Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Citra kepulauan Indonesia tercetak jelas di gapura besar di kompleks Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara. Bangunan-bangunan bercat putih tampak menjulang. Beroperasi sejak 1990, sekolah itu tumbuh sebagai institusi pendidikan papan atas yang menjadi magnet bagi banyak pelajar. Sekolah itu menjadi bukti kepedulian Leonardus Benjamin Moerdani, yang lebih dikenal di dunia militer dan intelijen, pada dunia pendidikan Indonesia.
Fasilitas di dalam kompleks yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, tersebut sangat lengkap. Sekolah di lahan seluas 23,5 hektare itu tampak asri dengan pepohonan rimbun berdiri di antara gedung-gedung bertingkat, poliklinik, stadion, kolam renang, menara panjat tebing, dan lapangan basket. Akomodasi di sekolah juga bertambah dengan dibangunnya satu asrama baru berlantai tiga yang diberi nama Gedung Kartini.
Meski sibuk oleh tugas, Benny kerap datang menengok Taruna Nusantara. Setelah pensiun dari jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan pada 1993 pun Benny rutin mengunjungi sekolah itu. Juru Bicara Taruna Nusantara, Andras Setyorini, mengatakan Benny sering datang diam-diam. "Kepala sekolah pun tak tahu waktu kunjungannya," ujar Andras, dua pekan lalu. Benny sering datang tanpa pengawalan, lalu mengelilingi area sekolah. Dalam beberapa kesempatan, Benny tiba-tiba menyelinap pergi dari sekolah ke tempat lain. "Orangnya tak banyak bicara. Pak Benny sering menghilang di sekolah," kata Andras, yang telah mengajar di sekolah itu sejak 1991.
Ide membangun sekolah itu muncul di kepala Benny sejak 1970-an setelah ia menjalani dinas di luar negeri. Sembilan tahun bertugas di luar negeri membuatnya belajar banyak tentang sekolah menengah atas berkualitas dan membandingkannya dengan kondisi di Indonesia. Benny sadar banyak anak berbakat di Indonesia tak mendapat pendidikan karena fasilitas dan dana minim.
"Ini bukan berarti saya menyepelekan yang ada, saya bicara mengenai 25 atau 30 tahun mendatang," kata Benny dalam wawancara yang dimuat Tempo pada Juni 1988.
Pandangan Benny tentang masa depan Indonesia itu juga disebut Try Sutrisno, yang pernah menjadi anak buahnya. Try masih ingat ketika Benny memanggil dia dan koleganya membicarakan apa "warisan" yang bisa mereka berikan untuk Indonesia. "Bung, kita ninggali apa untuk Indonesia? Kita semua ini sudah tua," ujar Try, menirukan ucapan Benny dalam pertemuan itu.
Kala itu Benny adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Try sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Benny menyatakan ingin membangun lembaga pendidikan yang juga bisa memberikan nilai perjuangan dan kebangsaan bagi anak muda. "Akhirnya kami sepakat membangun sekolah menengah atas," kata Try, Jumat dua pekan lalu.
Benny tahu banyak tentang sekolah khusus di luar negeri yang juga menanamkan nilai kebangsaan. Dia lantas mengajak Taman Siswa, lembaga pendidikan yang dirintis Ki Hadjar Dewantara. Pengaruh Ki Hadjar sebagai pakar pendidikan dan seorang nasionalis dalam sistem pendidikan Taman Siswa dipercaya Benny bisa menolong membangun sekolah yang diinginkannya.
"Sekolah berlatar Katolik dan Islam sudah banyak. Saya mau sekolah kebangsaan," tutur Try menirukan ucapan Benny.
Try serta koleganya dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian menyiapkan rencana masing-masing untuk membangun konsep sekolah Benny itu. Angkatan Darat menawarkan lahan di Magelang, sementara Angkatan Laut mengajukan Surabaya sebagai lokasi sekolah. Angkatan Udara mengusulkan fasilitas pangkalan mereka di Yogyakarta, sementara Kepolisian menyorongkan Kota Semarang.
"Kebetulan yang diterima adalah konsep saya dari AD. Punya AL enggak diterima, Surabaya kan panas. Semarang ribut dan panas juga. Kalau Yogya itu rasanya terlalu kota, nanti malah kacau," ucap Try, bercanda.
Sekolah itu lalu dibangun di Lembah Tidar, dekat Akademi Militer Magelang, pada Juli 1989. Benny meresmikan Taruna Nusantara setahun kemudian. Angkatan pertama sekolah itu diisi sekitar 300 murid. Meski berlatar belakang militer, Benny lebih percaya kepada sipil untuk memimpin sekolah itu. Kepala sekolah pertama yang dipilih Benny, Tarwotjo, adalah guru besar antropologi budaya. "Profesor Tarwotjo adalah ahli pendidikan dan dia pejuang 1945," kata Try.
Tarwotjo pula yang berinisiatif memakai batu gunung besar sebagai prasasti. Try mengatakan batu itu diambil dari Gunung Lawu. "Bayangkan batu sebesar itu dia bawa turun ke Magelang," ujar Try. Batu itu kemudian dibelah dan ditempatkan di dua lokasi. "Di bagian depan ada batu dengan moto Pak Benny dan di belakangnya, mau masuk halaman sekolah, ada batu saya," kata Try.
Dalam tulisannya di buku yang diterbitkan untuk peringatan kematian Benny pada 2004, Tarwotjo mendukung rencana Benny mendirikan sekolah itu meski dia tak tahu mengapa bisa ditunjuk menjadi kepala sekolah. Ternyata Benny sudah mencari informasi tentang Tarwotjo dari rekan-rekannya. Selama mengenal Benny, Tarwotjo menyebutnya sebagai orang yang peduli pada sistem pendidikan yang bagus. "Beliau itu rasional edukatif," tulisnya.
Para pelajar di Taruna Nusantara adalah siswa-siswi terbaik dari semua sekolah menengah pertama. Mereka harus melalui ujian ketat. Persaingan antarpelajar pun berlangsung sengit. Tak ada pengulangan saat gagal naik kelas. "Ada pelajar yang down karena biasa juara sewaktu SMP, tapi di SMA itu bahkan tidak masuk 10 besar," ujar Budi Pruwanto, siswa angkatan kedua Taruna Nusantara.
Taruna Nusantara, menurut Budi, menerapkan kurikulum standar dengan penyesuaian standar yang lebih tinggi. Tambahan pendidikan bela negara dalam kurikulum sekolah tak membuat para siswa lantas memilih karier di dunia militer. "Hanya sekitar 30 persen dari 245 orang di angkatan saya yang memilih karier di dunia militer," kata Budi, yang kini berprofesi sebagai konsultan sumber daya manusia.
Selama lima tahun pertama, Taruna Nusantara hanya menerima pelajar laki-laki. Sekolah mulai menerima siswi pada 1996 setelah ditanya Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto, saat mengunjungi Taruna Nusantara setahun sebelumnya. "Bu Tien waktu itu bilang kok tidak melihat siswa putri," ucap Andras.
Benny juga ikut menghimpun dana untuk mengembangkan fasilitas sekolah. Tarwotjo, yang ingin memberikan latihan mengemudi bagi siswa, sempat meminta agar mereka diizinkan berlatih bersama polisi setempat. Alih-alih disuruh berlatih bersama polisi, Benny dan Try memberi mereka tiga mobil bekas yang masih bagus untuk latihan. Mobil-mobil itu kini masih tersimpan di sekolah.
Ketua organisasi siswa intra sekolah SMA Taruna Nusantara, M. Faizal Muttaqin, tertarik masuk sekolah itu karena menanamkan nilai nasionalisme dan disiplin yang ketat. Menurut dia, Benny sebagai pendiri sekolah mempunyai pandangan nasionalisme yang kuat. "Beliau sudah berpikir jauh untuk menghasilkan pemimpin dari sekolah ini," ucapnya.
Namun membangun dan mengembangkan fasilitas di SMA Taruna Nusantara butuh biaya besar. Saat Taruna Nusantara dibangun 24 tahun lalu, biaya operasionalnya ditanggung Tentara Nasional Indonesia. Rencana untuk mandiri dan membentuk yayasan buyar setelah reformasi 1998 dan militer tak punya dana cukup buat menanggung beban operasional.
Sekolah yang semula gratis pun akhirnya berbayar. Tahun ini saja uang pangkal sekolah mencapai Rp 25 juta per siswa. Uang bulanan yang harus dibayar siswa sebesar Rp 3,5 juta. "Alumnus sudah sepakat memberikan beasiswa untuk 50 siswa. Nanti rencananya akan ditambah," kata Budi.
Saat ini ada 1.058 pelajar yang belajar di Taruna Nusantara. Alumnus sekolah itu banyak melanjutkan pendidikan di akademi militer dan universitas terkemuka. Mimpi Benny tercetak jelas dalam denyut kehidupan SMA Taruna Nusantara. Seuntai kalimat "Dengan rahmat Tuhan yang Mahaesa, Kampus Taruna Nusantara dipersembahkan untuk masa depan bangsa dan negara" dalam prasasti mengabadikan obsesi Benny untuk dunia pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo