Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Derita Para Korban Perdagangan Ginjal

Hidup penjual ginjal makin terpuruk setelah operasi. Tak menyurutkan minat para calon donor ginjal.

6 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Donor ginjal tak bisa bekerja berat lagi selepas operasi.

  • Masyarakat masih menganggap buruk orang yang pernah mendonorkan ginjal.

  • Harga satu ginjal mencapai Rp 135 juta.

SEPEKAN terakhir, Dadang kesulitan bekerja. Laki-laki 30 tahun yang namanya disamarkan ini biasanya memulung rongsokan selama 14 jam setiap hari. Kini penduduk Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu harus banyak beristirahat. “Pinggang saya terasa panas saat bekerja,” katanya pada Kamis, 3 Agustus lalu, sambil menunjuk bagian perut di bawah pusarnya. Di sana ada bekas luka. Menurut Dadang, itu bekas operasi donor ginjal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasa panas di pinggang dirasakan Dadang delapan tahun setelah ia mendonorkan ginjalnya pada 2015. Rasa panas itu, dia mengungkapkan, mirip dengan yang ia rasakan beberapa saat setelah ginjalnya diambil di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setelah itu ia tak merasakan ada yang aneh di tubuhnya. Ia mematuhi larangan dokter agar tak mengangkat beban lebih dari 50 kilogram. Baru belakangan ini ia merasa tubuhnya cepat lemas dan mudah tertidur. "Kalau lari langsung capek," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dadang adalah salah satu korban jaringan perdagangan ginjal. Ia menjual ginjal kirinya seharga Rp 100 juta. Duit itu ia gunakan untuk membantu ekonomi keluarganya dan membangun rumah.

Rupanya, Dadang bukan satu-satunya korban pendonoran ginjal ilegal di Majalaya. Camat Majalaya Gugum Gumilar mengatakan setidaknya ada tiga donor ginjal yang ia tahu berasal dari wilayahnya. Ia mengatakan saat ini kondisi fisik para korban perdagangan ginjal itu juga memprihatinkan. "Ada yang paru-parunya bocor dan dirawat berbulan-bulan di rumah sakit," ucap Gugum kepada Tempo.

Camat Majalaya, Gugum Gumilar, saat ditemui di kantornya di Majalaya, Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 3 Agustus 2023/Tempo/Egi Adyatama

Pemerintah kecamatan memberi bantuan kepada para penjual ginjal itu dengan memasukkan nama mereka ke data terpadu kesejahteraan sosial atau DTKS agar menerima bantuan sosial pemerintah. Mereka pun difasilitasi pelayanan kesehatan gratis dari pusat kesehatan masyarakat. Menurut Gugum, para korban perdagangan ginjal umumnya tak memiliki uang karena kesusahan mencari pekerjaan setelah kehilangan satu ginjal.

Sekretaris Desa Wangisagara, Iis Nina Kartika, mengatakan dampak terbesar yang menimpa para korban perdagangan ginjal adalah stigma masyarakat. Sejak menjual ginjal, mereka dianggap aib keluarga. Para majikan enggan menerima mereka bekerja karena dianggap tak bisa melakukan pekerjaan berat. "Ada yang sampai rumah tangganya terganggu," ujar Iis.

Usaha camat dan kepala desa mencarikan pekerjaan untuk para korban perdagangan ginjal juga buntu. Nama-nama para korban itu sudah kadung menyebar di masyarakat. Gugum Gumilar mengaku berkali-kali ditolak perusahaan ketika mengajukan nama mereka sebagai calon pegawai. "Perusahaan enggak mau menanggung biaya bila sakit," katanya.

Kondisi itu yang membuat Dadang menjadi pemulung rongsokan selama dua tahun terakhir. Sejak menjual ginjal, ajakan teman-temannya untuk bekerja jauh berkurang. "Orang-orang tahu ginjal saya tinggal satu, jadi dianggap tak bisa kerja berat," tuturnya.

Cap buruk itu yang membuat para korban enggan berbicara secara terbuka. Mereka khawatir stigma negatif makin melekat hingga akhir hayat. Beberapa korban menolak diwawancarai karena mengaku mengalami trauma dan menyesal telah menjual ginjalnya.

Kasus penjualan ginjal di Majalaya terungkap pada 2016 oleh tim Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Kasus tersebut pernah dimuat di majalah Tempo edisi 15-21 Februari 2016 berjudul “Makelar Gagal dari Majalaya”. Ada sekitar 30 warga Majalaya yang diduga menjual ginjal mereka. Dari operasi polisi, jaringan perdagangan ginjal di Majalaya terbentuk karena ada calo yang membujuk warga desa mendonorkan ginjalnya.

Gugum Gumilar meyakini jumlah penjual ginjal di wilayahnya jauh lebih banyak. Pada 2015 saja, ia menemukan ajakan menjual ginjal di Majalaya begitu masif. Namun ia mengaku kesulitan mendata para korban karena mereka bertransaksi sembunyi-sembunyi. "Ketika mereka terbuka, masyarakat memberi stigma yang sangat buruk," ucapnya.

Jaringan makelar perdagangan ginjal bekerja lewat pendekatan personal kepada para korban. Dadang menyebutkan Amang, salah satu makelar perdagangan ginjal di Majalaya, sebagai tetangga dekatnya. Dari Amang, Dadang mendengar informasi bahwa banyak orang di kampungnya sudah menjual ginjal. "Baru-baru ini ada teman yang bertanya soal prosedur penjualan ginjal," katanya. "Saya larang."

Jika pada 2015 para makelar ginjal mencari korban via rumah ke rumah, kini, Dadang menambahkan, mereka memakai media sosial untuk mencari dan membujuk pada korban. Setidaknya ada dua grup di Facebook yang menjadi media interaksi calon penjual ginjal dengan makelar. Grup itu bernama “Donor Ginjal Indonesia” dan “Donor Ginjal Luar Negeri”. Grup-grup itu beranggotakan sekitar 3.000 akun. Beberapa pengikutnya terang-terangan menawarkan ginjal mereka.

Kepada Tempo, seorang calon donor mengaku pernah mengunggah status ingin menjual ginjalnya di kedua grup tersebut. Ia tinggal di sebuah desa di Jawa Barat. Tak lama berselang, seseorang menghubunginya lewat pesan pribadi di Facebook. Orang tersebut berasal dari Semarang. Pada 23 Maret lalu, keduanya pun bertemu di ibu kota Jawa Tengah itu. "Saya dijanjikan mendapat Rp 135 juta," ucap Dian, nama samaran calon penjual ginjal itu, pada Senin, 31 Juli lalu.

Operasi pengangkatan ginjal Dian gagal karena ia tak punya uang untuk mengurus biaya administrasi rumah sakit milik pemerintah di Semarang. Rumah sakit mensyaratkan donor ginjal harus memiliki kartu keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Karena tak memilikinya, Dian harus membayar biaya operasi.

Grup Donor Ginjal Indonesia di Facebook yang dijadikan wadah komunikasi aktivitas jual beli ginjal/Tempo/ Gunawan Wicaksono

Belakangan, ia bertemu dengan Nor Iksan alias Iksanuddin. Nor mengaku sebagai seorang mantan donor ginjal. Ia menyarankan Dian menjual ginjalnya ke Hong Kong. "Dia mengaku pernah memberangkatkan tujuh orang ke Hong Kong," ujar Dian. Keinginan ini lagi-lagi batal karena Dian tak punya uang untuk membeli tiket dan membayar ongkos pemeriksaan kesehatan sebagai syarat utama operasi pengangkatan ginjal. Nor Iksan membantah kabar bawah ia pernah menawari banyak orang untuk mendonorkan ginjal.

Dian tak patah arang. Ia tengah mengumpulkan uang dan melengkapi berkas agar bisa maju ke meja operasi ginjal. Ia mengaku sangat membutuhkan uang untuk menutup utang perawatan istrinya yang wafat setahun lalu. Anak tunggalnya juga butuh biaya sekolah. Ia paham tubuhnya tak akan bisa bekerja berat setelah ginjalnya tinggal satu. “Saya tak punya pilihan lain,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Buntu Donor Ginjal"

Egi Adyatama

Egi Adyatama

Wartawan Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus