Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUS Salim tiba-tiba tampil beda. Dalam suatu sidang Volksraad, Dewan Rakyat Hindia Belanda, pada 1922, ia tiba-tiba berpidato menggunakan bahasa Melayu. Puluhan anggota Dewan, yang sebagian orang Eropa, tercengang.
Tingkah Salim membuat geger peserta sidang. Maklum, Volksraad sesungguhnya lembaga yang dibentuk untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Ada semacam aturan tak tertulis yang mewajibkan semua anggota berbicara bahasa Belanda.
Mohammad Hatta dalam pengantar buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional (1965) menulis, meski melanggar pakem dan ditegur Ketua Volksraad, Salim tidak berhenti. Salim beralasan, sebagai anggota Dewan, ia memiliki hak berbicara dalam bahasa Melayu.
Tidak cukup di situ, Salim mengkritik sikap pemerintah Belanda yang tak peduli kepada rakyat jajahannya. "Apa yang diputuskan Volksraad tidak diindahkan oleh pemerintah dan hilang lenyap," ujarnya seperti dikutip Kustiniyati Mochtar dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984). Padahal, Salim melanjutkan, Hindia Belanda telah menyelamatkan Negeri Belanda dari kehancuran akibat Perang Dunia I.
Gusar oleh perbuatan Salim, anggota Volksraad dari perwakilan Zending bernama Bergmeyer meminta Salim menerjemahkan kata "ekonomi" ke bahasa Melayu. Ia berharap Salim menghentikan pidato karena malu tidak bisa menjawab pertanyaannya. Tak dikira, Salim menyambut tantangan itu. Katanya, dia akan menjawab pertanyaan Bergmeyer. Tapi dia mengajukan syarat. "Tuan sebutkan dulu apa kata 'ekonomi' itu dalam bahasa Belanda," ujarnya.
Bergmeyer terdiam dan Salim terus melanjutkan orasinya. Ternyata kala itu memang belum ada padanan kata bahasa Belanda yang cocok untuk kata "ekonomi". Kata staathuishoudkunde, yang jamak dipakai sebagai pengganti, lebih tepat berarti "politik-ekonomi".
Dari waktu ke waktu hingga masa jabatannya di Volksraad berakhir, sikap oposisi Salim semakin menjadi. Ia bahkan menyebut Volksraad "komedi omong". Menurut dia, anggota lembaga itu seperti komedian yang bisa berbicara apa saja karena memiliki imunitas hukum, tapi apa yang diomongkan tidak berguna karena pemerintah Belanda tidak pernah menggubrisnya. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, Salim termasuk yang mendukung pembentukan Volksraad.
SEJAK awal Belanda memang tidak sepenuh hati memberi lembaga perwakilan untuk masyarakat Hindia. Volksraad tidak lebih dari "pemanis" politik etis Belanda. Suradi, dalam draf bukunya, Haji Agus Salim dan Persoalan Kooperasi-Nonkooperasi dalam Sarekat Islam 1915-1940 (1996), malah melihat ada agenda tersembunyi Belanda pada Volksraad. Agenda itu adalah meredam tumbuhnya kesadaran kebangsaan masyarakat Hindia yang dipelopori kelompok-kelompok pergerakan, termasuk Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Karena itu, meski disebut sebagai Dewan Rakyat, Volksraad tidak memiliki kewenangan layaknya badan legislatif yang mampu membuat undang-undang. Kewenangan Volksraad hanya sebatas memberi nasihat dan mengajukan usul. Lantaran cuma berupa nasihat dan usul, pemerintah Belanda boleh mengabaikannya.
Sebagian tokoh pergerakan tidak menyetujui pembentukan Volksraad. Dalam SI pun ada perbedaan pendapat tentang itu. Semaoen dan Darsono dari SI Semarang menolak keras. Mereka tak ingin ada kerja sama dengan Belanda.
Salim dan Abdoel Moeis berpendapat sebaliknya. Mereka memproklamasikan sikap kooperasi atau bersedia bekerja sama dengan Belanda dan mendukung SI menempatkan wakil di Volksraad. Meski wewenang Volksraad terbatas, lembaga itu diyakini berpotensi menjadi dewan perwakilan rakyat yang sebenarnya. Central Sarekat Islam (CSI) lalu mengirim Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis sebagai anggota periode 1918-1921.
Ketika Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum meresmikan berdirinya Volksraad pada 18 Mei 1918, surat kabar Neratja—Agus Salim merupakan pendiri dan pemimpin redaksinya—memuji-muji Volksraad: "Ini hari Sabtu tanggal 18, datanglah hari permulaan tanah Hindia menginjak yang pertama di jalan yang menuju pada cita-cita parlementaire zelfstandigheid (parlemen independen)."
Salim selanjutnya menduduki posisi Tjokroaminoto di Volksraad, pada periode kedua, 1921-1923. Tapi pada periode ini mulai terjadi perubahan haluan di tubuh SI. Perhimpunan itu semakin radikal dan sering bergesekan dengan pemerintah Belanda. Sikap keras itu memuncak kala pemerintah Hindia Belanda menangkap dan menahan Tjokroaminoto selama tujuh bulan pada 1921-1922. Tjokroaminoto dituduh terlibat gerakan bawah tanah SI. Sikap Salim pun mulai bergeser, dari kooperasi menjadi oposisi.
Ia gencar mengkritik kebijakan Belanda di sidang-sidang Volksraad. Meski begitu, Belanda menganggap Salim sebagai orang yang kooperatif karena tidak melepaskan keanggotaannya di Volksraad. Keanggotaan itu sempat dipermasalahkan dalam Kongres Nasional CSI kelima pada 1921. Salim dianggap tidak pantas mewakili SI di Volksraad karena dia bukan Ketua SI. Mencurigai Salim hanya ingin mencari keuntungan pribadi, sebagian anggota mempertanyakan honor Salim.
Selanjutnya, dalam Kongres Nasional CSI ketujuh di Madiun pada 1923, bersamaan dengan perubahan bentuk organisasi Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto itu berubah haluan menjadi nonkooperasi, menolak kerja sama dengan pemerintah. Salim mengikuti keputusan itu dan berhenti dari Volksraad.
Sebenarnya sikap PSI itu belum final. Partai masih membuka kompromi dan bersedia kembali kooperatif dengan syarat pemerintah mengangkat lagi Tjokroaminoto sebagai anggota Volksraad. Menurut Salim, pengangkatan kembali Tjokroaminoto penting sebagai permintaan maaf pemerintah, sekaligus memulihkan nama baik pemimpin PSI itu, yang tercemar akibat ditahan Belanda. Namun, hingga masuk periode ketiga Volksraad, pada 1924, permintaan tersebut tak dipenuhi Belanda.
Kecewa terhadap sikap Belanda, PSI tak mau lagi memiliki wakil di Volksraad. Raden Pandji Soeroso, yang bersedia diangkat menjadi anggota Volksraad, dipecat dari keanggotaan partai.
Baru pada 1927, Gubernur Jenderal A.C.D. de Graaff memutuskan mengangkat Tjokroaminoto sebagai anggota Volksraad demi kembali merangkul PSI. Tapi Salim beranggapan itu sudah terlambat. Pada awal 1930-an, sikap politik Salim bergeser lagi. Ia mengajak PSI, yang telah berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), kembali bekerja sama dengan pemerintah. Alasannya, strategi politik nonkooperasi tidak tepat lagi karena Belanda sedang gencar-gencarnya menekan gerakan anti-pemerintah. Keputusan Salim ini memicu perpecahan di tubuh partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo