Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dan Super Mi Pun Jatuh Di Irian ...

Gempa bumi di irian jaya mulai dari nalca sampai bime. 740 orang meninggal. susu bubuk, super mi, tenda indah dan selimut tidak cocok. ada kesulitan pengangkutan.

14 Agustus 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEI, anda tidak apa-apa?" ketuk Thomas Michel, ahli antropologi dari team riset Jerman, pada dinding papan di mana saya tidur. Sinar lampu senternya menembus ke dalam. "Oke tidak apa-apa. Terima kasih". Jam menunjukkan setengah tiga malam. Getaran bumi yang cukup kencang ditambah lagi dengan derak-derak papan yang cukup keras, membangunkan kelelapan. Sementara tanah dan batu-batuan yang berguguran semakin keras suaranya, dengan jarak tidak lebih dari 1000 meter dari pondok di mana kami tinggal. "Istana" tempat saya tnggal, dilengkapi dengan onggokan karung beras, super mi (yang rupanya belum bisa ditelan oleh penduduk setempat) botol-botol alkohol dan obat-obatan serta berbagai perlengkapan team riset Jerman. Dan tidur di atas veldbed dalam kantong tidur yang hangat, badan jadi malas untuk keluar. Biarpun gempa -- yang karena seringnya orang jadi tidak kagetan lagi -- melanda. Di Eipomek, yang lapangan terbangnya masih tertutup lumpur itu, kami cuma bertujuh. Dua orang Jerman (seorang lagi ada di balik gunung), ditambah empat tenaga team Penanggulangan Gempa (satu dari PMI dan tiga dari Polisi) tidur di tenda bocor. "Bila malam cerah dan bintang penuh di langit", ujar si ahli cuaca Helmut Fussy, "dingin di lembah X ini bisa mencapai 8ø C". Lembah itu disebut X: memang sebelumnya belum pernah dijelajah orang luar. Di Bime, biarpun tidak sedingin Eipomek, letusan-letusan yang seperti suara mercon bumbung itu dalam tanah masih terus berlangsung. Di Nalca, hampir setiap malam, rata-rata sekitar 10 orang mendatangi rumah pendeta bujangan John Binzel untuk turut berteduh tidur. Tidak diketahui bagaimana nasib anak-anak dan kaum wanita, tapi orang-orang yang ketakutan gempa dan tanah longsor ini terdiri dari laki-laki semua. Tidak juga mereka berhenti di kemah atau rumah team penolong. Sesering apakah sebenarnya gempa Irian ini? Sudadi, Pejabat Kepala Setasiun Geofisika Jayapura, sejak 26 Juni hingga akhir Juli telah mencatat 179 getaran lemah, sedang dan kuat. Jumlah ini bisa bertambah, kalau saja kantornya tetap beroperasi. (dua hari mogok, karena listrik mati). Staf gubernuran di Jayapura yang baru mengetahui gempa 2 hari kemudian setelah 26 Juni, yang pertama kali mereka hubungi adalah pejabat dari penerbangan sipil dan LLD. Sementara kantor cilik geofisika yang letaknya terpencil di atas, dilupakan. Barangkali, saking bingungnya. Sesungguhnya, pedalaman dataran tinggi yang tertimpa gempa ini mulai dari Nalca (Eipomek, Tanime) sampai Bime, belum terjamah oleh tangan Pemerintah. Sebelum gempa, tidak ada lurah atau kepala RT sekalipun. Walaupun beberapa anggota Angkatan Darat di tahun 1969 telah terjun dalam ekspedisi lembah X. menyertai team NBC dari AS. Jadi harap maklum, kalau team-team dari Wamena atau Jayapura, sangat kurang pengetahuan dan pengertiannya tentang kondisi dan situasi setempat. Dan kerjasama denn missi diperlukan dalam hal ini, karena mereka lebih menguasai medan dan bahasa. Kebetulan, daerah yang dilanda gempa itu adalah daerahnya UFM (Unevangelized Field Mission, team tehnis yang sekaligus mengabarkan Injil). Sehingga jumlah angka yang mati misalnya berasal dari tiga sumber. Tapi angkanya tidak sama. Gubernur Soetran melaporkan 740 orang meninggal (laporan ke dua untuk Pusat, per 30 Juli). MAF (Mission Aviation Fellowship) mengabarkan 425 (laporan 17 Juli) dan Dave Scovil, Ketua UFM, per 14 Juli menyatakan 406 meninggal. Penduduk sendiri kini sudah lebih tenang keadaannya. Hanya sekali-sekali kalau bumi begitu keras bergoyang lagi mereka panik sebentar. Ibu-ibu sibuk mencari bayi atau babinya, untuk siap dimasukkan dalam noken, tas anyaman serba guna untuk tutup kepala, tempat bayi, gendongan babi atau jadi kantong petatas (ubi) . Kini, tidak ada lagi di antara mereka yang membicarakan saudara atau temannya yang meninggal akibat gempa. Juga tidak ada upacara potong jari atau melumuri tubuh dengan lempung, sebagai pernyataan berduka. Yang sakit akibat gempa nyaris tidak ada. Yang parah sudah dibawa ke RS Jayapura atau Anggruk. Seorang dokter propinsi yang melayani penderita flu di Okbab setengah menjerit berkata: "Mana selimut sumbangan itu?" 12 orang telah meninggal karena flu dan hanya 20 orang saja yang meningal karena gempa dari sekitar 800 penduduk. Di desa-desa lain, tak ada penyakit yang berarti, kecuali penyakit umum seperti frambosia, kudis dan sedikit batuk. Jadi mungkin tidak perlu keluhan tentang tenaga medis sukarela. Karena, makin banyaknya campur tangan. bisa juga mengakibatkan lebih banyak urusan. Jayapura sendiri punya 4 dokter ahli. Sebulan setelah gempa, bukit-bukit yang masih hijau telah dipenuhi dengan rumah yang dari udara menyerupai jamur. Banyak yang sudah bercocok tanam kembali. Di Calap atau Turuwe, dua desa dekat Bime, rumah-rumah mereka telah ditegakkan lagi, biarpun kampung itu bertengger di atas bukit gundul, yang kemungkinan besar tanah sekelilingnya akan berguguran terus. Kesulitan bagi pemukiman baru ialah air minum. Lewat rasa alamnya, mereka tahu air mana yang boleh diminum atau tidak, sementara air kali masih berwarna coklat, sekental kopi susu Jayapura. Biarpun begitu. sebagian besar dari penduduk Bime dan sekitarnya lebih banyak datang berduyun-duyun mengerumuni tenda atau pondok team Pemerintah untuk menunggu distribusi makanan. Di Eipomek team Penangg ngan Bencana Alam nyaris nganggur kesepian. Karena tidak ada penduduk yang datang menonton atau menunggu pembagian beras atau petatas. Di atas bukit-bukit yang hijau, tampak kepulan asap orang membuka hutan untuk ladang baru. Rupanya, kepercayaan pada diri sendiri untuk mengatasi keganasan alam begitu kuat.Atau mungkin ada hal-hal lain yang tersembunyi? Misalnya di Bime. Penduduk bingung, bagaimana harus bertindak. Team Kabupaten yang datang di Bime seminggu setelah gempa, lewat penterjemah seorang guru Injil,langsung memberi komando: semua harus pindah. Akibatnya banyak penduduk yang tidak mau bekerja atau kembali ke ladang. Sehari-hari hanya menunggu distribusi makanan. Harus pindah ini juga merembet ke Eipomek sehingga petatas yang belum waktunya panen, sudah dicabut. Mungkin dalam waktu 6-8 bulan mendatang tidak ada apa-apa lagi yang bisa mereka makan. Long March? Ada lagi komando lain di daerah yang dilanda gempa, Jayawijaya. Bupati Kalma bermaksud penduduk yang kena gempa ini sebaiknya dipindahkan ke tempat pemukiman baru. Atas dasar pertimbangan: untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan agar lebih mudah dijangkau. Rencana Karma, tempat pengungsian pertama: Apalapsili. desa ini dari daerah gempa cuma bisa dicapai lewat pesawat terbang. Dikabarkan bahwa rakyat setempat di Apalapsili konon telah menyediakan sekian ekor babi untuk menyambut kedatangan mereka. Kemudian, secara bertahap atau mungkin berbarengan, mereka kemudian dibawa ke daerah yang mendekati sungai Edinburgh. mulai dari Magre sampai Pagai. Daerah ini memang tidak ada penghuninya. Perjalanan makan waktu sekitar 15 hari, lewat darat, naik kaki. Ini longmarch. Apakah rencana Karma akan berhasil, wallahualam. Memindah mereka -- yang selama ini tergantung langsung dari alam sekitarnya -- tidak semudah memindah pasukan. Yang terasa kini: ada rasa bingung pada rakyat. Dan setelah mendengar ceritera acara pindah ini, seraya menunggu keputusan rapat team Pusat, para pegawai dari Daerah Tingkat II jadi linglung. Maklum, tidak tahu bagaimana harus bertindak. Apalagi sebulan mengurus gempa bumi cukup menimbulkan segala macam frustrasi. Tidak ada hubungan langsung lewat radio (baru tiba setelah Ny. Tien Soeharto akn berkunjung dua hari ]agi). Orang jengkel. Satu coretan dari salah satu anggota team di tembok papan: "Jangan mengeluh. biarpun tidak ada Gudang Garam". Walhasil, team penolong sering malah harus ditolong terlebih dulu: Selimut, radio atau tap untuk bunyi-bunyian, sambal, kopi, abon, jaket khusus, majalah hiburan dan lain-lainnya -- sementara yang ketimpa gempa cukup dengan nasi atau petatas, garam dan ikan asin. Mungkin ada baiknya pada bulan-bulan mendatang team ini ditarik untuk kemudaian serahkan pengaturan pembagian makanan pada missi yang sebelum gempa memang telah tinggal -- dan menetap di situ. Tentu saja tanpa melewatkan pengawasan dan kontrol dari fihak Pemerintah sendiri. Hal ini bisa menyederhanakan peraturan dan menciutkan biaya. Tidak semua sumbangan (terutama dari luar negeri) bisa dimanfaatkan pada waktu yang tepat. Misalnya sumbangan susu (bubuk dan susu kental) tidak berhasil masuk kerongkongan yang ketimpa musibah. Sebagian besar penduduk yang minum susu, jadi sakit mencret. Di Eipomek, mereka rupanya belum suka super mi, dan segan mencicipi bubur kacang hijau. Di tempat ini pulalah bila mereka menerima beras, beras itu mereka bungkus dengan daun untuk kemudian dibakar. Sumbangan berupa kelapa utuh dari PN masih menumpuk di emperan gudang di Sentani. Tidak ada yang tahu akan diapakan. Selain volume kelapa yang besar, pengiriman bahan makanan utama seperti beras dan petatas sering kapiran karena sulitnya pengangkutan. Selimut dan tenda indah dari AS, belum tentu bisa dipakai oleh penduduk. Mempunyai rumah tenda berarti kaki harus bersih, mungkin diperlukan veldbed, dan hal lain lagi: penghuni tidak bisa memasang api dalam tenda. Lantas, mau dikemanakan semua itu? Biskuit berprotein tinggi dari Australia diragukan apakah bisa sampai pada yang paling memerlukannya: anak-anak. Karena sistim makan penduduk begini: lebih diutamakan bapak-bapak dulu, lalu anak-anak yang besar, baru para ibu dan anak-anak kecil. Dengan hanya satu heli Puma (untuk kedatangan Ny. Tien, Puma jadi dua), 2 heli Hughes 500 dan sesekali ada Cessna MAF, pengiriman bahan makanan sering kacau. Dua Hughes tugasnya cuma jarak dekat mendrop makanan ke desa-desa terpencil. Yang tadinya ada jalan setapak, tapi kini sudah jadi kali (atau sebaliknya). Lima ton bahan makanan paling tidak harus diangkut ke tempat-tempat gempa dalam seminggunya. Mengingat cuaca, penerbangan belum tentu bisa dilakukan secara terencana. Apalagi kalau ada team Pemda atau Pusat yang meninjau. Seperti pernah terjadi akhir Juli, akibatnya: rakyat puasa. Selama ini, ongkos angkut masih ditanggung USAID yang telah memperpanjang sumbangannya dua kali 10 hari untuk menyewa heli Puma milik Petro Trend cq. Pertamina. MAF dalam laporannya 25 Juli telah menyatakan menyumbangkan $ AS 22. 500,00 dan bersedia menyumbang sampai $ AS 50.000,00 untuk 500 jam terbang pesawat Cessna 180, heli Hitler UH-12B atau Aero Commander 2 mesin. Minggu pertama Agustus ini, kabarnya akan tiba 2 Nomad dari Wewak, PNC, yang kapasitas angkutnya sama dengan heli Puma, tapi ongkos sewanya separuh dari Puma. Belum diketahui dengan pasti dari mana akan diambil ongkos pesawat untuk mengirim bahan makanan selanjutnya, sebab belum tentu MAF atau USAID akan sanggup terus menyumbang semua ongkos angkut. Atau akan dibebankan pada uang sumbangan yang kini jumlahnya sudah 300 juta rupiah lebih? Sim, Sim Gubernur Soetran, dalam kunjungannya yang kedua kali ke Pusat untuk urusan gempa, ada membawa rencana: pertolongan darurat, selama 8 bulan. (Kemudian rakyat dianggap bisa berdikari setelah itu). Biaya perkiraan di atas 325 juta rupiah lebih sedikit. Jumlah ini untuk merawat dan membimbing 10.000 rakyat. Meliputi pemberian suplai beras/ubi, lauk pauk, obat obatan, alat pertanian, gudang, bibit untuk kembali berladang. Sekitar 8% dari jumlah 325 juta, adalah untuk kebutuhan petugas (diperkirakan 75 orang). Ada lagi jumlah lainnya. Boleh pilih: kalau ongkos angkutan dengan Cessna MA (tarif 100%), selama 8 bulan akan menelan uang Rp 663.300.000. Kalau Heli Puma, seminggunya Rp 63.000.a00. Silakan hitung, berapa jumlahnya kalau 8 bulan. Belum diketahui dengan pasti apakah Soetran berhasil menyedot uang dari Pusat, sementara team Satuan Tugas dari Jakarta yang diketuai oleh Harun Al Rasjid, Dirjen Bansos, Departemen Sosial, tentu saja tidak bisa dengan cepat bergaya bim salabim. Tapi kalau dari sekarang (bulan kedua setelah gempa) sudah mulai dilaksanakan program-program praktis, waktu 8 bulan itu bisa diperpendek. Misalnya pemberian bibit tanaman (jagung, ubi jalar, singkong dan kacang-kacangan) dan beberapa binatang piaraan seperti kambing, kelinci, ayam. Alat-alat pertanian non-masinal bisa mereka gunakan, seperti parang, sekop. Asal jangan cangkul. yang selalu mereka tolak, karena selalu menyangkut di koteka yang mereka pakai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus