SAKIMIN kini rajin nonton bioskop. Paling tidak seminggu sekali
ia pergi ke Subang--untuk film kung-fu atau India. Pemuda 19
tahun ini memang seperti keranjingan: setelah 4 bulan mengikuti
kejar (kelompok belajar) di desanya, Desa Marengmang, Kecamatan
Kalijati (19 km arah barat laut Subang) ia kini lebih bisa
menikmati film. Ia membaca teks pada gambar.
Dengan cara itu pula ia memelihara kemahiran membaca yang belum
setengah tahun diperolehnya itu. "Tapi kadang-kadang teks itu
cepat sekali bergantmya, hingga saya cuma sempat membaca
depannya saja," tuturnya dengan bangga.
Satu masalah yang harus ditanggulangi dalam program kejar, atau
istilah resminya KBPD (Kelompok Belajar Pengetahuan Dasar)
adalah itu: memelihara kemahiran baca-tulis, agar tak menguap.
Sampai tahun ini, usaha itu masih ditekankan pada penyediaan
buku dasar saja-- atau istilahnya buku A1 sampai A20.
Perinciannya: Al sampai A10 merupakan pelajaran menguasai huruf
latin, angka dan sekitar 1500 kata dasar Indonesia. Jilid-jilid
berikutnya, A11 sampai A20 berisi bacaan yang bermanfaat: cerita
tentang manfaat menabung, masalah KB, berbagai cara memanfaatkan
halaman rumah, petunjuk menjahit dan seterusnya. "Untuk sekitar
74 ribu kejar di seluruh Indonesia sudah dicetak 12 juta
eksemplar buku A1 sampai A20," kata Prof. Dr. W.P. Napitupulu,
Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (PLSP0)
kepada TEMPO.
Jilid-jilid selanjutnya mulai dicetak pula, tahun ini. "Tapi itu
masih dalam taraf dicobakan, untuk diperbaiki di sana-sini,"
lanjut Napitupulu.
Kini, paling tida, peserta kejar yang telah menamatkan buku A20
dianggap sudah mampu belajar sendiri. "Menamatkan A20 berarti
telah menguasai 1500 lebih kata dasar Indonesia," kata
Napitupulu pula.
Dan sebelum buku A21 ke atas selesai dicetak semua, ia
menganjurkan agar kejar yang telah menamatkaa A20 memberikan
buku-buku yang digunakan di SD untuk bacaan para anggotanya.
Agar kepandaian baca-tulis mereka tak hilang.
Tak jelas, berapa banyak yang sudah melaksanakan anjuran
tersebut. Hanya di samping itu, memang menggembirakan untuk
melihat para peserta kejar yang telah mampu baca-tulis itu
kemudian mencari akal sendiri guna memelihara kepandaiannya.
Bu Nasikah dari Dcsa Adimulyo, 12 km dari Malang, baru bulan
lalu menamatkan A20. Kini ibu penjual es campurini setiap ke
Malang selalu memboron majalah dan koran. "Tahu kalau membaca
itu menyenangkan, saya menyesal sekali mengapa dulu tak
sekolah," kata ibu 30 tahun ini. Dan ia paling demen surat kabar
Pos Kota, "karena beritanya seram-seram."
Juga Bu Satimah, 52 tahun, yang sejak awal tahun ini pintar
membaca. Ia selalu menyewa komik dari persewaan dekat rumah.
Kecuali agar bisa membaca terus, ia pun merasakan nikmatnya.
"Membaca itu enak, dan pengetahuan bertambah," tutur ibu 5 anak
dan nenek 10 cucu itu yang diam di Kelurahan Glugur Darat,
Medan.
Teman Bu Jumilah, Kasinem, 47 tahun, lebih merasakan lai
manfaat kepintarannya. Ia termasuk salah seorang di kejar-nya
yang cepat pandai. Soalnya suaminya, seorang pembantu letnan
dua, langganan koran. Dan ketiga anaknya suka membantu ibunya
belajar membaca. Maka kini, menjelang tidur, ia selalu
menceritakan kepada cucunya apa saja yang dibacanya di siang
hari.
Itulah hasil upaya sejumlah peserta yang berhasil memahami
huruf, angka dan bahasa mereka sendiri. Plus sejumlah
pengetahuan umum yang masih harus dikembangkan--sebelum buku A2
1 ke atas sampai kepada mereka. Atau, sebelum perpustakaan yang
direncanakan akan didirikan di setiap balai desa oleh Ditjen
Pembangunan Desa Dep. Dalam Negeri terlaksana.
Terdengarnya seperti masalah sepele. Tapi ternyata kemampuan
baca-tulis, bagi bapak atau ibu yang berangkat belajar
terlambat, pada usia 20-an ke atas tak mengikuti rumus naik
sepeda: sekali bisa naik sepeda seumur hidup tetap naik sepeda.
Asal Bisa Masak
Tidak. Kemampuan baca-tulis bisa merosot --bahkan lenyap sama
sekali. Ini diceritakan oleh Bu Darmodimulyo alias Mulyani dari
Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta. Bu Darmo, 50 tahun, kini ikut
kejar di kampungnya. Padahal dulu, tahun 60-an, ia telah lulus
dari kursus PBH "Tapi selesai kursus ya selesai. Tak ada apa-apa
lagi," tuturnya. Maka ia pun perlahan-lahan lupa membaca dan
menulis. "Urusan dengan Pak Lurah sekarang saya hanya bisa cap
jempol," lanjut istri pengrajin hiasan imitasi ini. "Dulu saya
bisa tandatangan, Iho."
Yang lain adalah Asep, teman Sakimin dari Desa Merengman di
Subang itu, Asep tak suka nonton film. Malam hari pun ia malas
membaca. Kecuali kelelahan bekerja siangnya, bacaan yang bisa
dilahapnya memang tiada. "Jangankan membaca, melihat koran di
desa ini pun belum pernah," katanya. Tambahan lagi ia malas
meminjam buku di perpustakaan yang sudah ada di desanya.
"Bukunya banyak tulisannya. Saya bingung," lanjut pemuda 20
tahun ini. Maka kesempatan ketemu huruf hanya pada jam belajar
di kelompoknya -yang hanya seminggu sekali itu. Praktis selama 4
bulan menjadi anggota kejar, ia kalah jauh dari Sakimin. Asep
baru bisa membaca setelah mengeja lebih dulu.
Begitu juga Euis Rohmah, 18 tahun, teman Asep. Euis pun tak giat
belajar, dan kepandaiannya tak di atas Asep. "Yang penting gadis
di desa ini bisa masak," katanya malah.
Lain dengan seorang peserta kejar di Kecamatan Senen, Jakarta
Pusat, yang merasa kebiasaan baca-tulisnya benar-benar
menenteramkan hidupnya. Surip, 40 tahun, asal Jombang, Ja-Tim,
terdampar di Jakarta 24 tahun lalu. Sebagai buta huruf, lapangan
kerja baginya pun sangat terbatas. Boleh dikata ia lantas
menggelandang. Sebetulnya ia pernah sekolah di SD, 5 tahun.
Cuma, katanya, selama itu terus-menerus duduk di kelas 1.
Akhirnya di Jakarta ia bekerja mengumpulkan benda-benda dari
tempat pembuangan sampah: ada kertas bekas, arangbarang plastik,
besi dan lain-lain. Ia bisa mendapat sehari Rp 500 sampai Rp
2.000 dari pekerjaan itu. Dan tiap 3 bulan sekali, ia bisa
mengirim uang sekitar Rp 50.000 buat anak - istrinya di
Surabaya. Anaknya, 3 orang, yang sulun telah duduk di SMP.
Menang Kalah
Sebelum ikut kejar, 1978, ia selalu ke Surabaya sendiri untuk
memberikan uang tersebut. Dan selama tiga bulan di Jakarta
hatinya selalu tak tenteram memikirkan anak-istrinya. Kini ia
bisa bekerja dengan tenang, dan tak lagi perlu 3 bulan sekali ke
Surabaya. Soalnya ia sudah bisa berkirim surat dan mengirim pos
wesel. "Rasanya senang bisa berkirim surat. Bahwa saya di sini
sehat-sehat saja," tuturnya.
Seperti ditaksir oleh Dirjen PLSP0, sekitar 21 juta penduduk
negeri ini-berusia 10-45 tahun--masih buta huruf. Dan Kelompok
Belajar Pengetahuan Dasar alias kejar memang merupakan
pengembangan dari proyek PBH (Pemberantasan Buta Huruf) dulu.
Bedanya: bila PBH dulu dilaksanakan secara massal dan boleh
dikatakan tak ada tindak lanjutnya, sistem sekarang ini
kelihatan memilih pengajaran yang lebih intens, dalam grup-grup
kecil. Masalahnya kemudian menang atau kalah dalam "perlombaan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini