Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKTIVITAS kapal isap milik Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengambil sampel sedimen laut di perairan Pulau Assan pada akhir Agustus 2024 membuat Jakar, 51 tahun, resah. Pengurus Kelompok Masyarakat Pengawas Nelayan Lestari di Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Meral Barat, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, itu khawatir bakal kembalinya pertambangan pasir laut yang merajalela di pulau tersebut pada awal milenium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Lihatlah, ini semua jaring nelayan tenggiri,” kata Jakar sembari menunjuk ke arah puluhan jaring ikan tenggiri yang centang perenang mengelilingi pulau. Hari itu, Senin, 16 September 2024, Jakar mengajak Tempo mengelilingi sebaran jaring yang tertambat. “Kalau nanti kapal keruk datang ke sini, ke mana lagi kami cari makan?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jakar, sejak adanya aktivitas kapal isap tersebut, masyarakat menghidupkan kembali Gerakan Penyelamatan Laut Karimun. Ia dan warga lain pernah memprotes aktivitas pengambilan sampel sedimen laut tersebut. Mereka mengibarkan bendera di hadapan pekerja kapal isap yang sedang mengambil sampel.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah mengincar perairan Pulau Assan sebagai lokasi penambangan sedimen dan pasir laut. Pemerintah berdalih ingin membersihkan sedimen laut di Selat Malaka sebagai upaya pemulihan ekosistem dan pengembalian fungsi alur laut. Namun Jakar dan masyarakat meyakini itu hanya kedok untuk memuluskan rencana pengerukan pasir laut di sekitar Pulau Assan—yang terletak di barat laut Pulau Karimun Besar.
Kepala Bidang Infrastruktur Sumber Daya Air dan Pantai Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Suraji menceritakan bahwa Pulau Karimun Besar dan pulau-pulau kecil lain masuk rencana pembersihan sedimen. “Masuk rencana pengerukan sedimen dengan maksud normalisasi alur laut agar nelayan bisa melaut dan pemulihan ekosistem lingkungan,” ucap Suraji pada Rabu, 25 September 2024.
Selain Pulau Karimun, Pulau Lingga dan Pulau Bintan di Kepulauan Riau menjadi target operasi pembersihan sedimen pemerintah. Kata Suraji, lokasi-lokasi tersebut dinamai Sedimentasi Laut Natuna-Natuna Utara yang masuk Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Di dalam aturan itu juga ada sejumlah daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, serta Selat Makassar, yang meliputi Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Peraturan pemerintah yang disebut bakal menghidupkan rencana ekspor pasir laut itu memiliki regulasi turunan berupa Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Aturan yang diteken Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada 13 Maret 2024 itu belakangan diketahui menjadi dasar bagi pemerintah memberikan izin pengelolaan hasil sedimentasi kepada 66 korporasi.
Tempo memperoleh salinan “Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut” setebal 306 halaman itu. Menurut dokumen itu, total luas sedimen di perairan Pulau Karimun mencapai 93,18 juta meter persegi dengan kedalaman 3 meter dengan potensi sedimen 279,55 juta meter kubik. Adapun total luas area sedimen yang akan dikeruk dari provinsi tersebut mencapai 3,03 juta meter persegi dengan potensi volume sedimen 9,09 juta meter kubik.
Area sedimen yang akan dikeruk itu beririsan dengan area padang lamun seluas 38.116 hektare dan terumbu karang seluas 132.985 hektare di Kepulauan Riau.
Bentangan rencana eksploitasi sedimen juga ternyata berada di area konsesi perusahaan tambang pasir laut. Beberapa perusahaan yang tercantum di situs Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata didapati mengajukan menjadi penambang hasil sedimentasi di KKP. Salah satunya berada di perairan Buru, Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun, dengan luas 1.000 hektare.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menyebutkan 66 perusahaan yang masuk sebagai calon penggangsir sedimen masih diverifikasi pihaknya. Pemerintah, kata Victor, akan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan memiliki pasar lokal dan luar negeri yang menampung hasil sedimentasi atau bahkan pasir laut.
“Jangan cuma akal-akalan doang, harus firm. Saya antisipasi jangan sampai izin-izin ekspor ini kayak dulu impor daging sapi, cuma jual kuota,” tutur Victor pada pertengahan September 2024. Victor memastikan bahwa tujuan utama pengambilan sedimen adalah menjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
•••
DARI Negeri Kincir Angin, pendiri Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia atau RASI, Danielle Kreb, gusar ketika mendapati dokumen rencana pembersihan sedimen yang akan menyasar Teluk Balikpapan dan Delta Mahakam di Kalimantan Timur. “Ternyata, dari analisis dampak, sama sekali tidak memperhatikan dampak terhadap mamalia laut,” kata perempuan 52 tahun itu ketika diwawancarai via WhatsApp pada Kamis, 26 September 2024.
Menurut Kreb, pemerintah bahkan tidak menyebutkan eksistensi minimal empat mamalia laut penting di dua perairan itu, yakni pesut pesisir, porpoise, lumba-lumba hidung botol indo-pasifik, dan duyung. Rencana penambangan sedimen untuk kepentingan reklamasi dan ekspor pasir laut justru dikhawatirkan memicu perusakan habitat mamalia laut tersebut.
Yang paling membuat Kreb terkejut adalah saat dia mengetahui bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan turut mencanangkan reklamasi pesisir Teluk Balikpapan dan Pulau Balang untuk dijadikan daratan. Padahal keduanya merupakan koridor sangat penting bagi pesut, penyu, dan duyung yang masuk area The Marine Mammal Observer Association. “Alasan apa sehingga harus ada reklamasi di sekitar Pulau Balang?”
Masih merujuk pada dokumen perencanaan pemerintah, KKP akan menyiapkan 23 juta meter kubik sedimen dan pasir laut untuk reklamasi di Kalimantan Timur. Reklamasi juga akan dilakukan di daerah lain, seperti Jakarta, Kalimantan Selatan, Pulau Jawa, dan Sulawesi Tengah.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati menceritakan, kerusakan akibat penambangan sedimen tidak hanya akan berlangsung di Kalimantan Timur, tapi juga meliputi daerah lain yang sedang disasar pemerintah. Terlebih pemerintah akan menargetkan pengambilan 17,6 miliar meter kubik sedimen dan pasir laut dari sedikitnya tujuh lokasi.
“Pasti proyek ini akan mempengaruhi bentang alam dan dinamika pesisir sehingga berpengaruh pada terumbu karang dan habitat biota laut lain,” ucap Susan. Kata dia, tentu hal ini turut merembet pada konflik sosial, yakni nelayan yang kehilangan pekerjaan akibat area penangkapan ikan telah rusak.
Pengajar biologi kelautan akuakultur dan ekologi molekuler Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya, Sapto Andriyono, meminta pemerintah serius melihat potensi kerusakan ekosistem laut. “Pasir di ekosistem laut menjadi tempat hidup organisme di dasar perairan dan memiliki peran penting dalam ekologis, seperti daur mineral yang secara langsung dapat mempengaruhi kelangsungan proses ekologis.”
Menurut Sapto, penambangan pasir secara intensif juga bakal mengubah garis pantai. Misalnya berdampak intrusi air laut sehingga membuat air laut makin naik ke daratan. Fenomena ini menjadi penyebab masyarakat di suatu daerah kesulitan mengakses air tanah untuk konsumsi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan aturan pemerintah telah merinci bahwa penambangan sedimen tidak boleh merusak lingkungan. “Kan, enggak boleh lebih ke arah merusak, ya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Caesar Akbar, Irsyan Hasyim, dan Yogi Eka Sahputra dari Batam berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pasir Digangsir Biota Binasa"