalam-dalamnya jantung tradisi Afrika untuk menghadirkan Afrika yang jauh dari sangkaan kita semua.
Hasilnya, Wakanda yang merupakan bagian terbaik film ini. Wakanda adalah negara fiksi yang hanya ada dalam atlas dunia bikinan Marvel. Bahkan di jagat raya Marvel pun Wakanda adalah sebuah misteri. Ia tak punya hubungan dagang dengan negara lain, tertutup, dan hanya dikenal sebagai negara agraris yang miskin. Padahal, ketika kabut di tengah sabana dan gunung-gunung Afrika tersibak, kita melihat Wakanda yang aduhai canggihnya. Gedung pencakar langit futuristik berdampingan harmonis dengan pasar tradisional yang hidup, mobil dan kereta api melesat kencang di udara, jalanan penuh manusia berkostum warna-warni cerah khas suku-suku Afrika yang amat akrab dengan teknologi maju.
Rahasianya adalah vibranium, logam superkaya manfaat yang melimpah di bawah tanah Wakanda. Contoh kekuatan vibranium terlihat pada perisai Kapten Amerika yang tak mempan tergores oleh apa pun. Tambang vibranium inilah yang selama ratusan tahun dijaga rapat oleh rakyat Wakanda agar tak terendus negara lain yang sangat mungkin akan menggunakannya dengan serakah. Wakanda dapat dianggap sebagai imaji bagaimana jika negara-negara Afrika (dan negara lain di dunia) tak pernah disentuh penjajah dan dibiarkan mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran rakyatnya sendiri.
Karena mengandalkan peralatan canggih dari vibranium alih-alih kekuatan super, Black Panther lebih mengingatkan pada James Bond ketimbang rekan-rekannya di Marvel. Adegan perkelahian di kasino dan kebut-kebutan di jalanan Busan tampak seperti adegan yang biasa dialami Bond. Musuh Black Panther yang awal-awal dimunculkan pun-Ulysses Klaue (Andy Serkiss)-sedikit mengecewakan karena ia penjahat bermotif dangkal pada umumnya yang hanya peduli pada uang yang dapat dikeruk dari penjualan vibranium.
Untunglah Klaue buru-buru menepi dan lawan Black Panther sebenarnya pun muncul, yaitu Killmonger, yang diperankan dengan begitu pantas oleh Michael B. Jordan. Killmonger tak punya kekuatan super, hanya tekad baja yang dapat membuat kita bertanya-tanya sebenarnya tindakan mana yang lebih benar. Apakah menyimpan vibranium demi sebesar-besar kemakmuran sendiri dan menjauhkannya dari kaum kapitalis serakah atau membaginya dengan kelompok marginal lain di seluruh dunia agar mereka bisa-seperti Wakanda-punya posisi tawar? Membangun dinding atau membangun jembatan?
Black Panther menghadirkan apa yang jarang ada dalam film superhero kebanyakan. Film ini adalah sebuah pernyataan politis tentang bagaimana keberagaman manusia di dunia sebaiknya direpresentasikan dalam film-film yang kita tonton. Dari pasukan tempur perempuan superkeren tanpa harus berseragam mini, akar tradisi yang amat kuat dan nyata, hingga peradaban di sudut lain dunia-selain Manhattan, London, Paris, atau kota besar mainstream lainnya yang selalu muncul dalam film-film aksi. Sudah saatnya setiap anak dari ras mana pun di bagian dunia mana pun dapat melihat bagian dari dirinya sendiri muncul dalam film yang dibuat dengan baik. Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo