Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH pukul sepuluh pagi, hawa di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, baru terasa hangat. Widianti Widjaja menghela napas lega ketika cahaya matahari kian terang mengusir awan kelabu. Pengusaha sekaligus perancang batik tulis halus Oey Soe Tjoen itu bergegas menyiapkan alas jemur di halaman belakang rumahnya.
Dibantu seorang pegawai, Widianti menghamparkan tiga lembar kain batik basah sisa pencelupan dalam proses pewarnaan. Kain jenis pagi-sore--bidang kain terbagi secara diagonal dengan motif berbeda--itu masih berlapis malam tebal. Tak sampai sepuluh menit, kain-kain bermotif bunga dan kupu-kupu itu dicelup lagi, lalu dijemur kembali.
Posisi kain diubah agar terpapar cahaya matahari lebih merata. Proses berulang itu mempertegas semburat warna biru di antara goresan lukisan batik. ”Proses pewarnaan biru hanya bisa pagi atau sore. Kalau kesiangan, proses warna ini harus ditunda,” kata Widianti, 19 September lalu.
Cahaya dan panas matahari rupanya menjadi salah satu kunci warna-warni cerah batik tulis Oey Soe Tjoen. Cahaya matahari pagi yang tak terlalu terang dan panas cocok untuk warna biru. Sedangkan terik mentari siang digunakan untuk memproses warna merah. ”Jadi seperti kejar-kejaran dengan matahari,” ujar Widianti, lalu tertawa.
Widianti adalah generasi ketiga Oey Soe Tjoen, keluarga pembatik di Pekalongan yang merintis usaha batik tulis pada 1925. Batik tulis buatan Oey Soe Tjoen dikenal sebagai karya dengan desain motif kompleks, goresannya halus dan detail, serta penuh warna khas gaya batik pesisiran. ”Gaya itu yang berusaha saya pertahankan,” kata Widianti.
Berasal dari keluarga yang berbisnis batik cap di Pekalongan, Oey justru tertarik pada batik tulis. Dia mempelajari sejumlah desain batik tulis, termasuk karya Eliza van Zuylen, pembatik asal Belanda yang menetap di Pekalongan. Motif buket bunga mendominasi kain batiknya. ”Karya Van Zuylen berkualitas tinggi dan digemari kalangan atas Eropa,” ucap Widianti. ”Kakek berusaha masuk ke pasar itu.”
Oey lalu membuat isen-isen alias isian latar belakang motif batik lebih halus dan rapi ketimbang buatan Van Zuylen. Karya itu membuat nama Oey Soe Tjoen melejit dan bisnisnya berkembang pesat. Pada masa keemasan, 1930-an, Oey memiliki lebih dari 150 pembatik dan bisa memproduksi puluhan helai batik tulis setiap bulan.
Peneliti batik Nusantara, Kwan Hwie Liong, menyebutkan motif batik tulis Oey Soe Tjoen juga dipengaruhi campuran budaya Jawa dan Cina. ”Ada gambar burung hong dan naga, yang lebih dikenal dalam budaya Cina,” katanya.
Batik keluarga ini pun unik karena bisa bertahan di tengah gempuran bisnis batik di Pekalongan, yang disebut-sebut sebagai sentra produksi batik Nusantara. Batik cap dan cetak menjadi industri besar yang menyokong kehidupan warga Pekalongan. Kain-kain yang diproduksi dengan cepat dan masif itu membanjiri pasar sandang. ”Pembatik tulis halus sekarang jarang ditemui,” ucap Kwan.
Produksi batik di Pekalongan tak terbatas di pabrik. Produksi batik, dari membuat klowongan (pola desain dengan malam) hingga proses pewarnaan, bisa dikerjakan di rumah. Bentangan kain-kain mori polos dan bermotif di palang bertingkat adalah pemandangan umum di Pekalongan. ”Banyak warga menjadi pekerja lepas dengan keahlian membatik beragam,” ujar Qomar, warga Pekalongan.
Canting tulis dan cap juga dibuat oleh tukang rumahan. Layaknya para pembatik tulis, jumlah produsen canting tulis di Pekalongan pun menyusut. Kini tersisa tiga keluarga pembuat canting tulis berbahan tembaga khas Pekalongan. ”Banyak anak muda yang tertarik membuat canting cap karena dinilai lebih menguntungkan,” tutur Miftahul Aziz, generasi ketiga pembuat canting tulis di Desa Landungsari, Pekalongan Timur.
Membersihkan batik setelah proses pewarnaan. -TEMPO/Fakhri Hermansyah
Canting cap bisa dibuat dari tembaga, aluminium, kayu, dan kertas. Canting cap tembaga bisa memuat motif lebih detail dengan harga berkisar Rp 700 ribu-2 juta tergantung kerumitan desainnya. Usia pakainya pun bisa lebih dari dua tahun. ”Kalau desainnya sulit, sepuluh hari selesai dibuat,” kata Khobir, perajin canting cap tembaga di Desa Kuripan Lor, Pekalongan Selatan.
Teknologi batik cap dan cetak sempat mengguncang batik tulis. Bisnis keluarga Oey Soe Tjoen pun goyah oleh pemakaian teknik yang meledak pada pertengahan 1980-an itu. Sejumlah motif batik tulis kreasi Oey Soe Tjoen ditiru dan diproduksi massal. ”Banyak orang di pasar pakai batik tiruan dengan motif khas buatan Oey Soe Tjoen,” ujar Widianti Widjaja. ”Kami akhirnya berhenti membuat sejumlah motif.”
Krisis moneter pada 1997 membuat bisnis keluarga Oey Soe Tjoen terpuruk. Kejadian serangan bom di Bali pada 2002 menambah masalah karena banyak pesanan yang dibatalkan. Mereka pun terpaksa mengurangi produksi batik dan pekerja. Sekarang hanya ada 12 pembatik yang dipertahankan. Produksi batik melorot drastis menjadi sekitar 20 helai per tahun.
Di tengah keterbatasan membuat batik, Widianti tetap memasang tinggi standar produksinya. Tak jarang ia mengganti baru kain batik jika ada cacat, seperti ceceran malam dan lubang kecil. Ia pun tetap memasukkan sejumlah motif klasik dalam budaya Cina, seperti kura-kura sebagai simbol panjang umur dan kupu-kupu yang melambangkan kesetiaan. ”Kalau gambar corak lainnya bisa lebih bebas,” katanya.
Hingga saat ini batik tulis Oey Soe Tjoen menjadi buruan. Kewalahan menangani permintaan, Widianti sempat menutup daftar pesanan batiknya pada 2015 dan 2017. Dia berencana menerima pesanan lagi pada 2020. ”Banyak yang sudah meninggalkan nama untuk memesan, terutama lewat teman yang kebetulan saya kenal, jadi sulit menolaknya.”
Karena kerumitan proses dan standar produksi yang tinggi, selembar kain batik Oey Soe Tjoen baru rampung digarap tiga-enam tahun. Widianti selalu menyampaikan hal itu di awal ketika pembeli hendak memesan batik Oey Soe Tjoen. ”Supaya tidak kaget. Terserah mau menunggu atau tidak karena saya tidak mau bekerja diburu-buru supaya kualitas batik terjaga,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo