Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dago, Tanpa Sebatang Pohon Pun

Bandung terancam kering, hutan Dago sebagai sumber air tergusur pemukiman, antara lain pemukiman untuk perumahan dosen ITB. (kt)

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDUNG dilanda dua kesulitan sekaligus. Pertama, kekurangan air bersih yang sudah mulai dirasakan sejak awal bulan ini. Kedua, berbagai protes terhadap penebangan hutan di bukit-bukit Dago yang sejak dulu diandalkan sebagai sumber air minum bagi 1,5 juta jiwa penduduk kota itu. Maka segera timbul heboh. Sebagian penduduk segera melontarkan protes. Mereka tidak setuju hutan Dago di Bandung Utara itu dilenyapkan untuk dijadikan pemukiman, terlebih lagi untuk perumahan dosen ITB. Sebab tak mustahil pihak lain akan beramai-ramai mengikuti jejak lembaga perguruan tinggi yang tersohor itu. Belum lagi kekhawatiran soal itu reda, persediaan air di kota ini telah menyusut dengan cepat. Hujan tidak turun sejak dua pekan berselang, hingga air sumur di beberapa pemukiman berubah menjadi kuning dan sedikit bau. Bahkan sudah banyak sumur yang kering. Penyusutan serupa juga terjadi pada bak penampungan PD Air Minum Kodya Bandung. Debit air yang biasanya 2 m, kini tinggal 1,75 m. Dir-Ut PDAM Bandung, Ir. Eddy Kurniadi, mengakui keadaan air di Bandung cukup mencemaskan. "Penurunan air cukup drastis," ujarnya. Tapi tak dijelaskan usaha-usaha menanggulanginya. Dibeli Orang Jakarta Dalam Lokakarya Dasawarsa Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan awal bulan ini di Bali, Asisten Menteri PPLH, Ir. Rachmat Wiriadinata, memang telah menyinggung persoalan yang sedang dihadapi Kota Bandung ini. Menurut Rachmat, pemanfaatan tanah di Bandung Utara memberi kesan gundulnya kawasan itu karena belum dipolakan dengan baik. Namun tambahnya pula, dilarangnya pengembangan pemukiman di sana tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya diisyaratkan, Bandung Utara sebagai sumber air kemungkinan besar bisa diselamatkan, jika saja wilayah pemukiman ditingkatkan. Artinya, luas lahan dan luas bangunan diatur sedemikian rupa, hingga sumber air terpelihara. Bisa jadi, bertolak dari pemikiran seperti itu, maka penggundulan bukit Pasirmuncang (bagian dari Dago) di Bandung Utara itu, berlangsung terus meskiprotes dari kanan kiri datang bertubi-tubi. Hari-hari pekan lalu, misalnya, dua buldozer menderu-deru di kawasan itu, merapikan tanah untuk perumahan dosen ITB seluas 15 hektar. Kini puncak bukit itu sudah rata: tandus, tanpa sebatang pohon pun tersisa. "Sejak ada proyek itu, udara di sini memang agak panas,"-kata Sunarya, 50 tahun, seorang penduduk yang berdiam di kaki bukit. Sebenarnya sebagian besar bukit di kawasan Dago sudah terancam gundul. Satu kilometer dari kompleks dosen ITB itu, juga sedang dibangun kampus Universitas Islam Bandung di atas tanah seluas 10 hektar. Begitu pula, tiga kilometer dari Taman Makam Pahlawan Cikutra nampak berdiri rumah murah yangdibangun dengan fasilitas BTN. Belum lagi kegiatan penduduk membangun proyek rumah mewah di sana. "Tanah di sini sudah dibeli orang Bandung dan Jakarta," ucap Endang, 38 tahun, ayah dua anak yang bermukim di Kampung Pasirmuncang. Menurut Endang, dia sendiri telah nlenjual tanah miliknya 4 hektar. "Dulu saya menawarkan Rp 3000 pertumbal (10 m2), tak ada yang mau beli," kata Endang polos. "Sekarang malah berebutan," katanya heran. Ia tidak menycbutkan berapa persis harga tanah di situ. Pembangunan pemukiman yang menggebu-gebu di sana, rupanya sulit dicegah, meskipun Direktorat PPA Jawa Barat, misalnya, menghendaki agar hutan seluas 12.000 hektar, dari Tangkubanperahu ke Gunung Manglayang (yang melewati kawasan Dago), dijadikan cagar alam dan hutan wisata. Bahkan Menteri Pertanian pada Juni 1980 menetapkan hutan seluas 590 hektar di Dago Pakar, sekitar proyek ITB dan Unisba itu, sebagai taman wisata yang pada 1965, tatkala Mashudi masih menjadi Gubernur Ja-Bar, Dago Pakar diresmikan sebagai "Kebun Raya Ir. Haji Juanda". Tentu saja apa yang terjadi dewasa ini di sana membuat banyak warga Bandung yang kecewa. Lebih-lebih mereka yang mengenal riwayat bukit itu tempo dulu. "Memang proyek-proyek di sana tidak langsung merusak Taman Wisata," kata sumber TEM PO di PPA yang tidak mau disebut namanya. Hanya saja, yang lebih mencemaskan, pembangunan pemukiman yang sekarang akan segera memancing terbangunnya pemukiman baru yang lain. "Akhirnya dalam jangka panjang merusak lingkungan juga," ujar sumber itu. Proyek perumahan dosen ITB itu, menurut Rektor ITB Dr. Hariadi Supangkat, sudah direncanakan sejak 5 tahun lalu. Kesulitan perumahan baik bagi tenaga pengajar maupun karyawan telah mendorong pembangunan perumahan, yang menurut Hariadi toh tidak dilakukan secara sembarangan. Artinya ITB sudah memperhitungkan, pembangunan pemukiman semacam itu tidak sampai merusak lingkungan. "Memang ada yang mengatakan, bila kawasan itu dibangun, Bandung bisa kekeringan," ujar Supangkat. "Bila pendapat itu sepenuhnya benar, tentu kami tidak akan membangun perumahan di sini," ujar Rektor ITB itu lagi, tanpa menegaskan pendapat mana yang 100% benar. Simpang Siur E.Z. Muttaqien, Kektor Unisba mengemukakan hal yang sama. "Kami ini lembaga perguruan tinggi, karena itu Unisba tidak akan sembarang berbuat," cetusnya memastikan. Tapi dalam pada itu Ketua Bappeda Ja-Bar Ateng Syafruddin berpendapat, selama belum ada penelitian tuntas, sebaiknya kawasan itu jangan dulu dibangun." Kalaupun dibangun, yang diizinkan hanya 30% dari seluruh areal di sana. Karena itu, beberapa waktu yang lalu, Menteri PPLH Emil Salim pernah berpesan, agar sebelum membangun di situ hendaklah berkonsultasi dulu dengan Bappeda. "Tapi sejauh ini belum ada yang minta saran," kata Syafruddin, "ada juga perusahaan real-estate, tapi permohonannya kami tolak." Suara pro dan kontra masih simpang siur, bahkan sampai Menmud Cosmas Batubara pekan lalu berkunjung ke sana. Tanpa menuding siapa pun Cosmas mengingatkan, "kita tidak bisa membiarkan Kota Bandung kehabisan air." Karena itu dia mendukung usaha penertiban terhadap bukit-bukit di utara Bandung--tapi penertiban yang diarahkan. "Kita tentu tidak mungkin membongkar bangunan yang sudah ada, sebab pemerintah tentu tak cukup dana. Tapi dengan cara toleransi itu saya kira akan ditemukan jalan keluar," kata Cosmas yang juga menjanjikan bantuan Pemerintah Pusat kepada Pemda untuk penertiban itu. Tentang kelangkaan air akhir-akhir ini, menurut Wagub Ja-Bar, Suhud Warnaen, PDAM lewat konsultannya telah meneliti keadaan tanah di sana: berapa persen peresapan air, bagian mana yang boleh dibahgun dan yang mana musti dihutankan. Hasil penelitian rupanya belum diumumkan. "Kalau ternyata bangunan-bangunan di sana mengganggu jalur air dalam tanah, apa salahnya kita tinjau lagi. Yang penting mencari modus agar daerah itu bisa dibangun tanpa merusak kelestarian alam," ujar Wagub tanpa menyinggung kesulitan air yang kini mengancam penduduk Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus