Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kentongan Di Tanjung Kecil

Penduduk kampung Muara Baru, Jakarta Utara menolak penggusuran terhadap rumah mereka. Daerah tersebut akan dijadikan pergudangan. (kt)

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDERA merah putih berkibar di tiap rumah. Berbagai poster terparnpang di sana-sini dan tiga buah drum dijajar menutup jalan masuk kampung itu. Penduduk Muara Baru, sebuah kampng di timur waduk Pluit Jakarta Utara, sedang siaga menghadapi rencana penggusuran terhadap rumah mereka. Penggusuran itu--dilakukan Walikota Jakarta Utara Koestamto--sudah dimulai pekan lalu tapi gagal. Penduduk menghadapi pihak petugas dan melempari mobil itu. Kaca depan pecah. Nasib yang sama menimpa mobil petugas pamongpraja yang masuk Muara Baru beberapa saat kemudian. Tapi Koestamto.tidak akan membatalkan rencana penggusuran itu. Batas waktu ditetapkan agar dalam minggu ini juga rumah-rumah tersebut sudah dirubuhkan. Menurut Koestamto daerah itu akan dijadikan pergudangan. Muara Baru terletak di sebuah tanjung kecil yang tidak terdapat dalam peta Jakarta. Tapi namanya pernah terkenal ketika Mei lalu dilanda kebakaran. Ada sebuah jalan menghubungkan kampung ini dengan wilayah lain lewat kampung Luar Batang. Menghadapi batas waktu yang baru penduduk sudah menyediakan kentongan. Kalau benda itu dipukul bertalu-talu mereka berkumpul menghadang petugas yang datang. Sedang bendera yang terus berkibar di tiap rumah itu, menurut penuturan penduduk pada Johannes Batubara dari TEMPO, dimaksudkan sebagai pernyataan mereka pun warga negara Indonesia yang berhak akan tempat tinggal. Pemda DKI, semula mengizinkan berdirinya bangunan di lokasi bekas kebakaran itu dengan catatan bersifat semi permanen. Mereka terkejut ketika tiba-tiba bangunan itu harus dibongkar. Dua alasan dikemukakan Ramona Ginting, Kepala Humas Pemda DKI, mengapa daerah itu harus dikosongkan. Pertama karena daerah itu airnya asin tidak sehat untuk pemukiman dan kedua karena menurut perencanaan kota wilayah itu untuk pergudangan. Kepada penduduk ditawarkan tiga alternatif: diberi tempat penampungan baru di Muara Kapuk (belasan kilometer ke barat), transmigrasi atau menerima ganti rugi. Tapi hanya bangunan yang diberi ganti rugi Rp 9.000/mÿFD. Tanah tidak diberi ganti rugi lantaran mereka menempati tanah negara. Beberapa penduduk Muara Baru mengakui tanah itu bukan hak milik. Tapi mereka heran kalau ada orang lain yang mengaku memiliki sertifikat tanah itu. Penduduk menuduh Pemda DKI menjual tanah bekas kcbakaran itu pada beberapa orang, antara lain yang meIakukan pembayaran ganti rugi di kantor camat. Lewat Pengadilan Sebagian besar dari 560 kk yang harus digusur memang sudah menerima ganti rugi. "Saya terpaksa menerima karena diancam dan ditakut-takuti RT RW, lurah dan camat," ujar Sutrisna, 40 tahun, sopir Indo Chemical yang tinggal di Muara Baru sejak 7 tahun lalu. "Saya mengambil uang penggantian di kantor camat," katanya melanjutkan. "Yang membayar Cina. Petugas Kamtib hanya mengawasi," tutur Sutrisna yang menerima uang pindah sebesar Rp 360.000 dan Rp 210.000 untuk dua rumahnya. Cara seperti itu yang membuat penduduk curiga. Masih ada sejumlah kecil yang menolak ganti rugi. Sake, 34 tahun, seorang nclayan asal Sulawesi Selatan, menolak karena diangFap terlalu kecil. Sudah 10 tahun menetap di Muara Baru, Sake bertekad untuk bertahan, apa pun yang terjadi. "Harga tanah sekarang tidak bisa dijangkau dengan uang sekecil itu," katanya. "Tanah empang saja sekarang mencapai Rp 30 ribu per mÿFD." Sedang Koestamto menyatakan harga tanah di Muara Kapuk, misalnya, hanya Rp 6.000. "Yang kami tuntut adalah penampungan, penggantian biaya bangunan dan jelaskan dong siapa yang membeli daerah ini," ujar Sutrisna Penduduk Muara Baru setelah peristiwa itu tidak bisa tenang bekerja. Ismail, 51 tahun, asal Sumbawa, tidak berani turun ke laut mencari ikan. "Takut kalau sewaktu-waktu ada penggusuran. Kita tidak boleh kalah siap dengan petugas DKI," tutur Ismail mantap. "Bukan maksud kami melawan pemerintah, tapi caranya yang kami tidak suka," kata Ismail. Direktur LBH Abdul Rahman Saleh, kuasa penduduk, berusaha menemui Walikota Koestamto tapi tak berhasil. LBH menghendaki agar perkara ini diselesaikan lewat pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus