Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Pengujung Usia yang Sepi

LEONARDUS Benjamin Moerdani bukan jenis pria yang menghabiskan waktu buat keluarganya. Tak banyak cerita bagaimana dia berlibur dan bercanda bersama istri dan putri semata wayangnya. Sebagian besar hidupnya hanya untuk bekerja. Kegiatan dinasnya pun serba rahasia. Bagi dia, pekerjaan bukanlah urusan keluarga. Namun ia tetap seorang suami dan ayah pengayom. Digerogoti stroke, Benny menjalani hidup penuh kesepian di pengujung usia.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angker di Luar, Dingin di Rumah

Gila kerja dan jarang berekreasi dengan keluarga. Menangis di pernikahan anaknya.

Kesibukan pecah di kediaman mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Leonardus Benjamin Moerdani di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, pertengahan September 1993. Puluhan orang hilir-mudik mempersiapkan pernikahan Irene Ria Moerdani, anak semata wayang sang Jenderal, yang tinggal dua hari lagi. Di dalam kamar, Benny Moerdani justru mengerang kesakitan. "Kalau tegang dan banyak pikiran, biasanya sakit pinggangnya kambuh," kata Clara Joewono, Wakil Direktur Centre for Strategic and International Studies, yang pernah menjadi sekretaris Benny, Kamis dua pekan lalu.

Ria menikah dengan Josaphat Rizal Primana, putra pertama R. Soeprapto, pensiunan PT PAL Surabaya. Prosesi pernikahan digelar dengan tata cara adat Jawa lengkap dengan pemasangan tarup di sekitar rumah. Sakitnya Benny membuat ketua panitia pernikahan, Harry Tjan Silalahi, kebingungan. Soalnya, meski sakit pinggang, Benny memaksa memasang sendiri bleketepe, anyaman daun kelapa hijau-simbol penolak bala-di bagian atas tarup. Memang biasanya bleketepe dipasang oleh orang tua calon pengantin. "Padahal ia sakit pinggang. Berjalan saja susah, apalagi naik tangga setinggi atap rumah," ucap Clara saat ditemui Tempo di kantornya.

Clara lantas memanggil seorang tabib Cina langganannya untuk memberi obat pereda rasa sakit. Pinggang Benny lantas dibobok, diolesi ramuan warna hitam. Esok harinya ia tak mengeluh sakit lagi. "Wes ora loro maneh (Sudah tidak sakit lagi)," ujar Clara, menirukan ucapan Benny. Menteri Pertahanan dan Keamanan pada Kabinet Pembangunan V, di masa Presiden Soeharto, itu kemudian memanjat tangga, memasang bleketepe pada tarup.

* * * *

Benny mengenal Hartini, istrinya, pada 1956. Kala itu ia masih berpangkat letnan II dan Hartini bekerja sebagai pramugari pesawat Garuda Indonesia. Hartini adalah kawan adik Benny, Maria Sri Noerna, yang juga menjadi pramugari. Julius Pour dalam buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007) menulis bahwa Hartini mendambakan figur militer sebagai suaminya. Benny memang tak banyak berbicara, tapi, "Selalu ngayomi. Bisa memberikan perasaan aman, perlindungan kepada setiap orang yang ada di dekatnya," kata Hartini, seperti ditulis Julius.

Profesi Benny sebagai perwira militer membuat masa pacaran mereka kurang berjalan mulus. Sebagai anggota pasukan komando, ia sering bepergian ke berbagai pelosok Tanah Air untuk menjalankan tugas. Benny juga selalu tertutup, tak pernah mengatakan ke mana ia pergi. Dia akan merasa tak senang bila Hartini bertanya mengenai apa dan ke mana ia akan bertugas. "Orangnya pendiam, tak pernah membicarakan tugas dan pekerjaannya," ujar Hartini. Meski begitu, setiap bepergian, Benny selalu membawa foto Hartini, yang ia simpan dalam dompet tahan air miliknya.

Mereka baru menikah setelah sekitar delapan tahun berpacaran, pada 12 Desember 1964, di kantor Catatan Sipil Jakarta. Itu pun setelah Presiden Sukarno meminta mereka segera menikah. Beberapa hari kemudian, Presiden Sukarno merayakan pesta pernikahan mereka di Istana Bogor.

Saat menikah, Benny beragama Katolik, sedangkan Hartini beragama Islam. Menurut catatan Julius, kala itu tak pernah ada campur tangan pemerintah dalam mengurusi masalah pernikahan. Meski mereka beda agama, pernikahan itu tak menemui hambatan.

Sebenarnya Benny juga berasal dari keluarga yang plural dalam beragama. Ayah Benny, Raden Bagus Moerdani Sosrodirdjo, beragama Islam. Sedangkan ibu Benny, Jeanne Roech, adalah pemeluk Katolik. Karena sudah terbiasa hidup dalam keluarga berbeda-beda keyakinan, Benny tak memaksakan agamanya kepada istri dan anaknya. Meski begitu, dalam perkembangannya, saat Benny bertugas di Seoul, Korea Selatan, Hartini dan Ria mempelajari agama Roma Katolik dan dibaptis. "Saya sendiri tidak tahu karena mereka tak pernah minta izin. Saya justru hanya diberi tahu sehari sebelum mereka berdua dibaptis," kata Benny, seperti ditulis Julius Pour. Hartini mendapat nama baptis Theresia, sedangkan Ria mendapat nama Irene.

Sikap Benny yang tertutup tentang pekerjaannya tetap berlangsung saat ia berkeluarga. Meski sering bepergian, tak jarang sampai berbulan-bulan, ia tidak pernah mengatakan ke mana tujuannya. "Kadang Bu Benny tanya ke saya ke mana Pak Benny pergi bertugas. Karena ternyata, saat pamit, ia hanya bilang akan ke luar kota atau ke luar negeri, tidak menjelaskan ke mana," ucap Clara.

Ketika melahirkan Ria pada 23 September 1965, Hartini tak tahu di mana suaminya berada. Benny kala itu sedang menjalankan tugas rahasia ke luar negeri. Hartini sempat kebingungan memberi nama anaknya karena Benny tak jelas di mana dan kapan pulang. Ia lalu menulis surat permintaan kepada Presiden Sukarno. Beberapa hari kemudian, Bung Karno membalas dan memberi nama Harbeni Takariana.

Benny baru pulang ke Jakarta beberapa pekan kemudian, tanpa memberi kabar sebelumnya. "Dalam kegelapan malam, Benny tiba-tiba muncul. Menatap saya sebentar, kemudian tanpa ngomong, segera menimang bayi kami," ujar Hartini di buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis. Malam itu juga Benny mengganti nama anaknya menjadi Ria Moerdani.

Benny adalah sosok yang gila kerja. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah. Saat menjabat Kepala Badan Intelijen Strategis, ia memiliki kamar tidur sendiri di kantornya. "Semua keperluan sehari-hari, baju dan sebagainya, ada di sana. Maka, bila sewaktu-waktu pergi ke luar kota atau luar negeri, ia langsung berangkat dari kantor, tidak pulang ke rumah dulu," ujar seniman Setiawan Djody. Djody sering datang ke kantor Benny untuk berdiskusi dan main musik. "Ia juga punya piano di sana."

Benny juga jarang mengajak keluarganya rekreasi. Bahkan, bila ada acara bersama di luar rumah, sering mereka berangkat sendiri-sendiri. "Pak Benny berangkat dari kantor, sedangkan Bu Benny dan Ria berangkat dari rumah. Mereka kemudian bertemu di tempat acara," tutur Clara.

Ada satu hal menarik dari Benny. Meski tampak lebih gemar di tempat kerja, ia selalu membawa bekal makan masakan Hartini. Bekal diwadahi rantang yang kadang ia bawa sendiri dari rumah atau diantarkan ke kantor. "Untuk makan siang dan malam, pasti makanan dari rumah. Walau ada acara makan-makan, bekal rantangnya akan dimakan dulu. Itu cara beliau menghormati Ibu Benny di rumah," ujar Letnan Jenderal Nono Sampono, mantan ajudan Benny.

* * * *

Pernikahan Ria dan Josaphat diadakan di Gereja Katedral, Jakarta. Setelah memasang bleketepe, Benny, yang sudah merasa sehat kembali, mendampingi anak dan menantunya ke sana. Majalah Tempo edisi 2 Oktober 1993 menulis perayaan misa dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Leo Soekoto, diiringi paduan suara St Caecilia dan orkes Capella Amadeus. Kala lagu Ave Maria mengalun, Benny tak kuasa menahan air mata. "Saya terharu," ujar Benny. Keluarga dan sejumlah tamu tertegun. "Itu pertama kali saya lihat Pak Benny menangis," kata Clara.

Sepulang dari Katedral, seusai acara temon di rumah keluarga, Benny menyampaikan pesan kepada kedua mempelai. Ia mengeluarkan secarik kertas bertulisan beberapa kalimat dari saku baju dan membacanya. Suaranya yang biasanya lantang itu terdengar serak. "Kalian kini memasuki bahtera kehidupan di lautan lepas. Kemungkinan besar badai akan mengguncang perahumu. Tapi ingat, seberapa besar pun badai mengguncang, jangan sekali-kali meninggalkan kapalmu. Never leave your boat. Sebab, laut itu pasti akan kembali tenang," ujar Benny. Sang Jenderal kembali terisak dan bercucuran air mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus