Lulu Jamaluddin tak habis pikir saat keluarganya dikaitkan dengan perampokan Toko Emas Elita di Pertokoan Royal, Serang, Banten, akhir Maret 2002. Adik Imam Samudra ini dicurigai ikut menikmati uang rampokan senilai Rp 400 juta. Tapi Lulu menyangkal tuduhan bahwa keluarganya terlibat. ”Kalau punya Rp 400 juta, buat apa kami jualan kue…,” katanya, berang.
Muchlas, Amrozi, dan Ali Imron—kakak-beradik terpidana bom Bali—dari Pondok Pesantren Al-Islam, Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, juga berasal dari keluarga ekonomi lemah. Orang tua mereka, pasangan Nur Hasyim dan Tariyem, hanya menempati rumah sederhana berdinding kayu. Di rumah itu, Amrozi bersama istri dan anaknya pernah tinggal. Di situ juga bermukim Faridah, perempuan Singapura istri Muchlas, dengan enam anaknya. Si bungsu, Osama, bahkan baru berusia tiga bulan.
Sunudyantoro dari Tempo News Room, yang mengunjungi mereka beberapa pekan lalu, melihat Nur Hasyim terbaring dalam keadaan sakit keras. Ia tergeletak di ruang tamu yang dilengkapi bangku kayu, televisi, kipas angin, dan kulkas. ”Kehidupan Muchlas dan Faridah jauh dari cukup,” kata Ustad Mohammad Khozin, anak sulung Nur Hasyim.
Jauh di Desa Mojorejo, Madiun, Ibu Rukhanah mengaku tak pernah menerima kiriman uang dari putra sulungnya, Fathur Rohman Al-Ghozi. Sejak suaminya, Muhammad Zainuri, meninggal 20 Mei lalu, Rukhanah tinggal bersama putrinya. Orang-orang yang berkunjung ke Rukhanah hanya melihat ruang tamu yang diisi seperangkat meja-kursi tua dan televisi hitam-putih.
Singkat kata, hidup mereka jauh dari berkelimpahan. Tak ubahnya bumi dan langit kalau dibanding dana miliaran yang dihamburkan untuk membiayai aksi-aksi pengeboman yang dilakukan oleh anak atau kerabat mereka. Karena itu, ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) mencantumkan nama anak dan kerabat itu dalam daftar teroris yang harus dibekukan asetnya, banyak yang merasa takjub. Dari mana uang sebanyak itu?
Khozin juga heran. Apalagi kini istri dan anak-anak Muchlas menggantungkan hidup pada Tariyem. Muchlas sendiri pernah memohon kepada majelis hakim agar diizinkan mendapatkan kembali uang Rp 2 juta yang disita aparat darinya. ”Biarkan untuk digunakan istri dan anak-anak saya di Tenggulun,” tuturnya berharap.
Tapi, siapa yang mau terkecoh? Sejak peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantakkan gedung kembar World Trade Center, pemerintah AS gencar sekali menumpas gerakan teroris. AS mencatat 305 individu sebagai teroris dan membekukan aset mereka senilai US$ 136,7 juta.
Terakhir, 5 September lalu, Menteri Keuangan AS, John Snow, memasukkan nama Al-Ghozi, Imam Samudra, Muchlas, Parlindungan Siregar, Aris Munandar, Agus Dwikarna (Indonesia), serta Muklis Yunos (Filipina), dan Abdul Hakim Murad (Pakistan) dalam daftar orang yang asetnya harus dibekukan. Seminggu kemudian, daftar bertambah dengan sepuluh orang lagi—seluruhnya warga Malaysia. Ke dalamnya, termasuk Dr. Azahari Husin—doktor fisika yang diduga merancang bom di Bali dan Hotel Marriott Jakarta—Marzuki Zulkifli, Zulkifli Abdul Hir, Noordin Mohammed Top, dan Amran Mansour.
Temuan senjata api dan bahan peledak di Lamongan memperkuat dugaan bahwa pelaku pengeboman di Indonesia tak kalah perkasa dibanding rekan-rekan mereka di mancanegara. Beberapa waktu lalu, misalnya, ditemukan dua pucuk pistol FN, dua senjata laras panjang M-16 dan beberapa tipe lain, serta 5.000 butir lebih amunisi di hutan jati Dadapan, Solokuro, Lamongan. Semua ”harta” itu diketahui milik Ali Imron.
Di pasar gelap, sepucuk M-16 dihargai Rp 7 juta-10 juta, atau bisa lebih mahal tergantung permintaan dan stok di pasar. Pistol lebih mahal lagi, dengan peluru per butir rata-rata di atas Rp 10 ribu. Aparat kemudian menemukan lagi 12 pistol jenis FN dan revolver bersama 2.587 butir amunisi—seluruhnya milik Ali Imron.
Dalam sidang di Bali akhir Juli lalu, seorang warga Malaysia bernama Wan Min bin Wan Mat memberi kesaksian jarak jauh dari Batu Aman, Kuala Lumpur. Diakuinya, pada tahun 2002 pernah mengirim US$ 35.500 kepada Muchlas, melalui anggota Jamaah Islamiyah (JI). Saat itu Muchlas sudah lari ke Thailand dan selanjutnya kembali ke Indonesia.
Kiriman pertama pada awal April 2002, senilai US$ 15.500, disusul US$ 10 ribu dan 200 ribu baht Thailand (senilai US$ 5.000), dan terakhir US$ 5.000. Total nilainya hampir Rp 300 juta (dengan kurs Rp 8400 per dolar AS), yang lalu dipakai Muchlas dan kawan-kawan untuk aksi bom di Bali. Muchlas pastilah mengelola uang itu secara ketat sehingga tidak diketahui Khozin atau Faridah. Dan karena dikirim tidak lewat bank, wajarlah bila aliran dana ke Muchlas tidak terlacak oleh aparat.
Rukhanah dan mendiang suaminya diduga juga tidak tahu-menahu perihal sepak terjang anaknya, Al-Ghozi, yang belakangan semakin tersohor karena lolos dari sekapan penjara di Manila. Al-Ghozi alias Ronny Asaad bin Ahmad alias Idris Anwaruddin alias Randi Adam Alih alias Sammy Sali Jamil ditangkap 15 Januari 2002. Ia dibekuk karena menyimpan secara ilegal satu ton bahan peledak jenis TNT (trinitrotoluene), 300 detonator, dan 17 senapan M-16. Untuk semua alat pemusnah ini, tentulah diperlukan dana tidak sedikit. Harga resmi yang dibayar militer AS untuk satu pon TNT sekitar US$ 25. Dan harga ini bisa lebih mahal di pasar gelap. Untuk memperolehnya, Ghozi harus memiliki paling sedikit US$ 50 ribu (sekitar Rp 420 juta).
Ghozi, yang bernama sandi ”Mike”, diduga menyimpan lebih banyak uang karena, menurut polisi Filipina, ia mengaku terlibat dalam peledakan stasiun kereta api Metro Manila, 30 Desember 2000. Ghozi menyediakan komponen peledak dan penyandang dana bagi tersangka utama, Muklis Yunos.
Nama besar lain dalam soal pendanaan teror di Asia Tenggara adalah Hambali alias Riduan Isamuddin alias Encep Nurjaman, asal Cianjur. Menurut harian The Star yang terbit di Malaysia, terbitan 1 Januari 2002—mengutip Kepala Kepolisian Norian Mai— Hambali pernah menerima 95.000 ringgit (sekitar Rp 225 juta) dari tersangka Al-Qaidah, Sheikh Mohammed alias Mokhtar. Tidak jelas apakah Sheikh Mohammed ini identik dengan Khalid Sheikh Mohammed yang disebut Amerika ikut mendalangi serangan 11 September.
Menurut aparat keamanan Malaysia, Hambali—kini mendekam dalam tahanan militer AS—berhasil mengumpulkan 2 juta ringgit (sekitar Rp 4,7 miliar). Dana itu seluruhnya dipakai untuk mendanai kegiatan JI. Diduga, dari tangan Hambali juga, dana mengalir ke para pelaku bom di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh majalah Time Online pekan lalu, yang mengungkapkan pengakuan Hambali bahwa ia menyalurkan ribuan dolar dari Al-Qaidah untuk membiayai pengeboman di Indonesia. Time, yang mengutip sumber intelijen AS, juga menyebutkan bahwa uang yang diterima Hambali dari Al-Qaidah mencapai US$ 130 ribu (sekitar Rp 1,1 miliar).
Selain melalui Wan Min, Hambali pernah mengirm US$ 45 ribu (sekitar Rp 380 juta) melalui Li Li, seorang warga Malaysia. Namun, tak jelas siapa penerima uang itu di Indonesia. Menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, aparat baru mengantongi nama Johan, yang diduga nama samaran.
Syahdan, untuk membiayai 39 aksi pengeboman di Indonesia, tak seperti biasa, Hambali mengirimkan dananya lewat bank. Toh, kiriman itu luput dari pelacakan aparat. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang bertugas mengawasi, ternyata belum beroperasi penuh. PPATK baru mengirim surat resmi kepada pemerintah Thailand—menanyakan kejelasan soal transfer dana tersebut.
Ketua PPATK, Yunus Husein, menyatakan bahwa akses yang dimiliki lembaganya sangat terbatas. PPATK juga tidak berwenang menyelidiki transaksi antar-negara (cross border transaction). ”Kecuali bank-bank itu melaporkan adanya transfer yang dicurigai dari Hambali,” katanya. Wakil Yunus, Made Sadguna, agak pesimistis bahwa pengawasan PPATK bisa efektif. Kesulitan utama ialah mendeteksi dan membedakan uang itu dari transaksi lain yang wajar. ”Apalagi ini jumlahnya kecil-kecil,” ujarnya.
Pembekuan aset teroris—seperti diminta AS dan organisasi anti-pencucian uang dunia (FATF)—menurut Made bukanlah perkara gampang. Mereka banyak menggunakan instrumen di luar bank sehingga tak ada sistem deteksi awal yang bisa digunakan. Kalaupun memakai bank, kata Made, banyak uang berasal dari sumber-sumber ”halal” dan ditujukan pada lembaga seperti yayasan pendidikan. ”Tidak semua merampok toko emas seperti Imam Samudra,” ujar Made. ”Kita baru bisa memeriksa kalau ada yang aneh, misalnya jika nilai transaksinya sangat besar.”
Made tak salah. Lihat saja bagaimana Hambali menghimpun dana di Malaysia. Menurut polisi setempat, Hambali menghimpun 800 ribu ringgit melalui sumbangan Pertubuhan al-Ehasan, sebuah organisasi nirlaba yang berdiri sejak 1998. Masih menurut polisi, organisasi ini meminta sumbangan dengan janji uang itu untuk menolong sesama muslim.
Tapi, oleh Hambali, uang itu dipakai membeli senjata, mengirim anggota JI ke Afganistan dan Filipina Selatan guna latihan militer. Sebagian lagi untuk mendanai konflik di Maluku. Polisi juga menduga uang ”halal” inilah yang dikirim untuk meledakkan stasiun Metro Manila, sejumlah gereja di Indonesia, dan mendanai bom Bali. Dana itu juga dipakai membiayai Zaccharias Mousaoui, warga Prancis yang ditahan AS karena terlibat serangan 11 September.
Keyakinan Khozin, Faridah, atau Rukhanah bahwa kerabatnya, suami, dan anaknya benar-benar tak punya uang membuktikan bahwa cara kerja Muchlas, Imam Samudra, Hambali, dan Al-Ghozi sangat rapi. ”Mereka juga memanfaatkan longgarnya pengawasan kita atas kejahatan pencucian uang, termasuk dana teroris,” kata Made.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini