Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Padahal Membaca Itu Nikmat

Masalah program kejar, bagaimana memelihara kemahiran baca tulis bagi orang yang telah melek huruf, agar mereka tak kembali buta huruf. Pengalaman-pengalaman para peserta kejar yang telah mampu baca-tulis.

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAKIMIN kini rajin nonton bioskop. Paling tidak seminggu sekali ia pergi ke Subang--untuk film kung-fu atau India. Pemuda 19 tahun ini memang seperti keranjingan: setelah 4 bulan mengikuti kejar (kelompok belajar) di desanya, Desa Marengmang, Kecamatan Kalijati (19 km arah barat laut Subang) ia kini lebih bisa menikmati film. Ia membaca teks pada gambar. Dengan cara itu pula ia memelihara kemahiran membaca yang belum setengah tahun diperolehnya itu. "Tapi kadang-kadang teks itu cepat sekali bergantmya, hingga saya cuma sempat membaca depannya saja," tuturnya dengan bangga. Satu masalah yang harus ditanggulangi dalam program kejar, atau istilah resminya KBPD (Kelompok Belajar Pengetahuan Dasar) adalah itu: memelihara kemahiran baca-tulis, agar tak menguap. Sampai tahun ini, usaha itu masih ditekankan pada penyediaan buku dasar saja-- atau istilahnya buku A1 sampai A20. Perinciannya: Al sampai A10 merupakan pelajaran menguasai huruf latin, angka dan sekitar 1500 kata dasar Indonesia. Jilid-jilid berikutnya, A11 sampai A20 berisi bacaan yang bermanfaat: cerita tentang manfaat menabung, masalah KB, berbagai cara memanfaatkan halaman rumah, petunjuk menjahit dan seterusnya. "Untuk sekitar 74 ribu kejar di seluruh Indonesia sudah dicetak 12 juta eksemplar buku A1 sampai A20," kata Prof. Dr. W.P. Napitupulu, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (PLSP0) kepada TEMPO. Jilid-jilid selanjutnya mulai dicetak pula, tahun ini. "Tapi itu masih dalam taraf dicobakan, untuk diperbaiki di sana-sini," lanjut Napitupulu. Kini, paling tida, peserta kejar yang telah menamatkan buku A20 dianggap sudah mampu belajar sendiri. "Menamatkan A20 berarti telah menguasai 1500 lebih kata dasar Indonesia," kata Napitupulu pula. Dan sebelum buku A21 ke atas selesai dicetak semua, ia menganjurkan agar kejar yang telah menamatkaa A20 memberikan buku-buku yang digunakan di SD untuk bacaan para anggotanya. Agar kepandaian baca-tulis mereka tak hilang. Tak jelas, berapa banyak yang sudah melaksanakan anjuran tersebut. Hanya di samping itu, memang menggembirakan untuk melihat para peserta kejar yang telah mampu baca-tulis itu kemudian mencari akal sendiri guna memelihara kepandaiannya. Bu Nasikah dari Dcsa Adimulyo, 12 km dari Malang, baru bulan lalu menamatkan A20. Kini ibu penjual es campurini setiap ke Malang selalu memboron majalah dan koran. "Tahu kalau membaca itu menyenangkan, saya menyesal sekali mengapa dulu tak sekolah," kata ibu 30 tahun ini. Dan ia paling demen surat kabar Pos Kota, "karena beritanya seram-seram." Juga Bu Satimah, 52 tahun, yang sejak awal tahun ini pintar membaca. Ia selalu menyewa komik dari persewaan dekat rumah. Kecuali agar bisa membaca terus, ia pun merasakan nikmatnya. "Membaca itu enak, dan pengetahuan bertambah," tutur ibu 5 anak dan nenek 10 cucu itu yang diam di Kelurahan Glugur Darat, Medan. Teman Bu Jumilah, Kasinem, 47 tahun, lebih merasakan lai manfaat kepintarannya. Ia termasuk salah seorang di kejar-nya yang cepat pandai. Soalnya suaminya, seorang pembantu letnan dua, langganan koran. Dan ketiga anaknya suka membantu ibunya belajar membaca. Maka kini, menjelang tidur, ia selalu menceritakan kepada cucunya apa saja yang dibacanya di siang hari. Itulah hasil upaya sejumlah peserta yang berhasil memahami huruf, angka dan bahasa mereka sendiri. Plus sejumlah pengetahuan umum yang masih harus dikembangkan--sebelum buku A2 1 ke atas sampai kepada mereka. Atau, sebelum perpustakaan yang direncanakan akan didirikan di setiap balai desa oleh Ditjen Pembangunan Desa Dep. Dalam Negeri terlaksana. Terdengarnya seperti masalah sepele. Tapi ternyata kemampuan baca-tulis, bagi bapak atau ibu yang berangkat belajar terlambat, pada usia 20-an ke atas tak mengikuti rumus naik sepeda: sekali bisa naik sepeda seumur hidup tetap naik sepeda. Asal Bisa Masak Tidak. Kemampuan baca-tulis bisa merosot --bahkan lenyap sama sekali. Ini diceritakan oleh Bu Darmodimulyo alias Mulyani dari Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta. Bu Darmo, 50 tahun, kini ikut kejar di kampungnya. Padahal dulu, tahun 60-an, ia telah lulus dari kursus PBH "Tapi selesai kursus ya selesai. Tak ada apa-apa lagi," tuturnya. Maka ia pun perlahan-lahan lupa membaca dan menulis. "Urusan dengan Pak Lurah sekarang saya hanya bisa cap jempol," lanjut istri pengrajin hiasan imitasi ini. "Dulu saya bisa tandatangan, Iho." Yang lain adalah Asep, teman Sakimin dari Desa Merengman di Subang itu, Asep tak suka nonton film. Malam hari pun ia malas membaca. Kecuali kelelahan bekerja siangnya, bacaan yang bisa dilahapnya memang tiada. "Jangankan membaca, melihat koran di desa ini pun belum pernah," katanya. Tambahan lagi ia malas meminjam buku di perpustakaan yang sudah ada di desanya. "Bukunya banyak tulisannya. Saya bingung," lanjut pemuda 20 tahun ini. Maka kesempatan ketemu huruf hanya pada jam belajar di kelompoknya -yang hanya seminggu sekali itu. Praktis selama 4 bulan menjadi anggota kejar, ia kalah jauh dari Sakimin. Asep baru bisa membaca setelah mengeja lebih dulu. Begitu juga Euis Rohmah, 18 tahun, teman Asep. Euis pun tak giat belajar, dan kepandaiannya tak di atas Asep. "Yang penting gadis di desa ini bisa masak," katanya malah. Lain dengan seorang peserta kejar di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, yang merasa kebiasaan baca-tulisnya benar-benar menenteramkan hidupnya. Surip, 40 tahun, asal Jombang, Ja-Tim, terdampar di Jakarta 24 tahun lalu. Sebagai buta huruf, lapangan kerja baginya pun sangat terbatas. Boleh dikata ia lantas menggelandang. Sebetulnya ia pernah sekolah di SD, 5 tahun. Cuma, katanya, selama itu terus-menerus duduk di kelas 1. Akhirnya di Jakarta ia bekerja mengumpulkan benda-benda dari tempat pembuangan sampah: ada kertas bekas, arangbarang plastik, besi dan lain-lain. Ia bisa mendapat sehari Rp 500 sampai Rp 2.000 dari pekerjaan itu. Dan tiap 3 bulan sekali, ia bisa mengirim uang sekitar Rp 50.000 buat anak - istrinya di Surabaya. Anaknya, 3 orang, yang sulun telah duduk di SMP. Menang Kalah Sebelum ikut kejar, 1978, ia selalu ke Surabaya sendiri untuk memberikan uang tersebut. Dan selama tiga bulan di Jakarta hatinya selalu tak tenteram memikirkan anak-istrinya. Kini ia bisa bekerja dengan tenang, dan tak lagi perlu 3 bulan sekali ke Surabaya. Soalnya ia sudah bisa berkirim surat dan mengirim pos wesel. "Rasanya senang bisa berkirim surat. Bahwa saya di sini sehat-sehat saja," tuturnya. Seperti ditaksir oleh Dirjen PLSP0, sekitar 21 juta penduduk negeri ini-berusia 10-45 tahun--masih buta huruf. Dan Kelompok Belajar Pengetahuan Dasar alias kejar memang merupakan pengembangan dari proyek PBH (Pemberantasan Buta Huruf) dulu. Bedanya: bila PBH dulu dilaksanakan secara massal dan boleh dikatakan tak ada tindak lanjutnya, sistem sekarang ini kelihatan memilih pengajaran yang lebih intens, dalam grup-grup kecil. Masalahnya kemudian menang atau kalah dalam "perlombaan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus