BANDUNG dilanda dua kesulitan sekaligus. Pertama, kekurangan air
bersih yang sudah mulai dirasakan sejak awal bulan ini. Kedua,
berbagai protes terhadap penebangan hutan di bukit-bukit Dago
yang sejak dulu diandalkan sebagai sumber air minum bagi 1,5
juta jiwa penduduk kota itu.
Maka segera timbul heboh. Sebagian penduduk segera melontarkan
protes. Mereka tidak setuju hutan Dago di Bandung Utara itu
dilenyapkan untuk dijadikan pemukiman, terlebih lagi untuk
perumahan dosen ITB. Sebab tak mustahil pihak lain akan
beramai-ramai mengikuti jejak lembaga perguruan tinggi yang
tersohor itu.
Belum lagi kekhawatiran soal itu reda, persediaan air di kota
ini telah menyusut dengan cepat. Hujan tidak turun sejak dua
pekan berselang, hingga air sumur di beberapa pemukiman berubah
menjadi kuning dan sedikit bau. Bahkan sudah banyak sumur yang
kering. Penyusutan serupa juga terjadi pada bak penampungan PD
Air Minum Kodya Bandung. Debit air yang biasanya 2 m, kini
tinggal 1,75 m.
Dir-Ut PDAM Bandung, Ir. Eddy Kurniadi, mengakui keadaan air di
Bandung cukup mencemaskan. "Penurunan air cukup drastis,"
ujarnya. Tapi tak dijelaskan usaha-usaha menanggulanginya.
Dibeli Orang Jakarta
Dalam Lokakarya Dasawarsa Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan
awal bulan ini di Bali, Asisten Menteri PPLH, Ir. Rachmat
Wiriadinata, memang telah menyinggung persoalan yang sedang
dihadapi Kota Bandung ini. Menurut Rachmat, pemanfaatan tanah di
Bandung Utara memberi kesan gundulnya kawasan itu karena belum
dipolakan dengan baik. Namun tambahnya pula, dilarangnya
pengembangan pemukiman di sana tidak akan menyelesaikan
persoalan. Sebaliknya diisyaratkan, Bandung Utara sebagai sumber
air kemungkinan besar bisa diselamatkan, jika saja wilayah
pemukiman ditingkatkan. Artinya, luas lahan dan luas bangunan
diatur sedemikian rupa, hingga sumber air terpelihara.
Bisa jadi, bertolak dari pemikiran seperti itu, maka
penggundulan bukit Pasirmuncang (bagian dari Dago) di Bandung
Utara itu, berlangsung terus meskiprotes dari kanan kiri datang
bertubi-tubi. Hari-hari pekan lalu, misalnya, dua buldozer
menderu-deru di kawasan itu, merapikan tanah untuk perumahan
dosen ITB seluas 15 hektar.
Kini puncak bukit itu sudah rata: tandus, tanpa sebatang pohon
pun tersisa. "Sejak ada proyek itu, udara di sini memang agak
panas,"-kata Sunarya, 50 tahun, seorang penduduk yang berdiam di
kaki bukit.
Sebenarnya sebagian besar bukit di kawasan Dago sudah terancam
gundul. Satu kilometer dari kompleks dosen ITB itu, juga sedang
dibangun kampus Universitas Islam Bandung di atas tanah seluas
10 hektar. Begitu pula, tiga kilometer dari Taman Makam Pahlawan
Cikutra nampak berdiri rumah murah yangdibangun dengan fasilitas
BTN. Belum lagi kegiatan penduduk membangun proyek rumah mewah
di sana. "Tanah di sini sudah dibeli orang Bandung dan Jakarta,"
ucap Endang, 38 tahun, ayah dua anak yang bermukim di Kampung
Pasirmuncang.
Menurut Endang, dia sendiri telah nlenjual tanah miliknya 4
hektar. "Dulu saya menawarkan Rp 3000 pertumbal (10 m2), tak
ada yang mau beli," kata Endang polos. "Sekarang malah
berebutan," katanya heran. Ia tidak menycbutkan berapa persis
harga tanah di situ.
Pembangunan pemukiman yang menggebu-gebu di sana, rupanya sulit
dicegah, meskipun Direktorat PPA Jawa Barat, misalnya,
menghendaki agar hutan seluas 12.000 hektar, dari
Tangkubanperahu ke Gunung Manglayang (yang melewati kawasan
Dago), dijadikan cagar alam dan hutan wisata. Bahkan Menteri
Pertanian pada Juni 1980 menetapkan hutan seluas 590 hektar di
Dago Pakar, sekitar proyek ITB dan Unisba itu, sebagai taman
wisata yang pada 1965, tatkala Mashudi masih menjadi Gubernur
Ja-Bar, Dago Pakar diresmikan sebagai "Kebun Raya Ir. Haji
Juanda".
Tentu saja apa yang terjadi dewasa ini di sana membuat banyak
warga Bandung yang kecewa. Lebih-lebih mereka yang mengenal
riwayat bukit itu tempo dulu. "Memang proyek-proyek di sana
tidak langsung merusak Taman Wisata," kata sumber TEM PO di PPA
yang tidak mau disebut namanya. Hanya saja, yang lebih
mencemaskan, pembangunan pemukiman yang sekarang akan segera
memancing terbangunnya pemukiman baru yang lain. "Akhirnya dalam
jangka panjang merusak lingkungan juga," ujar sumber itu.
Proyek perumahan dosen ITB itu, menurut Rektor ITB Dr. Hariadi
Supangkat, sudah direncanakan sejak 5 tahun lalu. Kesulitan
perumahan baik bagi tenaga pengajar maupun karyawan telah
mendorong pembangunan perumahan, yang menurut Hariadi toh tidak
dilakukan secara sembarangan. Artinya ITB sudah memperhitungkan,
pembangunan pemukiman semacam itu tidak sampai merusak
lingkungan. "Memang ada yang mengatakan, bila kawasan itu
dibangun, Bandung bisa kekeringan," ujar Supangkat. "Bila
pendapat itu sepenuhnya benar, tentu kami tidak akan membangun
perumahan di sini," ujar Rektor ITB itu lagi, tanpa menegaskan
pendapat mana yang 100% benar.
Simpang Siur
E.Z. Muttaqien, Kektor Unisba mengemukakan hal yang sama. "Kami
ini lembaga perguruan tinggi, karena itu Unisba tidak akan
sembarang berbuat," cetusnya memastikan. Tapi dalam pada itu
Ketua Bappeda Ja-Bar Ateng Syafruddin berpendapat, selama belum
ada penelitian tuntas, sebaiknya kawasan itu jangan dulu
dibangun." Kalaupun dibangun, yang diizinkan hanya 30% dari
seluruh areal di sana. Karena itu, beberapa waktu yang lalu,
Menteri PPLH Emil Salim pernah berpesan, agar sebelum membangun
di situ hendaklah berkonsultasi dulu dengan Bappeda. "Tapi
sejauh ini belum ada yang minta saran," kata Syafruddin, "ada
juga perusahaan real-estate, tapi permohonannya kami tolak."
Suara pro dan kontra masih simpang siur, bahkan sampai Menmud
Cosmas Batubara pekan lalu berkunjung ke sana. Tanpa menuding
siapa pun Cosmas mengingatkan, "kita tidak bisa membiarkan Kota
Bandung kehabisan air." Karena itu dia mendukung usaha
penertiban terhadap bukit-bukit di utara Bandung--tapi
penertiban yang diarahkan. "Kita tentu tidak mungkin membongkar
bangunan yang sudah ada, sebab pemerintah tentu tak cukup dana.
Tapi dengan cara toleransi itu saya kira akan ditemukan jalan
keluar," kata Cosmas yang juga menjanjikan bantuan Pemerintah
Pusat kepada Pemda untuk penertiban itu.
Tentang kelangkaan air akhir-akhir ini, menurut Wagub Ja-Bar,
Suhud Warnaen, PDAM lewat konsultannya telah meneliti keadaan
tanah di sana: berapa persen peresapan air, bagian mana yang
boleh dibahgun dan yang mana musti dihutankan. Hasil penelitian
rupanya belum diumumkan. "Kalau ternyata bangunan-bangunan di
sana mengganggu jalur air dalam tanah, apa salahnya kita tinjau
lagi. Yang penting mencari modus agar daerah itu bisa dibangun
tanpa merusak kelestarian alam," ujar Wagub tanpa menyinggung
kesulitan air yang kini mengancam penduduk Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini