NEGARA-NEGARA tepi Selat Malaka dan Singapura, masih saja pusing
dengan tabrakan-tabrakan kapal, apalagi tanker. Sementara itu
di New York, 2 Agustus yang lepas, sidang ke-5 Konperensi Hukum
Laut III dimulai lagi. Dan delegasi Malaysia bisa dibayangkan
sudah tak sabar hendak memuntahkan isi hatinya berkenaan dengan
insiden laut yang membuahkan pencemaran itu. Kata Menteri Urusan
Lingkungan kerajaan itu dua pekan lalu. Malaysia akan mendesak
konperensi agar mengambil langkah-langkah konkrit untuk
mengamankan pantai dari pengotoran minyak.
Di Jakarta, kecemasan akan pencemaran laut sudaH ditingkatkan
dalam sebuah seminar, oleh Lembaga Oseanologi Nasional dan
Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia. pekan akhir bulan lalu,
salah seorang pemrasaran mengingatkan bahwa dulu kita menganggap
tenggelamnya kapal Torre Canon di pantai Inggeris -- yang
menyebabkan polusi laut itu -- sebagai suatu hal yang masih jauh
kemungkinan terjadinya di Indonesia. Baru setelah Januari 1975.
ketika Showa Maru (140 ribu ton bobot mati) kandas di Selat
Singapura, yang mengakibatkan tercemarnya bagian perairan
Indonesia di selat itu. "kita tersentak bangun dan sadar bahwa
'di halaman rumah kita' orang lain dapat mencemarkannya" .
Itulah alasan Malaysia dan Indonesia untuk mengatur lalu lintas
laut di kawasan yang sempit tapi strategis itu. Ini merupakan
refleksi dari undang-undang nasional mereka yang mengklaim lebar
laut teritorial 12 mil. Mereka mengusulkan pengaturan itu
dilakukan oleh 3 negara: mereka berdua plus Singapura. Khusus
untuk Selat Malaka dibawanya Singapura adalah karena eratnya
hubungan Selat Malaka dan Singapura. Dengan penyelesaian
tripartite ini negara-negara tepi itu hendak menangkis isyu
internasionalisasi Selat Malaka seperti pernah digagaskan Jepang
1970.
Warisan Umat
Konperensi Hukum Laut III yang sudah berlangsung sejak 2 1/2
tahun itu tampaknya tak berkeberatan dengan lebar 12 mil ini
seperti yang dibiearakan di Komite II. Tapi negara maritim
besar, berhubung kepentingan kapal-kapalnya, melekatkan tambahan
pada kesetujuan mereka atas ukuran 12 mil ini. Khusus terhadap
selat yang selama ini merupakan international straits, kata
mereka. Setiap kapal asing tetap diberikan hak lintas bebas
(free transit). Masuk ke dalam kategori ini adalah Selat Malaka,
satu dari 112 selat yang karena lebar laut teritorial 1 mil.
lalu menjadi perairan teritorial negara pantai (kapal-kapal
asing harus melaluinya di bawah rezim hak lintas damai atau
(innocent passage).
Yang tampak bakal bertele-tele adalah persoalan yang digarap
Komite I berkenaan dengan pengusahaan kekayaan alam di dasar
laut dan samudera dalam di luar batas yurisdiksi nasional.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Ketua Delegasi Indonesia ke
konperensi itu, kalau konperensi ini gagal, maka sebabnya adalah
materi yang dibicarakan komite ini. Isyu yang mula-mula
diperkenalkan oleh Pardo, wakil Malta ini adalah motif utama
diadakannya Konperensi yang sekarang ini. Dalam bidang ini
tergantung pula nasib negara-negara terkunci daratan
(land-locked states), yang tampaknya mulai dibangun dan akan
kemungkinan mendapat kemaslahatan dari laut walaupun secara
alamiah mereka tidak punya. Dari New York, kelompok negara yang
berjumah lebih 50 ini baru saja mengancam akan memboikot sidang
New York, bila mereka tak mendapat bagian adil dari kekayaan
lautan, yang menurut Pardo adalah "warisan seluruh umat
manusia".
Kepala Rombongan
AP memberitakan bahwa sidang kelima ini merupakan tahap paling
kritis. Dalam pembukaan sidang, Ketua Konperensi H. Shirley
Amerasinghe dari Sri Lanka mendesak para perutusan agar
mengabdikan usaha mereka terutama untuk masalah-masalah pokok
yang belum terpecahkan. "Persidangan kali ini bukan sekedar
persidangan yang akan menentukan, tapi suatu persulanan yang
kritis", kata Amerasinghe. Saya yakin kalau kita tak mencatat
kemajuan yang cukup dalam pertemuan ini, entah dengan mencapai
suatu kesepakatan dasar, entah dengan maju sedemikian jauh
hingga hanya diperlukan satu kali persidangan lagi untuk
mencapai suatu kesepakatan dasar, kita akan kehilangan suatu
kesempatan yang terbaik yang terletak di hadapan kita".
Mochtar Kusumaatmadja bahkan menjelaskan bahwa negara-negara
besar cenderung untuk mengambil tindakan sefihak, bila sidang
ini gagal. Ia juga menyebutkan bahwa delegasi AS mungkin
diketuai oleh Dr "K", alias Menlu Kissinger sendiri. Tidak
diketahui siapa kelala rombongan Soviet.
Menilik sejarah hukum laut, perkembangan konperensi yang seperti
ini tak jauh dari perkiraan. Dulu isyu utamanya ialah lebar
laut teritorial. Tapi sejak konperensi 1930 hingga dua
konperensi yang disponsori PBB di Jenewa, 1958 dan 60,
kesepakatan mengenai subjek ini -- toh belum juga terdapat.
Walhasil diserahkan kepada praktek masing-masing negara,
sehingga membentuk hukum kebiasaan.
Sampai Ke Mana?
Pada Konperensi PBB yang ke-III ini isyunya sudah banyak
berobah. Lebar laut umumnya sudah diterima 12 mil. Masalah
kekayaan laut serta kemajuan teknologi penambangan merupakan
topik utama. Konvensi tentang landas kontinen 1958 hanya
menyebutkan suatu negara dapat mengusahakan dasar laut dan tanah
di bawahnya di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 meter,
atau di luar kedalaman itu, sejauh teknologi memungkinkan
pengusahaannya Sekarang teknologi sudah menyisihkan ukuran 200
meter, lalu sampai ke batas mana?
Sementara itu menjamurnya negara-negara baru telah membawa
urusan yang berwarna-warni, sesuai dengan kepentingan negara
masing-masing. Misalnya, bisakah diberikan hak penangkapan ikan
ratusan mil bagi sebuah negara kecil, sekecil tahi lalat di peta
sebab tiada lain sumber hidup mereka selain hasil hayati laut?
Beda dengan Konperensi-Konperensi Jenewa, Konperensi yang ke-III
ini membahas persoalan dari yang mentah sekali. Sebab tiada
rancangan konvensi yang disiapkan, seperti pada Konperensi
Jenewa oleh International Law Commission. Dan lebih parah
lagi, 14 negara itu harus mencapai konsensus dalam mengambil
keputusan -- bukan dengan pemungutan suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini