Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dalam Sunyi Ia Pergi

Komplikasi stroke dan bronkitis melumpuhkan Benny. Berbaikan dengan Soeharto menjelang tutup usia.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu di kantornya di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Clara Joewono kedatangan kawan lama: Benny Moerdani. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini, ketika itu 71 tahun, datang ke kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) karena berniat "pamer" kepada Clara, yang kini Wakil Direktur CSIS. Rupanya, setelah menjalani serangkaian terapi pasca-serangan stroke, Benny kembali bisa berjalan.

Namun tubuh pria yang dulu tegap itu mulai ringkih. Bertumpu pada tongkat, ia berjalan tertatih. "Aku arep pamer mbek kowe. Saiki aku wis iso mlaku. (Aku mau pamer kepada kamu. Sekarang aku sudah bisa jalan)," kata Benny dalam bahasa Jawa. Menteri Pertahanan dan Keamanan pada Kabinet Pembangunan V, di masa Presiden Soeharto, itu lalu pelan-pelan mengayunkan kakinya dalam langkah lebar, yang malah membuat hati Clara tercekat.

Keduanya sempat mengobrol lama, bernostalgia ke masa lalu; pada 1970-an, Clara-lah yang membantu Benny menjalin korespondensi dengan para pejabat ASEAN. Sampai tiba waktunya Benny pamit. Di beranda kantor CSIS, Benny tiba-tiba menyetop langkahnya. Ia termangu memandang tangga turun di hadapannya, seolah-olah mengukur kemampuan melewatinya. Padahal, kata Clara, tangga itu cuma punya satu undakan pendek.

Clara mengaku sempat takut menggandeng Benny. Ia tak mau harga diri Benny sebagai jenderal runtuh karena dianggap tak becus berjalan. Akhirnya ia menggamit Benny, dan tak ditepis. "Saat mobil Pak Benny pergi, saya langsung menangis. Orang sehebat beliau jadi enggak berdaya setelah sakit. Bahkan turun tangga aja dia enggak bisa," ucap Clara, akhir September lalu.

Tak ada palagan yang bisa melumpuhkan Benny. Kesehatan lelaki kelahiran Cepu itu baru merosot pada 2002, selepas bermain golf dengan karibnya, Robby Sumampow dan Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy, di Puncak, Jawa Barat. Benny, sore itu berjalan seorang diri, terpeleset di lantai bawah tanah hotel. Ia ambruk. Ketika ditemukan setengah jam kemudian, Benny sedang tak sadarkan diri. Kepalanya berlumuran darah karena menghantam kursi.

Teddy, tangan kanan Benny di TNI, menyebutkan Benny baru diketahui mengalami stroke setelah ditawari berobat di Rumah Sakit Tan Tock Seng oleh Perdana Menteri Singapura ketika itu, Goh Chok Tong. Belakangan, Benny seperti kesulitan mengurus pembayaran biaya perawatannya. Menurut mantan ajudan Benny, Letnan Jenderal Marinir Purnawirawan Nono Sampono, Goh dan suami mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, adalah orang yang melunasi biaya berobat Benny.

Sejak itu, salah satu telinganya yang tuli makin lama makin sering nyeri. Tapi Benny emoh menyerah. Dengan kaki yang mesti diseret saat berjalan, ia masih saja wira-wiri bertemu dengan kawan-kawannya sesama purnawirawan TNI. Kadang ia bepergian ditemani asistennya, kadang dijemput Laksamana TNI Purnawirawan Muhammad Arifin, mantan Kepala Staf Angkatan Laut.

Arifin kerap mengajak Benny ke tempat-tempat pasukan tempur. Melihat tank, juga perwira, tamtama, dan bintara yang gagah-gagah di sana, wajah Benny berseri-seri. Kendati tak lagi jelas jika berbicara, Benny kerap tersenyum kecil. Apalagi jika dipapah, melongok ke hangar pesawat. "Memang di situlah dunia beliau," kata Arifin dalam buku L.B. Moerdani: Pengabdian tanpa Akhir.

Beberapa tahun lalu Benny merupakan anak emas dua presiden, Sukarno dan Soeharto. Ia pernah menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, jadi diplomat di Korea Selatan, membenahi organisasi intelijen, sampai akhirnya melejit bak roket jadi jenderal bintang empat. Tapi, di usia senjanya, ia kesepian. "Setelah pensiun, teman saya cuma itu-itu juga (tentara)," ucap Arifin kepada Benny, suatu ketika. Dengan nada datar dan tanpa senyum, Benny mengiyakan. "Itu betul."

Benny tak punya kantor dan tak jadi komisaris seperti banyak kawannya sesama pensiunan militer. Ia menghabiskan banyak hari akhirnya untuk mengobrol dengan kawan-kawannya di CSIS, seperti Harry Tjan Silalahi, Clara, dan Jusuf Wanandi. Jika bertemu dengan geng CSIS, kata Clara, Benny seperti "hidup kembali". Kepada merekalah Benny banyak bertanya soal perubahan politik, kondisi negara, dan masalah dunia internasional.

Baik di rumah maupun kantor CSIS, Benny masih lahap membaca segepok koran dan buku kiriman kawan-kawannya di Amerika Serikat. Sesekali ia melukis sebagai terapi pasca-stroke. Ia juga sering menonton film perang dari cakram optik di rumahnya. Di kediamannya di Hang Lekir, Jakarta Selatan, Benny ditemani istrinya, Theresia Hartini; anak tunggalnya, Irene Ria Moerdani; juga perawat. Untuk berkomunikasi, ia dibantu lonceng, karena ketika itu hidupnya bergerak di atas kursi roda.

Pernah suatu kali, menurut Clara, Benny menonton film di rumah sembari merokok. Ya, Benny memang tak bisa stop merokok kendati komplikasi bronkitis dan stroke sudah melemahkannya. Nahas, puntung rokok yang masih menyala itu jatuh di kaus nilonnya, tepat di dada. Benny berteriak, menahan sakit, sementara bara api rokok terus membakar dadanya. Lonceng sudah digerakkan, tapi tak ada yang muncul.

Kian hari tubuh Benny kian lemah, sementara sejarah bergerak. Soeharto pun lengser pada 1998, "menyusul" Benny yang lebih dulu menjauh dari kekuasaan. Hubungan mereka yang sempat beku, menurut Clara, akhirnya mencair. Benny dan Soeharto-dua pria yang sama-sama sudah kesulitan berbicara-saling mengunjungi. Dari atas kursi roda, keduanya kerap diam tanpa kata. Hanya air mata yang menitik dari keduanya, seolah-olah saling mengampuni masa lalu.

Juli 2004, kondisi Benny merosot drastis. Ia akhirnya menginap di kamar perawatan intensif Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Di sana, hari-harinya kian sunyi. Hanya kawan itu-itu saja yang menjenguknya. Di antara yang paling rajin datang adalah Robby. Salah satu wartawan yang dekat dengan Benny, Fikri Jufri, menyebut ruangan Benny sepi saat ia datang menjenguk. "Tidak ada yang menunggui," katanya. Tapi Fikri sendiri tak sempat mendekati Benny. "Dia (Benny) mendelik begitu lihat saya."

Benny berpulang pada 29 Agustus 2004 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di kompleks makam Nasrani, makam Benny ada di urutan kelima. Sesuai dengan angka kegemarannya, lima, yang menyimbolkan Pancasila. Benny, kata Nono, memang nasionalis sejati. Bahkan, tiap bersumpah jabatan di depan pendeta, Benny emoh menegakkan dua jari, tapi lima. Sampai-sampai, menurut Nono, pernah ada yang menanyakan agama bosnya itu. "Saya Pancasila," jawab Benny.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus