HEI, anda tidak apa-apa?" ketuk Thomas Michel, ahli antropologi
dari team riset Jerman, pada dinding papan di mana saya tidur.
Sinar lampu senternya menembus ke dalam. "Oke tidak apa-apa.
Terima kasih". Jam menunjukkan setengah tiga malam. Getaran bumi
yang cukup kencang ditambah lagi dengan derak-derak papan yang
cukup keras, membangunkan kelelapan. Sementara tanah dan
batu-batuan yang berguguran semakin keras suaranya, dengan jarak
tidak lebih dari 1000 meter dari pondok di mana kami tinggal.
"Istana" tempat saya tnggal, dilengkapi dengan onggokan karung
beras, super mi (yang rupanya belum bisa ditelan oleh penduduk
setempat) botol-botol alkohol dan obat-obatan serta berbagai
perlengkapan team riset Jerman. Dan tidur di atas veldbed dalam
kantong tidur yang hangat, badan jadi malas untuk keluar.
Biarpun gempa -- yang karena seringnya orang jadi tidak kagetan
lagi -- melanda. Di Eipomek, yang lapangan terbangnya masih
tertutup lumpur itu, kami cuma bertujuh. Dua orang Jerman
(seorang lagi ada di balik gunung), ditambah empat tenaga team
Penanggulangan Gempa (satu dari PMI dan tiga dari Polisi) tidur
di tenda bocor. "Bila malam cerah dan bintang penuh di langit",
ujar si ahli cuaca Helmut Fussy, "dingin di lembah X ini bisa
mencapai 8ø C". Lembah itu disebut X: memang sebelumnya belum
pernah dijelajah orang luar.
Di Bime, biarpun tidak sedingin Eipomek, letusan-letusan yang
seperti suara mercon bumbung itu dalam tanah masih terus
berlangsung. Di Nalca, hampir setiap malam, rata-rata sekitar 10
orang mendatangi rumah pendeta bujangan John Binzel untuk turut
berteduh tidur. Tidak diketahui bagaimana nasib anak-anak dan
kaum wanita, tapi orang-orang yang ketakutan gempa dan tanah
longsor ini terdiri dari laki-laki semua. Tidak juga mereka
berhenti di kemah atau rumah team penolong.
Sesering apakah sebenarnya gempa Irian ini? Sudadi, Pejabat
Kepala Setasiun Geofisika Jayapura, sejak 26 Juni hingga akhir
Juli telah mencatat 179 getaran lemah, sedang dan kuat. Jumlah
ini bisa bertambah, kalau saja kantornya tetap beroperasi. (dua
hari mogok, karena listrik mati). Staf gubernuran di
Jayapura yang baru mengetahui gempa 2 hari kemudian setelah 26
Juni, yang pertama kali mereka hubungi adalah pejabat dari
penerbangan sipil dan LLD. Sementara kantor cilik geofisika yang
letaknya terpencil di atas, dilupakan. Barangkali, saking
bingungnya.
Sesungguhnya, pedalaman dataran tinggi yang tertimpa gempa ini
mulai dari Nalca (Eipomek, Tanime) sampai Bime, belum terjamah
oleh tangan Pemerintah. Sebelum gempa, tidak ada lurah atau
kepala RT sekalipun. Walaupun beberapa anggota Angkatan Darat di
tahun 1969 telah terjun dalam ekspedisi lembah X. menyertai team
NBC dari AS. Jadi harap maklum, kalau team-team dari Wamena atau
Jayapura, sangat kurang pengetahuan dan pengertiannya tentang
kondisi dan situasi setempat. Dan kerjasama denn missi
diperlukan dalam hal ini, karena mereka lebih menguasai medan
dan bahasa. Kebetulan, daerah yang dilanda gempa itu adalah
daerahnya UFM (Unevangelized Field Mission, team tehnis yang
sekaligus mengabarkan Injil). Sehingga jumlah angka yang mati
misalnya berasal dari tiga sumber. Tapi angkanya tidak sama.
Gubernur Soetran melaporkan 740 orang meninggal (laporan ke dua
untuk Pusat, per 30 Juli). MAF (Mission Aviation Fellowship)
mengabarkan 425 (laporan 17 Juli) dan Dave Scovil, Ketua UFM,
per 14 Juli menyatakan 406 meninggal.
Penduduk sendiri kini sudah lebih tenang keadaannya. Hanya
sekali-sekali kalau bumi begitu keras bergoyang lagi mereka
panik sebentar. Ibu-ibu sibuk mencari bayi atau babinya, untuk
siap dimasukkan dalam noken, tas anyaman serba guna untuk tutup
kepala, tempat bayi, gendongan babi atau jadi kantong petatas
(ubi) . Kini, tidak ada lagi di antara mereka yang membicarakan
saudara atau temannya yang meninggal akibat gempa. Juga tidak
ada upacara potong jari atau melumuri tubuh dengan lempung,
sebagai pernyataan berduka. Yang sakit akibat gempa nyaris tidak
ada. Yang parah sudah dibawa ke RS Jayapura atau Anggruk.
Seorang dokter propinsi yang melayani penderita flu di Okbab
setengah menjerit berkata: "Mana selimut sumbangan itu?"
12 orang telah meninggal karena flu dan hanya 20 orang saja yang
meningal karena gempa dari sekitar 800 penduduk. Di desa-desa
lain, tak ada penyakit yang berarti, kecuali penyakit umum
seperti frambosia, kudis dan sedikit batuk. Jadi mungkin tidak
perlu keluhan tentang tenaga medis sukarela. Karena, makin
banyaknya campur tangan. bisa juga mengakibatkan lebih banyak
urusan. Jayapura sendiri punya 4 dokter ahli.
Sebulan setelah gempa, bukit-bukit yang masih hijau telah
dipenuhi dengan rumah yang dari udara menyerupai jamur. Banyak
yang sudah bercocok tanam kembali. Di Calap atau Turuwe, dua
desa dekat Bime, rumah-rumah mereka telah ditegakkan lagi,
biarpun kampung itu bertengger di atas bukit gundul, yang
kemungkinan besar tanah sekelilingnya akan berguguran terus.
Kesulitan bagi pemukiman baru ialah air minum. Lewat rasa
alamnya, mereka tahu air mana yang boleh diminum atau tidak,
sementara air kali masih berwarna coklat, sekental kopi susu
Jayapura. Biarpun begitu. sebagian besar dari penduduk Bime dan
sekitarnya lebih banyak datang berduyun-duyun mengerumuni tenda
atau pondok team Pemerintah untuk menunggu distribusi makanan.
Di Eipomek team Penangg ngan Bencana Alam nyaris nganggur
kesepian. Karena tidak ada penduduk yang datang menonton atau
menunggu pembagian beras atau petatas. Di atas bukit-bukit yang
hijau, tampak kepulan asap orang membuka hutan untuk ladang
baru. Rupanya, kepercayaan pada diri sendiri untuk mengatasi
keganasan alam begitu kuat.Atau mungkin ada hal-hal lain
yang tersembunyi?
Misalnya di Bime. Penduduk bingung, bagaimana harus
bertindak. Team Kabupaten yang datang di Bime seminggu setelah
gempa, lewat penterjemah seorang guru Injil,langsung memberi
komando: semua harus pindah. Akibatnya banyak penduduk yang
tidak mau bekerja atau kembali ke ladang. Sehari-hari hanya
menunggu distribusi makanan. Harus pindah ini juga merembet ke
Eipomek sehingga petatas yang belum waktunya panen, sudah
dicabut. Mungkin dalam waktu 6-8 bulan mendatang tidak ada
apa-apa lagi yang bisa mereka makan.
Long March?
Ada lagi komando lain di daerah yang dilanda gempa, Jayawijaya.
Bupati Kalma bermaksud penduduk yang kena gempa ini sebaiknya
dipindahkan ke tempat pemukiman baru. Atas dasar pertimbangan:
untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan agar lebih mudah
dijangkau. Rencana Karma, tempat pengungsian pertama:
Apalapsili. desa ini dari daerah gempa cuma bisa dicapai lewat
pesawat terbang. Dikabarkan bahwa rakyat setempat di Apalapsili
konon telah menyediakan sekian ekor babi untuk menyambut
kedatangan mereka. Kemudian, secara bertahap atau mungkin
berbarengan, mereka kemudian dibawa ke daerah yang mendekati
sungai Edinburgh. mulai dari Magre sampai Pagai. Daerah ini
memang tidak ada penghuninya. Perjalanan makan waktu sekitar 15
hari, lewat darat, naik kaki. Ini longmarch. Apakah rencana
Karma akan berhasil, wallahualam. Memindah mereka -- yang
selama ini tergantung langsung dari alam sekitarnya -- tidak
semudah memindah pasukan.
Yang terasa kini: ada rasa bingung pada rakyat. Dan setelah
mendengar ceritera acara pindah ini, seraya menunggu keputusan
rapat team Pusat, para pegawai dari Daerah Tingkat II jadi
linglung. Maklum, tidak tahu bagaimana harus bertindak. Apalagi
sebulan mengurus gempa bumi cukup menimbulkan segala macam
frustrasi. Tidak ada hubungan langsung lewat radio (baru tiba
setelah Ny. Tien Soeharto akn berkunjung dua hari ]agi). Orang
jengkel. Satu coretan dari salah satu anggota team di tembok
papan: "Jangan mengeluh. biarpun tidak ada Gudang Garam".
Walhasil, team penolong sering malah harus ditolong terlebih
dulu: Selimut, radio atau tap untuk bunyi-bunyian, sambal,
kopi, abon, jaket khusus, majalah hiburan dan lain-lainnya --
sementara yang ketimpa gempa cukup dengan nasi atau petatas,
garam dan ikan asin. Mungkin ada baiknya pada bulan-bulan
mendatang team ini ditarik untuk kemudaian serahkan pengaturan
pembagian makanan pada missi yang sebelum gempa memang telah
tinggal -- dan menetap di situ. Tentu saja tanpa melewatkan
pengawasan dan kontrol dari fihak Pemerintah sendiri. Hal ini
bisa menyederhanakan peraturan dan menciutkan biaya.
Tidak semua sumbangan (terutama dari luar negeri) bisa
dimanfaatkan pada waktu yang tepat. Misalnya sumbangan susu
(bubuk dan susu kental) tidak berhasil masuk kerongkongan yang
ketimpa musibah. Sebagian besar penduduk yang minum susu, jadi
sakit mencret. Di Eipomek, mereka rupanya belum suka super mi,
dan segan mencicipi bubur kacang hijau. Di tempat ini pulalah
bila mereka menerima beras, beras itu mereka bungkus dengan daun
untuk kemudian dibakar. Sumbangan berupa kelapa utuh dari PN
masih menumpuk di emperan gudang di Sentani. Tidak ada yang tahu
akan diapakan. Selain volume kelapa yang besar, pengiriman bahan
makanan utama seperti beras dan petatas sering kapiran karena
sulitnya pengangkutan. Selimut dan tenda indah dari AS, belum
tentu bisa dipakai oleh penduduk. Mempunyai rumah tenda berarti
kaki harus bersih, mungkin diperlukan veldbed, dan hal lain
lagi: penghuni tidak bisa memasang api dalam tenda. Lantas, mau
dikemanakan semua itu? Biskuit berprotein tinggi dari Australia
diragukan apakah bisa sampai pada yang paling memerlukannya:
anak-anak. Karena sistim makan penduduk begini: lebih diutamakan
bapak-bapak dulu, lalu anak-anak yang besar, baru para ibu dan
anak-anak kecil.
Dengan hanya satu heli Puma (untuk kedatangan Ny. Tien, Puma
jadi dua), 2 heli Hughes 500 dan sesekali ada Cessna MAF,
pengiriman bahan makanan sering kacau. Dua Hughes tugasnya cuma
jarak dekat mendrop makanan ke desa-desa terpencil. Yang tadinya
ada jalan setapak, tapi kini sudah jadi kali (atau sebaliknya).
Lima ton bahan makanan paling tidak harus diangkut ke
tempat-tempat gempa dalam seminggunya. Mengingat cuaca,
penerbangan belum tentu bisa dilakukan secara terencana. Apalagi
kalau ada team Pemda atau Pusat yang meninjau. Seperti pernah
terjadi akhir Juli, akibatnya: rakyat puasa.
Selama ini, ongkos angkut masih ditanggung USAID yang telah
memperpanjang sumbangannya dua kali 10 hari untuk menyewa heli
Puma milik Petro Trend cq. Pertamina. MAF dalam laporannya 25
Juli telah menyatakan menyumbangkan $ AS 22. 500,00 dan bersedia
menyumbang sampai $ AS 50.000,00 untuk 500 jam terbang pesawat
Cessna 180, heli Hitler UH-12B atau Aero Commander 2 mesin.
Minggu pertama Agustus ini, kabarnya akan tiba 2 Nomad dari
Wewak, PNC, yang kapasitas angkutnya sama dengan heli Puma, tapi
ongkos sewanya separuh dari Puma. Belum diketahui dengan pasti
dari mana akan diambil ongkos pesawat untuk mengirim bahan
makanan selanjutnya, sebab belum tentu MAF atau USAID akan
sanggup terus menyumbang semua ongkos angkut. Atau akan
dibebankan pada uang sumbangan yang kini jumlahnya sudah 300
juta rupiah lebih?
Sim, Sim
Gubernur Soetran, dalam kunjungannya yang kedua kali ke Pusat
untuk urusan gempa, ada membawa rencana: pertolongan darurat,
selama 8 bulan. (Kemudian rakyat dianggap bisa berdikari setelah
itu). Biaya perkiraan di atas 325 juta rupiah lebih sedikit.
Jumlah ini untuk merawat dan membimbing 10.000 rakyat. Meliputi
pemberian suplai beras/ubi, lauk pauk, obat obatan, alat
pertanian, gudang, bibit untuk kembali berladang. Sekitar 8%
dari jumlah 325 juta, adalah untuk kebutuhan petugas
(diperkirakan 75 orang). Ada lagi jumlah lainnya. Boleh pilih:
kalau ongkos angkutan dengan Cessna MA (tarif 100%), selama 8
bulan akan menelan uang Rp 663.300.000. Kalau Heli Puma,
seminggunya Rp 63.000.a00. Silakan hitung, berapa jumlahnya
kalau 8 bulan. Belum diketahui dengan pasti apakah Soetran
berhasil menyedot uang dari Pusat, sementara team Satuan Tugas
dari Jakarta yang diketuai oleh Harun Al Rasjid, Dirjen Bansos,
Departemen Sosial, tentu saja tidak bisa dengan cepat bergaya
bim salabim.
Tapi kalau dari sekarang (bulan kedua setelah gempa) sudah mulai
dilaksanakan program-program praktis, waktu 8 bulan itu bisa
diperpendek. Misalnya pemberian bibit tanaman (jagung, ubi
jalar, singkong dan kacang-kacangan) dan beberapa binatang
piaraan seperti kambing, kelinci, ayam. Alat-alat pertanian
non-masinal bisa mereka gunakan, seperti parang, sekop. Asal
jangan cangkul. yang selalu mereka tolak, karena selalu
menyangkut di koteka yang mereka pakai
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini