DUA kerikil, yaitu pasal-pasal mengenai hak pembela dalam
mendampingi tersangka, dan ketentuan peralihan, yang telah
memperlarut pengesahan RUU-HAP menjadi UU, akhirnya tersingkir.
Sebab dalam sidang paripuma DPR-RI 23 September nanti telah
disepakati lembaga itu secara resmi akan mengesahkannya menjadi
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menggantikan HIR warisan zaman
Belanda yang selama ini berlaku.
Salah satu kerikil yang muncul di akhir-akhir pembahasan RUU
HAP, Juli yang lalu, adalah rumusan hak tersangka didampingi
pembela semenjak pemeriksaan pendahuluan. Rumusan itu,
sebelumnya sudah disepakati oleh Menteri Kehakiman yang lama,
Mudjono --ditambah perkecualian: untuk kejahatan yang mengancam
keamanan negara, pembela hanya boleh melihat, tidak boleh
mendengar. Tetapi Menteri Kehakiman yang baru, Ali Said, tidak
sepenuhnya menyetujui rumusan itu.
Konsep baru yang diajukan Ali Said, menghendaki: untuk semua
kejahatan pembela hanya boleh melihat pemeriksaan terhadap
kliennya, tidak boleh mendengar. Ternyata anggota Tim Koordinasi
Sidang Gabungan (Sigab) komisi I dan III DPR, yang merasa
rumusanlama sudah disepakati, menolak konsep Ali Said. Tapi
akhirnya, setelah melalui lobbi antarfraksi di DPR, salah satu
dari dua konsep yaitu konsep kedua dari Ali Said, disetujui.
Karena konsep kedua itu, hampir sama dengan konsep yang sudah
disepakati di zaman Menteri Kehakiman Mudjono. Hanya saja
ditambah kata dapat untuk didampingi pembela, bagi tersangka
yang diperiksa. Berarti pula seorang tersangka tidak wajib
didampingi pembela.
"Tetapi bukan itu ganjelan utama-ketentuan peralihan yang
betul-betul menjadi hambatan," ujar Wakil Ketua Sigab, Da Costa.
Ketentuan peralihan yang menjadi bahan debat sengit antara
pemerintah beserta Fraksi ABRI dan FKP di satu pihak, dengan
Fraksi PDI dan PPP di pihak lain, nyaris mementahkan semua hasil
kerja keras pemerintah dan DPR itu. Persoalannya, pemerintah dan
dua fraksi pendukungnya, menginginkan dalam ketentuan peralihan,
undang-undang khusus seperti korupsi, subversi dan ekonomi
diberlakukan terus, sampai masyarakat menginginkan dicabut. Di
pihak lain PDI menginginkan undang-undang khusus itu dihapus,
sehingga semuanya tunduk pada HAP yang baru. Sementara PPP hanya
menginginkan, undang-undang subversi saja yang dihapus.
Undang-undang khusus yang diperdebatkan itu memang dinilai
mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari hukum acara
pidana yang akan disahkan ataupun yang lama. Misalnya, dalam
ketiga undang-undang khusus itu diperkenankan mengadili
tersangka secara in absentia, "sehingga tidak bisa membela
diri," ujar Da Costa. Atau penahanan, yang jangka waktunya lebih
panjang dari yang ditentukan HAP atau HIR, seperti untuk
subversi. "Jadi undang-undang khusus itu bisa merongrong HAP
yang baru, karena hak asasi terdakwa tidak terjamin," tambah
Dacosta.
Titik Temu
Sebaliknya Ali Said yang mewakili pemerintah, juga punya alasan
kuat mempertahankan pendiriannya agar undang-undang khusus tidak
dicabut. Dalam suatu sidang, tutur Ali Said kepada TEMPO, ia
bertanya: "Negara kita ini, negara yang sudah mapan atau masih
berkembang?" Ketika dijawab, masih berkembang, Ali Said
melanjutkan: "Kalau negara berkembang ada dua pola yang
tarik-menarik, yaitu antara pola security (keamanan) dan
prosperity (kemakmuran), dan kita harus meletakkan titik berat
pada salah satu." Kadangkala, tambahnya, titik berat itu pada
security yang pada lain waktu pada prosperity. Apalagi, menurut
Ali Said, kalau undang-undang khusus itu dicabut, akan terjadi
kehampaan hukum. "Lebih baik kita hidup dengan hukum yang
pincang, daripada hampa hukum," katanya.
Perdebatan waktu itu seperti tidak akan ada titik temu. Bahkan
Ali Said pernah mengatakan, perdebatan itu sebagai "perdebatan
kampungan". Soalnya, perdebatan sudah beralih pada persoalan
kedudukan Ali Said sendiri--sebagai bekas Jaksa Agung. "Kalau
saya ladeni, saya juga kampungan," ujar Ali Said (TEMPO 8
Agustus).
Da Costa juga mengakui, terjadi ketegangan akhir Juli yang lalu
sehingga RUU itu tak jadi disahkan menjelang 17 Agustus 1981
seperti direncanakan. "Sampai-sampai untuk ketentuan peralihan
yang diatur dalam pasal 284 itu, nyaris dilakukan voting," ujar
Da Costa. Untunglah semua pihak akhirnya bisa berkompromi.
"Sebab semua pihak juga memahami cara voting tidak
menguntungkan," kata Da Costa. Kompromi antara semua pihak itu
akhirnya membuahkan kesepakatan: undang-undang khusus itu hanya
berlaku sementara.
RUU HAP yang terdiri dari 22 bab dan 286 pasal itu, berhasil
juga disepakati semua pihak. Justru di saat-saat masa kerja DPR
hasil Pemilu 77 ini hampir berakhir. Ali Said sendiri tidak mau
menilai HAP itu sebagai karya yang besar. "Jangan sebut ini
karya besar, selesainya saja dua tahun," ujar Ali Said.
Ia juga tidak berpendapat karya pemerintah dan DPR itu sebagai
karya yang sempurna. "Cuma karya yang bisa
dipertanggungjawabkan," kata Menteri Kehakiman Ali Said sambil
menyedot lretek kegemarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini