Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan proyeksi ekonomi 2016 disusun Tempo di tengah kelesuan yang mewarnai perekonomian Indonesia dua tahun belakangan. Pelemahan ekonomi yang diikuti kecenderungan para pelaku pasar yang mengarah pada pesimisme tak ubahnya infeksi. Jika dibiarkan berlarut tanpa respons tepat, hanya soal waktu penyakit itu akan menggerogoti seluruh tubuh dan memicu krisis, hingga berujung pada lumpuhnya sistem.
"Siklus negatif ini yang harus di-counter," kata Darmin Nasution kepada tim Tempo yang menemuinya pada medio September lalu. Sejam sebelum pertemuan tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian yang baru sebulan menjabat itu menemani Presiden Joko Widodo bersama tim ekonomi lainnya. Bertempat di Istana Negara, mereka mengumumkan paket kebijakan ekonomi pemerintah tahap pertama. Sejak itu, sejumlah program lain menyusul dan diluncurkan hampir saban pekan. Paket kelima terbit pada Jumat dua pekan lalu, dan masih akan ada seri berikutnya.
Gejala perlambatan ekonomi yang berlanjut serta rontoknya nilai tukar rupiah hingga mendekati level pada waktu krisis 1998 dianggap mulai mengkhawatirkan. Banyak pengusaha merevisi rencana investasi dan bisnisnya. Beberapa dari mereka bahkan terpaksa menunda atau menghentikan sementara proyek-proyek yang sedang berjalan. Tak sedikit pula yang menjalankan efisiensi dengan mengurangi karyawan, sehingga menambah jumlah penganggur, yang angkanya sudah tinggi.
Rupiah yang melemah juga memicu kenaikan harga bahan baku industri, yang sebagian besar masih harus diimpor. Pada gilirannya, ini menyebabkan lonjakan harga bahan kebutuhan pokok dan barang konsumsi lainnya. Daya beli otomatis menurun. Konsumen yang masih memegang dana ikut bereaksi dengan menahan diri dan tak membelanjakan uangnya. Demikian seterusnya, setiap faktor saling mempengaruhi.
Pendek kata, terjadi tren semacam spiral yang menyeret perekonomian semakin ke bawah. Dan ini berbahaya. Pemerintah hendak membalikkan arah tarikan ini dengan mengintervensinya melalui paket-paket itu. Stimulasi diberikan dalam bentuk guyuran anggaran belanja pembangunan—yang mendapat tambahan dari pemotongan dana subsidi yang dialihkan. Pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur dipercepat. Hambatan investasi pun dikikis dengan memperpendek alur perizinan dan menyediakan berbagai insentif, seperti tax holiday dan tax allowance.
Di sektor finansial, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan bermacam relaksasi, yang intinya bertujuan mendorong tumbuhnya kembali industri jasa keuangan agar mampu menopang sektor riil yang sedang megap-megap. Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan Bank III Irwan Lubis mengakui pertumbuhan kredit menurun seiring dengan pelemahan ekonomi. Pada semester pertama tahun ini, kredit hanya tumbuh 10,2 persen.
Pada saat bersamaan, tekanan akibat jebolnya rupiah, pasar yang mengendur, dan tergerusnya harga komoditas turut menyumbang kenaikan jumlah kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL). Sampai Agustus lalu, Otoritas mencatat NPL perbankan di level 2,66 persen, naik dari posisi Desember 2014 di angka 2,04 persen. Yang paling tinggi ialah kredit di sektor konstruksi dan pertambangan, masing-masing sekitar 5 persen.
Irwan meyakinkan, indikator itu menunjukkan ekonomi kita masih jauh dari kondisi ketika Indonesia terimbas krisis keuangan global 2008. "Waktu itu NPL-nya sampai dua kali dari saat ini," ujarnya Kamis pekan lalu. "Tekanan memang ada. Tapi, kalau ada yang bilang sekarang kita mengalami krisis, itu sama sekali tidak benar."
Faktor eksternal memang masih belum pasti setelah bank sentral Amerika Serikat kembali menunda kenaikan suku bunganya ke tahun depan. Perekonomian Amerika memang masih belum pulih benar. Pada saat yang sama, ekonomi Cina terus merosot. Dua negara itu, selain Jepang dan negara-negara ASEAN, merupakan mitra utama ekonomi Indonesia, terutama dalam perdagangan internasional.
Di tengah situasi ketidakpastian itu, pengusaha mulai membiasakan diri. Mereka beradaptasi dan terlihat lebih siap menghadapi situasi ekonomi saat ini. Para pengusaha, misalnya, menyesuaikan diri dengan mematok nilai tukar dolar Amerika di posisi Rp 13-14 ribu. "Ada ekspektasi volatilitas rupiah lebih terkendali," kata Irwan.
Dan, tampaknya, kepercayaan diri para pelaku usaha mulai kembali. OJK melihat hal itu tecermin dari naiknya nilai pencairan kredit Agustus-September lalu sekitar Rp 75 triliun, terutama di sektor pengolahan dan perdagangan. Kalau dihitung tahunan (year on year), pertumbuhan kredit sampai September lalu ternyata sudah 11,01 persen, lebih tinggi dibanding posisi Juni.
Ekonomi pun mulai menggeliat kembali. Menurut Irwan, ini adalah gejala normal. "Karena pemilik dana tak mungkin menyimpan uangnya terlalu lama dengan return lebih kecil dibanding bila mereka memutar usaha."
PT Pan Brothers Tbk adalah salah satu contoh perusahaan yang justru gencar mengembangkan bisnisnya di tengah ambrolnya rupiah. Melalui anak usahanya hasil joint venture dengan Mitsubishi Corporation, PT ECO Smart Garment Indonesia (ESGI), mereka dalam proses membangun tujuh pabrik baru sampai 2017. Total investasi yang disiapkan perusahaan garmen produsen 20-an merek terkenal ini lebih dari US$ 60 juta atau sekitar Rp 810 miliar.
Empat pabrik ESGI di Boyolali, Jawa Tengah, baru diresmikan Menteri Perindustrian Saleh Husin, 26 Agustus lalu, senilai US$ 29 juta. Mereka masih terus merekrut tenaga kerja. "Kami perlu 12 ribu tenaga kerja," ujar Nurdin Setiawan, General Manager Sumber Daya Manusia PT ESGI. "Sekarang baru ada sekitar 7.500 orang."
Tahun depan, kata Nurdin, PT ESGI akan membuka tiga pabrik lagi di Jawa Tengah, yang akan butuh 9.000 tenaga kerja baru. "Pabrik-pabrik baru itu bukan relokasi dari jaringan produksi kami di daerah lain. Pabrik kami di Tangerang masih beroperasi penuh dan tak ada rencana pindah atau mengurangi karyawan," ujar Wakil Direktur Utama Pan Brothers Anne Patricia Sutanto.
Dolar yang menguat dan rupiah yang ambles memberi mereka keuntungan lebih. Pan Brothers memang masih harus mengimpor sekitar 70 persen bahan bakunya. Tapi hampir 100 persen garmen produksinya ditujukan untuk pasar ekspor. Sekitar 30 persen dikirim ke pasar Eropa, 27 persen ke Amerika Serikat, dan sisanya ke kawasan Asia-Pasifik.
Tapi bukan hanya untung nomplok dari selisih kurs itu yang membuat Pan Brothers agresif berekspansi. Anne menjelaskan, ekonomi lesu seperti saat ini merupakan peluang bagi yang mampu melihat prospek 5-10 tahun ke depan. "Jangan lupa, Indonesia ini pasar terbesar keempat di dunia. Potensinya besar sekali."
Itu sebabnya, para pengusaha seperti Anne berharap banyak pada konsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan paket-paket kebijakan yang sudah dikeluarkan. "Beberapa yang sudah dijalankan dari paket pertama hingga kelima itu mulai terasa dampaknya," ujar Wakil Ketua Umum Indonesian National Shipowners' Association Asmary Hery. "Tanda-tanda pemulihan sudah terasa pada kuartal keempat ini. Jika tahun depan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen, industri pelayaran bisa ikut meningkat minimal 15 persen."
Dalam diskusi dengan redaksi Tempo ketika menyiapkan laporan ini, awal Oktober lalu, Mohamad Ikhsan mengatakan Indonesia memang harus mencari penggerak ekonominya dari dalam negeri. Menurut guru besar ekonomi Universitas Indonesia ini, setelah masa jaya minyak bumi lama berlalu dan bonanza batu bara lewat, kita harus bisa menemukan mesin pendorong ekonomi yang baru. "Tak banyak yang bisa diharapkan dari ekonomi global yang diprediksi hanya akan tumbuh 3 persen pada 2016."
Itu sebabnya, kata Ikhsan, diperlukan upaya memberi nilai tambah lebih besar pada komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor dan sumber devisa. Masalah klasik rumitnya perizinan dan mahalnya biaya logistik harus dibereskan. Pemerintah bertugas menjamin ketersediaan bahan pokok utama dan mencegah fluktuasi harga, sambil menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memupuk modal domestik. Dengan demikian, sentimen dunia usaha dan konsumen rumah tangga akan positif. "Kita tak bisa mengubah faktor eksternal. Yang harus disiapkan adalah pembenahan di dalam."
Tim Liputan Khusus Outlook Ekonomi 2016 Penanggung Jawab: Tomi Aryanto | Kepala Proyek: Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie | Penulis: Aditya Budiman, Agus Suprianto, Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie, Khairul Anam, Pingit Aria, Retno Sulistyowati, Tomi Aryanto, Tri Artining Putri | Penyumbang Bahan: Aisha Shadira, Ali Hidayat, Andi Ibnu, Artika Rachmi (Surabaya), Dinda Leo Listy (Boyolali), Firman Hidayat (Samarinda), Ghoida Rahmah, Maya Ayu Puspitasari, Musthofa Bisri (Pamekasan), Supriyanto Khafid (Lombok) | Penyunting: M. Taufiqurohman, Retno Sulistyowati, Tomi Aryanto, Yandhrie Arvian | Foto: Nita Dian Afianti, Frannoto, Ratih Purnama Ningsih | Digital Imaging: Hindrawan | Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra Paramita, Tri Watno Widodo | Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi | Riset: Danni Muhadiansyah, Evan Koesoemah |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo