Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Malaikat Maut Bernama Jerebu

Belasan orang meninggal akibat paru-paru mereka terpapar asap pekat. Sebagian besar merupakan bocah dan anak di bawah lima tahun.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelesah menyergap Heri Wirya tatkala putra pertamanya, Ramadhani Luthfi Aerli, muntah-muntah di kamarnya pada Selasa malam dua pekan lalu. Matanya mendelik, tubuhnya kejang berkepanjangan. Heri meraba dahi anaknya, panas. Wajah si anak amat lesi. Segera Heri bersama istrinya, Lily, memboyong sang putra ke Rumah Sakit Santa Maria, Pekanbaru, yang berjarak 100 meter dari rumahnya di Jalan Pangeran Hidayat.

Di rumah sakit, Luthfi segera disuntik infus dan diberi bantuan oksigen. Tak ada perubahan berarti. Empat jam berlalu, kondisi bocah itu tak mengalami perubahan berarti. Pada Rabu dinihari, kesadarannya justru menurun. Detak jantungnya melemah. Tim dokter bersicepat menggunakan alat kejut jantung. Hasilnya nihil. Heri makin jeri. Mendekati subuh, kecemasan itu menemukan ujung. Maut datang menjelang azan berkumandang. Seketika itu juga tangis Heri dan Lily pecah. "Ada gumpalan awan menutupi paru-parunya," kata Heri pada Rabu dua pekan lalu.

Sekretaris Persatuan Pedagang Pasar Pekanbaru ini bercerita, putranya tak memiliki riwayat penyakit kronis. Jangankan sakit, mengeluh pun Luthfi teramat jarang. Pelajar kelas III madrasah ibtidaiyah ini sedang libur akibat asap yang merubungi langit Pekanbaru. Heri masih melihat Luthfi bermain laptop bersama adiknya pada pukul 10 pagi. Tengah hari, Luthfi mengeluh, badannya panas. Dia sempat meminta ibunya membelikan obat penurun panas. "Saya sempat minta dia makan," ujar Heri.

Setelah minum obat, Luthfi sempat tidur hingga pukul 7 malam. Heri makin gelisah karena suhu tubuh anaknya tak kunjung turun. Puncaknya, Luthfi muntah dan kejang-kejang hingga kemudian mengembuskan napas terakhir. Menurut diagnosis dokter, terjadi penipisan oksigen di paru-paru korban. Manajer Medis Rumah Sakit Santa Maria Yuliarni menuturkan, salah satu bentuk dampak asap adalah panas dan kejang pada anak. Saat Luthfi tiba di rumah sakit, keadaannya amat parah. "Kondisinya sudah berat," kata Yuliarni.

Heri menduga sakit anaknya akibat jerebu pekat yang menyelimuti Pekanbaru sejak dua bulan lalu. Apalagi Luthfi acap bermain di luar rumah sejak sekolahnya diliburkan. "Namanya anak-anak, susah dilarang," ujar Heri. Indeks standar pencemaran udara di Pekanbaru mencapai 593 psi atau masuk kategori berbahaya. Udara dikatakan sehat jika indeksnya di bawah 50 psi. Hujan baru mengguyur pada Senin pekan lalu meski tak mampu sepenuhnya mengusir pekat. Jerebu tipis-tipis masih menyelimuti kota.

Sebelum Luthfi, seorang bocah 12 tahun bernama Muhanum Anggriawati meninggal akibat penyakit pernapasan pada 10 September lalu. Dokter menyebutkan terjadi penumpukan lendir pada paru-paru kanan korban. Di Kalimantan Tengah, jerebu juga merenggut nyawa Ahmad Supianoor, 26 tahun, pada Kamis dua pekan lalu. Ahmad meninggal setelah memadamkan api di lahan persawahan di Desa Anjir Serapat Timur, Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas.

Selain mengakibatkan meninggalnya Luthfi, Muhanum, dan Ahmad, kabut asap di berbagai wilayah sudah memakan 16 korban jiwa. Tujuh di antaranya merupakan anak berusia di bawah lima tahun. Mereka adalah Ratu Agnesia, 45 hari, dari Palangkaraya; M. Husein Saputra (28 hari), Ariga Patina (18 bulan), Latifa Ramhadani (15 bulan), dan Derren Syaputra Tambunan (1 tahun) dari Sumatera Selatan; M. Husen (27 hari) dari Pekanbaru; serta Nabila Rahmadani (15 bulan) dari Jambi.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan semua keluarga korban jiwa akibat asap bakal diberi bantuan dana dalam bentuk buku tabungan melalui anggaran santunan kematian. Menurut Khofifah, keluarga korban akan diberi bantuan sebesar Rp 15 juta. Hanya, bantuan ini memiliki syarat. Keluarga korban meninggal mesti menyertakan surat keterangan dokter bahwa penyebab kematian adalah infeksi saluran pernapasan akut. "Atau penyakit lain karena dampak asap," ujar Khofifah.

Wayan Agus Purnomo (Jakarta), Riyan Nofitra (Pekanbaru), Diananta P. Sumedi (Banjarmasin)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus