Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kerikil-Kerikil Yang Tersingkir

RUU-HAP akhirnya disepakati semua fraksi dan akan disahkan menjadi UU-HAP menggantikan HIR. Pasal mengenai hak pembela, dan ketakutan peralihan jadi hambatan.

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA kerikil, yaitu pasal-pasal mengenai hak pembela dalam mendampingi tersangka, dan ketentuan peralihan, yang telah memperlarut pengesahan RUU-HAP menjadi UU, akhirnya tersingkir. Sebab dalam sidang paripuma DPR-RI 23 September nanti telah disepakati lembaga itu secara resmi akan mengesahkannya menjadi Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menggantikan HIR warisan zaman Belanda yang selama ini berlaku. Salah satu kerikil yang muncul di akhir-akhir pembahasan RUU HAP, Juli yang lalu, adalah rumusan hak tersangka didampingi pembela semenjak pemeriksaan pendahuluan. Rumusan itu, sebelumnya sudah disepakati oleh Menteri Kehakiman yang lama, Mudjono --ditambah perkecualian: untuk kejahatan yang mengancam keamanan negara, pembela hanya boleh melihat, tidak boleh mendengar. Tetapi Menteri Kehakiman yang baru, Ali Said, tidak sepenuhnya menyetujui rumusan itu. Konsep baru yang diajukan Ali Said, menghendaki: untuk semua kejahatan pembela hanya boleh melihat pemeriksaan terhadap kliennya, tidak boleh mendengar. Ternyata anggota Tim Koordinasi Sidang Gabungan (Sigab) komisi I dan III DPR, yang merasa rumusanlama sudah disepakati, menolak konsep Ali Said. Tapi akhirnya, setelah melalui lobbi antarfraksi di DPR, salah satu dari dua konsep yaitu konsep kedua dari Ali Said, disetujui. Karena konsep kedua itu, hampir sama dengan konsep yang sudah disepakati di zaman Menteri Kehakiman Mudjono. Hanya saja ditambah kata dapat untuk didampingi pembela, bagi tersangka yang diperiksa. Berarti pula seorang tersangka tidak wajib didampingi pembela. "Tetapi bukan itu ganjelan utama-ketentuan peralihan yang betul-betul menjadi hambatan," ujar Wakil Ketua Sigab, Da Costa. Ketentuan peralihan yang menjadi bahan debat sengit antara pemerintah beserta Fraksi ABRI dan FKP di satu pihak, dengan Fraksi PDI dan PPP di pihak lain, nyaris mementahkan semua hasil kerja keras pemerintah dan DPR itu. Persoalannya, pemerintah dan dua fraksi pendukungnya, menginginkan dalam ketentuan peralihan, undang-undang khusus seperti korupsi, subversi dan ekonomi diberlakukan terus, sampai masyarakat menginginkan dicabut. Di pihak lain PDI menginginkan undang-undang khusus itu dihapus, sehingga semuanya tunduk pada HAP yang baru. Sementara PPP hanya menginginkan, undang-undang subversi saja yang dihapus. Undang-undang khusus yang diperdebatkan itu memang dinilai mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari hukum acara pidana yang akan disahkan ataupun yang lama. Misalnya, dalam ketiga undang-undang khusus itu diperkenankan mengadili tersangka secara in absentia, "sehingga tidak bisa membela diri," ujar Da Costa. Atau penahanan, yang jangka waktunya lebih panjang dari yang ditentukan HAP atau HIR, seperti untuk subversi. "Jadi undang-undang khusus itu bisa merongrong HAP yang baru, karena hak asasi terdakwa tidak terjamin," tambah Dacosta. Titik Temu Sebaliknya Ali Said yang mewakili pemerintah, juga punya alasan kuat mempertahankan pendiriannya agar undang-undang khusus tidak dicabut. Dalam suatu sidang, tutur Ali Said kepada TEMPO, ia bertanya: "Negara kita ini, negara yang sudah mapan atau masih berkembang?" Ketika dijawab, masih berkembang, Ali Said melanjutkan: "Kalau negara berkembang ada dua pola yang tarik-menarik, yaitu antara pola security (keamanan) dan prosperity (kemakmuran), dan kita harus meletakkan titik berat pada salah satu." Kadangkala, tambahnya, titik berat itu pada security yang pada lain waktu pada prosperity. Apalagi, menurut Ali Said, kalau undang-undang khusus itu dicabut, akan terjadi kehampaan hukum. "Lebih baik kita hidup dengan hukum yang pincang, daripada hampa hukum," katanya. Perdebatan waktu itu seperti tidak akan ada titik temu. Bahkan Ali Said pernah mengatakan, perdebatan itu sebagai "perdebatan kampungan". Soalnya, perdebatan sudah beralih pada persoalan kedudukan Ali Said sendiri--sebagai bekas Jaksa Agung. "Kalau saya ladeni, saya juga kampungan," ujar Ali Said (TEMPO 8 Agustus). Da Costa juga mengakui, terjadi ketegangan akhir Juli yang lalu sehingga RUU itu tak jadi disahkan menjelang 17 Agustus 1981 seperti direncanakan. "Sampai-sampai untuk ketentuan peralihan yang diatur dalam pasal 284 itu, nyaris dilakukan voting," ujar Da Costa. Untunglah semua pihak akhirnya bisa berkompromi. "Sebab semua pihak juga memahami cara voting tidak menguntungkan," kata Da Costa. Kompromi antara semua pihak itu akhirnya membuahkan kesepakatan: undang-undang khusus itu hanya berlaku sementara. RUU HAP yang terdiri dari 22 bab dan 286 pasal itu, berhasil juga disepakati semua pihak. Justru di saat-saat masa kerja DPR hasil Pemilu 77 ini hampir berakhir. Ali Said sendiri tidak mau menilai HAP itu sebagai karya yang besar. "Jangan sebut ini karya besar, selesainya saja dua tahun," ujar Ali Said. Ia juga tidak berpendapat karya pemerintah dan DPR itu sebagai karya yang sempurna. "Cuma karya yang bisa dipertanggungjawabkan," kata Menteri Kehakiman Ali Said sambil menyedot lretek kegemarannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus