Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang Kritis, Dengan K

Konperensi hukum laut iii di new york yang diiuti 147 negara, menyetujui wilayah laut 12 mil dari pantai. 50 negara yang tak berwilayah laut menuntut bagian adil kekayaan laut.

14 Agustus 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGARA-NEGARA tepi Selat Malaka dan Singapura, masih saja pusing dengan tabrakan-tabrakan kapal, apalagi tanker. Sementara itu di New York, 2 Agustus yang lepas, sidang ke-5 Konperensi Hukum Laut III dimulai lagi. Dan delegasi Malaysia bisa dibayangkan sudah tak sabar hendak memuntahkan isi hatinya berkenaan dengan insiden laut yang membuahkan pencemaran itu. Kata Menteri Urusan Lingkungan kerajaan itu dua pekan lalu. Malaysia akan mendesak konperensi agar mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengamankan pantai dari pengotoran minyak. Di Jakarta, kecemasan akan pencemaran laut sudaH ditingkatkan dalam sebuah seminar, oleh Lembaga Oseanologi Nasional dan Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia. pekan akhir bulan lalu, salah seorang pemrasaran mengingatkan bahwa dulu kita menganggap tenggelamnya kapal Torre Canon di pantai Inggeris -- yang menyebabkan polusi laut itu -- sebagai suatu hal yang masih jauh kemungkinan terjadinya di Indonesia. Baru setelah Januari 1975. ketika Showa Maru (140 ribu ton bobot mati) kandas di Selat Singapura, yang mengakibatkan tercemarnya bagian perairan Indonesia di selat itu. "kita tersentak bangun dan sadar bahwa 'di halaman rumah kita' orang lain dapat mencemarkannya" . Itulah alasan Malaysia dan Indonesia untuk mengatur lalu lintas laut di kawasan yang sempit tapi strategis itu. Ini merupakan refleksi dari undang-undang nasional mereka yang mengklaim lebar laut teritorial 12 mil. Mereka mengusulkan pengaturan itu dilakukan oleh 3 negara: mereka berdua plus Singapura. Khusus untuk Selat Malaka dibawanya Singapura adalah karena eratnya hubungan Selat Malaka dan Singapura. Dengan penyelesaian tripartite ini negara-negara tepi itu hendak menangkis isyu internasionalisasi Selat Malaka seperti pernah digagaskan Jepang 1970. Warisan Umat Konperensi Hukum Laut III yang sudah berlangsung sejak 2 1/2 tahun itu tampaknya tak berkeberatan dengan lebar 12 mil ini seperti yang dibiearakan di Komite II. Tapi negara maritim besar, berhubung kepentingan kapal-kapalnya, melekatkan tambahan pada kesetujuan mereka atas ukuran 12 mil ini. Khusus terhadap selat yang selama ini merupakan international straits, kata mereka. Setiap kapal asing tetap diberikan hak lintas bebas (free transit). Masuk ke dalam kategori ini adalah Selat Malaka, satu dari 112 selat yang karena lebar laut teritorial 1 mil. lalu menjadi perairan teritorial negara pantai (kapal-kapal asing harus melaluinya di bawah rezim hak lintas damai atau (innocent passage). Yang tampak bakal bertele-tele adalah persoalan yang digarap Komite I berkenaan dengan pengusahaan kekayaan alam di dasar laut dan samudera dalam di luar batas yurisdiksi nasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Ketua Delegasi Indonesia ke konperensi itu, kalau konperensi ini gagal, maka sebabnya adalah materi yang dibicarakan komite ini. Isyu yang mula-mula diperkenalkan oleh Pardo, wakil Malta ini adalah motif utama diadakannya Konperensi yang sekarang ini. Dalam bidang ini tergantung pula nasib negara-negara terkunci daratan (land-locked states), yang tampaknya mulai dibangun dan akan kemungkinan mendapat kemaslahatan dari laut walaupun secara alamiah mereka tidak punya. Dari New York, kelompok negara yang berjumah lebih 50 ini baru saja mengancam akan memboikot sidang New York, bila mereka tak mendapat bagian adil dari kekayaan lautan, yang menurut Pardo adalah "warisan seluruh umat manusia". Kepala Rombongan AP memberitakan bahwa sidang kelima ini merupakan tahap paling kritis. Dalam pembukaan sidang, Ketua Konperensi H. Shirley Amerasinghe dari Sri Lanka mendesak para perutusan agar mengabdikan usaha mereka terutama untuk masalah-masalah pokok yang belum terpecahkan. "Persidangan kali ini bukan sekedar persidangan yang akan menentukan, tapi suatu persulanan yang kritis", kata Amerasinghe. Saya yakin kalau kita tak mencatat kemajuan yang cukup dalam pertemuan ini, entah dengan mencapai suatu kesepakatan dasar, entah dengan maju sedemikian jauh hingga hanya diperlukan satu kali persidangan lagi untuk mencapai suatu kesepakatan dasar, kita akan kehilangan suatu kesempatan yang terbaik yang terletak di hadapan kita". Mochtar Kusumaatmadja bahkan menjelaskan bahwa negara-negara besar cenderung untuk mengambil tindakan sefihak, bila sidang ini gagal. Ia juga menyebutkan bahwa delegasi AS mungkin diketuai oleh Dr "K", alias Menlu Kissinger sendiri. Tidak diketahui siapa kelala rombongan Soviet. Menilik sejarah hukum laut, perkembangan konperensi yang seperti ini tak jauh dari perkiraan. Dulu isyu utamanya ialah lebar laut teritorial. Tapi sejak konperensi 1930 hingga dua konperensi yang disponsori PBB di Jenewa, 1958 dan 60, kesepakatan mengenai subjek ini -- toh belum juga terdapat. Walhasil diserahkan kepada praktek masing-masing negara, sehingga membentuk hukum kebiasaan. Sampai Ke Mana? Pada Konperensi PBB yang ke-III ini isyunya sudah banyak berobah. Lebar laut umumnya sudah diterima 12 mil. Masalah kekayaan laut serta kemajuan teknologi penambangan merupakan topik utama. Konvensi tentang landas kontinen 1958 hanya menyebutkan suatu negara dapat mengusahakan dasar laut dan tanah di bawahnya di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 meter, atau di luar kedalaman itu, sejauh teknologi memungkinkan pengusahaannya Sekarang teknologi sudah menyisihkan ukuran 200 meter, lalu sampai ke batas mana? Sementara itu menjamurnya negara-negara baru telah membawa urusan yang berwarna-warni, sesuai dengan kepentingan negara masing-masing. Misalnya, bisakah diberikan hak penangkapan ikan ratusan mil bagi sebuah negara kecil, sekecil tahi lalat di peta sebab tiada lain sumber hidup mereka selain hasil hayati laut? Beda dengan Konperensi-Konperensi Jenewa, Konperensi yang ke-III ini membahas persoalan dari yang mentah sekali. Sebab tiada rancangan konvensi yang disiapkan, seperti pada Konperensi Jenewa oleh International Law Commission. Dan lebih parah lagi, 14 negara itu harus mencapai konsensus dalam mengambil keputusan -- bukan dengan pemungutan suara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus