BENDERA merah putih berkibar di tiap rumah. Berbagai poster
terparnpang di sana-sini dan tiga buah drum dijajar menutup
jalan masuk kampung itu. Penduduk Muara Baru, sebuah kampng di
timur waduk Pluit Jakarta Utara, sedang siaga menghadapi rencana
penggusuran terhadap rumah mereka.
Penggusuran itu--dilakukan Walikota Jakarta Utara
Koestamto--sudah dimulai pekan lalu tapi gagal. Penduduk
menghadapi pihak petugas dan melempari mobil itu. Kaca depan
pecah. Nasib yang sama menimpa mobil petugas pamongpraja yang
masuk Muara Baru beberapa saat kemudian.
Tapi Koestamto.tidak akan membatalkan rencana penggusuran itu.
Batas waktu ditetapkan agar dalam minggu ini juga rumah-rumah
tersebut sudah dirubuhkan. Menurut Koestamto daerah itu akan
dijadikan pergudangan.
Muara Baru terletak di sebuah tanjung kecil yang tidak terdapat
dalam peta Jakarta. Tapi namanya pernah terkenal ketika Mei lalu
dilanda kebakaran. Ada sebuah jalan menghubungkan kampung ini
dengan wilayah lain lewat kampung Luar Batang.
Menghadapi batas waktu yang baru penduduk sudah menyediakan
kentongan. Kalau benda itu dipukul bertalu-talu mereka berkumpul
menghadang petugas yang datang. Sedang bendera yang terus
berkibar di tiap rumah itu, menurut penuturan penduduk pada
Johannes Batubara dari TEMPO, dimaksudkan sebagai pernyataan
mereka pun warga negara Indonesia yang berhak akan tempat
tinggal.
Pemda DKI, semula mengizinkan berdirinya bangunan di lokasi
bekas kebakaran itu dengan catatan bersifat semi permanen.
Mereka terkejut ketika tiba-tiba bangunan itu harus dibongkar.
Dua alasan dikemukakan Ramona Ginting, Kepala Humas Pemda DKI,
mengapa daerah itu harus dikosongkan. Pertama karena daerah itu
airnya asin tidak sehat untuk pemukiman dan kedua karena menurut
perencanaan kota wilayah itu untuk pergudangan.
Kepada penduduk ditawarkan tiga alternatif: diberi tempat
penampungan baru di Muara Kapuk (belasan kilometer ke barat),
transmigrasi atau menerima ganti rugi. Tapi hanya bangunan yang
diberi ganti rugi Rp 9.000/mÿFD. Tanah tidak diberi ganti rugi
lantaran mereka menempati tanah negara.
Beberapa penduduk Muara Baru mengakui tanah itu bukan hak milik.
Tapi mereka heran kalau ada orang lain yang mengaku memiliki
sertifikat tanah itu. Penduduk menuduh Pemda DKI menjual tanah
bekas kcbakaran itu pada beberapa orang, antara lain yang
meIakukan pembayaran ganti rugi di kantor camat.
Lewat Pengadilan
Sebagian besar dari 560 kk yang harus digusur memang sudah
menerima ganti rugi. "Saya terpaksa menerima karena diancam dan
ditakut-takuti RT RW, lurah dan camat," ujar Sutrisna, 40 tahun,
sopir Indo Chemical yang tinggal di Muara Baru sejak 7 tahun
lalu. "Saya mengambil uang penggantian di kantor camat," katanya
melanjutkan. "Yang membayar Cina. Petugas Kamtib hanya
mengawasi," tutur Sutrisna yang menerima uang pindah sebesar Rp
360.000 dan Rp 210.000 untuk dua rumahnya. Cara seperti itu yang
membuat penduduk curiga.
Masih ada sejumlah kecil yang menolak ganti rugi. Sake, 34
tahun, seorang nclayan asal Sulawesi Selatan, menolak karena
diangFap terlalu kecil. Sudah 10 tahun menetap di Muara Baru,
Sake bertekad untuk bertahan, apa pun yang terjadi. "Harga tanah
sekarang tidak bisa dijangkau dengan uang sekecil itu," katanya.
"Tanah empang saja sekarang mencapai Rp 30 ribu per mÿFD." Sedang
Koestamto menyatakan harga tanah di Muara Kapuk, misalnya, hanya
Rp 6.000. "Yang kami tuntut adalah penampungan, penggantian
biaya bangunan dan jelaskan dong siapa yang membeli daerah ini,"
ujar Sutrisna
Penduduk Muara Baru setelah peristiwa itu tidak bisa tenang
bekerja. Ismail, 51 tahun, asal Sumbawa, tidak berani turun ke
laut mencari ikan. "Takut kalau sewaktu-waktu ada penggusuran.
Kita tidak boleh kalah siap dengan petugas DKI," tutur Ismail
mantap. "Bukan maksud kami melawan pemerintah, tapi caranya yang
kami tidak suka," kata Ismail.
Direktur LBH Abdul Rahman Saleh, kuasa penduduk, berusaha
menemui Walikota Koestamto tapi tak berhasil. LBH menghendaki
agar perkara ini diselesaikan lewat pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini