Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Minyak Murah Menjanjikan Peluang

Rendahnya harga minyak dunia diprediksi bertahan hingga tahun depan. Angin segar bagi sejumlah sektor.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN kapal bersandar di Pantai Brenta, Pamekasan, Jawa Timur, Kamis dua pekan lalu. Ini tergolong sepi. Sebagian besar nelayan di kampung pesisir selatan Pulau Madura itu sedang melaut. "Cuaca sedang baik dan hasil tangkapan melimpah," kata Sultan Takdir, Ketua Asosiasi Nelayan Brenta Pesisir, yang ditemui siang itu.

Sedikitnya tercatat 1.750 keluarga nelayan tinggal di Brenta Pesisir. Di sini solar lebih penting daripada bahan kebutuhan pokok lain. Sebab, tanpa solar, mereka tak mungkin melaut. Dan itu sama saja dengan tak bisa makan. Karena itulah segenap penduduk desa menyambut gembira ketika PT Pertamina mengumumkan penurunan harga solar, awal Oktober lalu, sebesar Rp 200 per liter.

"Modal melaut jadi lebih ringan," ujar Sultan. Sekali bertolak dari pantai, kapal ukuran 10 gross ton yang banyak digunakan di Brenta butuh 3.000 liter solar untuk lima hari mencari ikan. Penduduk biasa membelinya di stasiun pengisian bahan bakar umum khusus nelayan, yang dibangun pemerintah di desa itu pada 2014.

Ketua Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo mengatakan hampir separuh biaya operasi kapal dihabiskan untuk membeli bahan bakar minyak. Hidup-matinya bisnis ini tergantung ketersediaan solar. Karena itu, penurunan harga BBM bersubsidi ini, meskipun sedikit, sudah pasti mendongkrak produktivitas nelayan.

Sepanjang tahun ini, harga minyak dunia berada di level US$ 40-50 per barel—terendah sejak 2009. Juni tahun lalu, harga minyak sempat bertengger di angka US$ 120 per barel. Tapi sejak itu harga terus merosot seiring dengan melambatnya permintaan global di tengah produksinya yang berlimpah. Revolusi energi di Amerika Serikat, yang berhasil menciptakan pasokan energi murah dengan memompa shale gas, memaksa negara-negara produsen, termasuk anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), banting harga.

Tren minyak murah ini diprediksi bertahan tahun depan. Lembaga pemeringkat internasional, Moody's, misalnya, memproyeksikan harga minyak mentah produksi Amerika Serikat, West Texas Intermediate, dan dari lapangan minyak Brent di Inggris masing-masing US$ 48 dan US$ 53 per barel pada 2016. Menurut Moody's, kelebihan pasokan minyak mentah tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang. Sementara itu, permintaan diperkirakan belum membaik.

Anjloknya harga minyak memberi angin segar bagi sejumlah sektor, terutama konsumer dan retail, yang sensitif terhadap perubahan harga. Demikian pula sektor perikanan, manufaktur, bisnis penerbangan, dan logistik. Juru bicara PT Garuda Indonesia, Benny Siga Butarbutar, mengatakan industri penerbangan sangat diuntungkan karena 40-50 persen dana operasi mereka dihabiskan untuk bahan bakar.

Konsumsi avtur di Grup Garuda mencapai 1,8 miliar liter per tahun. Kebutuhan ini bakal meningkat hingga 2 miliar liter tahun depan. "Minyak murah ini pertanda positif," kata Benny. Avtur dipasok PT Pertamina sekitar 60 persen, selebihnya dibeli saat pesawat singgah di Singapura, Kuala Lumpur, dan bandar udara lain.

Tapi Benny memperkirakan kondisi menguntungkan ini tidak bertahan panjang. Sebab, menurut dia, banyak komponen lain harus diperhitungkan. Pelemahan kurs rupiah juga sangat memukul, karena 75 persen perawatan dan pengadaan onderdil pesawat dikalkulasi dalam dolar. Garuda menerapkan strategi lindung nilai atau hedging buat membeli avtur untuk memperkecil risiko kerugian akibat fluktuasi kurs.

Itu sebabnya industri penerbangan Tanah Air berharap banyak pada paket kebijakan ekonomi ketiga yang dirilis pemerintah pekan kedua Oktober lalu. Mereka optimistis kebijakan memangkas harga avtur 1,5 persen bagi penerbangan domestik dan 5,33 persen untuk penerbangan internasional akan sangat membantu bisnis ini di tengah tekanan akibat penguatan dolar.

Sektor manufaktur juga cukup bergantung pada minyak. Komponen BBM bisa mencapai 20-30 persen dari total biaya produksi plus distribusi. Wakil Direktur PT PAN Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto mengatakan penjualan perusahaan tekstilnya meningkat 20 persen tahun ini dibanding tahun lalu, yang tercatat mencapai US$ 338,5 juta. "Turunnya harga minyak membuat biaya operasi dan pengiriman barang ke pelabuhan juga turun."

Perusahaan garmen seperti Pan Brothers untung besar karena hampir 100 persen produknya berorientasi ekspor. Meski 70 persen bahan bakunya diimpor, perusahaan masih meraup untung di tengah lesunya ekonomi nasional. Produsen garmen lain yang mengandalkan pasar lokal terpaksa terkapar.

Wakil Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association bidang angkutan kontainer, general cargo, dan pengembangan sumber daya manusia, Asmary Hery, berharap tahun depan industri pelayaran lebih cerah. Paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah diyakini sudah berjalan dan terasa dampaknya. Tanda-tanda pemulihan sudah terasa pada kuartal keempat ini. "Kalau tahun depan ekonomi Indonesai tumbuh 5,2 persen, industri pelayaran bisa tumbuh minimal 15 persen."

Menurut dia, sepanjang tahun ini bisnis logistik dan pelayaran agak tersendat seiring dengan perlambatan ekonomi dunia. Pada semester pertama 2015, meski ekonomi tumbuh 4,7 persen, sektor pelayaran melambat karena pelaku bisnis mengurangi aktivitas ekonominya. "Masyarakat ragu untuk berbelanja, deposito bertambah banyak, sehingga permintaan turun. Kapasitas produksi ikut turun," ujar Hery.

Karena itu, rendahnya harga minyak tak otomatis membuat mereka untung besar.

"Kalau ekonomi melemah, artinya demand juga rendah. Aktivitas bongkar-muat di pelabuhan turun," kata Hery. Bahkan, karena penurunan harga minyak itu, banyak perusahaan minyak membatalkan kontrak atau mengurangi sewa kapal untuk kebutuhan eksplorasi ataupun eksploitasi lepas pantai. Akibatnya, order buat Hery dan teman-teman ikut sepi. "Turun 50 persen lebih."

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengakui sektor minyak dan gas tengah menghadapi tantangan berat. Perseroan melakukan efisiensi di semua lini, dari hulu sampai hilir, sambil menambah dan membenahi kapasitas kilang-kilangnya. Dwi mengklaim berhasil mengetatkan pengeluaran operasional hingga US$ 1,15 miliar tahun ini atau 35 persen total biaya operasi.

Dwi melanjutkan, Pertamina terus berinvestasi dengan realisasi hingga akhir September 2015 sebesar US$ 2,5 miliar. Dari jumlah itu, 78 persen berupa investasi di hulu, yakni pada proyek pengembangan blok yang biaya produksinya lebih murah.

Ekonom Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmi Radhi, menilai minyak murah sebagai berkah sekaligus musibah bagi Indonesia. Harga murah menjadi disinsentif bagi produsen, sehingga produksi semakin turun. Eksplorasi rendah karena tak menarik.

Sebaliknya, konsumsi akan makin tinggi karena harga murah dan impor makin besar. "Dalam kondisi minyak murah ini, energi alternatif juga menjadi kurang menarik," ucapnya. Sektor komoditas, terutama batu bara dan minyak sawit, sangat terpengaruh sehingga ekspornya pun lesu. Karena itu, agar tak melulu rugi, harga murah ini harus dimanfaatkan untuk menambah pasokan dalam negeri.



Harga minyak sepanjang tahun ini—terendah sejak 2009
US$ 40-50 Per barel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus