Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jaringan Terorisme di Indonesia

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK peristiwa bom Bali, pemerintah Indonesia terus memburu dan menangkap sejumlah pemimpin Jamaah Islamiyah. Sebagian besar mereka diseret ke pengadilan dan diadili melalui proses perundangan. Beberapa pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) pun telah dihukum mati.

Kebijakan pemerintah Indonesia menggunakan proses peradilan ataupun rule of law untuk memerangi terorisme JI perlu disanjung tinggi. Ini menunjukkan bahwa Indonesia-yang sedang berusaha menegakkan prinsip-prinsip demokrasi setelah beberapa dasawarsa di bawah rezim autoritarian-tidak mengorbankan hak si tertuduh untuk disidang secara adil melalui pengadilan. Negeri ini masih menghargai hak asasi manusia, meskipun tertuduh dianggap melakukan tindakan terorisme. Memberantas terorisme melalui sistem hukum adalah sebuah keberhasilan.

Pendekatan yang digunakan Indonesia merupakan satu kemajuan tersendiri, karena Malaysia dan Singapura justru menafikan hak memperoleh peradilan bagi mereka yang dituduh sebagai teroris. Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA) di kedua negara ini, umpamanya, memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk terus menahan si tertuduh tanpa melalui proses peradilan. Walaupun pemerintah di Malaysia dan Singapura berpendapat bahwa ISA memperbolehkan mereka bertindak tegas terhadap teroris, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa pendekatan ini lebih mengesankan. Sebaliknya, karena tertuduh tidak diberi peluang untuk mempertahankan dirinya melalui proses mahkamah, motif pemerintah yang menahannya sering dipersoalkan. Sudah tentu tindakan ini mengikis kredibilitas pemerintah. Padahal, dalam perang melawan terorisme, pemerintah tetap harus menjaga kredibilitasnya.

Itu sebabnya saya berharap bahwa pemerintah Indonesia akan terus mematuhi rule of law dalam memerangi terorisme. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia harus meningkatkan kemampuan untuk menggali informasi tentang pelaku terorisme. Apakah kasus bom Bali dan peledakan Hotel Marriott di Jakarta membuktikan bahwa agen-agen intelijen Indonesia gagal mengendus gerak-gerik teroris?

Terorisme juga bergantung pada serangkaian dukungan pendanaan dari sumber-sumber yang tersembunyi. Hasil penyidikan terhadap Hambali yang dilakukan oleh Badan Intelijen Amerika dan hasil berita acara pemeriksaan (BAP) Amrozi, Muchlas, dan teroris-teroris yang lain jelas menunjukkan bahwa ada sumber-sumber tertentu yang menyumbang dana untuk aktivitas-aktivitas mereka. Tindakan yang lebih tegas di tingkat nasional, regional, dan internasional perlu untuk memotong jaringan dukungan dana.

Tindakan yang tegas untuk menelisik sejumlah aliran dana semata-mata tidak dapat mengatasi penyebaran terorisme tanpa pembangunan ekonomi yang pesat. Pembangunan ekonomi berguna mengurangi pengangguran dan membasmi kemiskinan. Adalah benar bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, yang menyebabkan berjuta-juta rakyat hilang pekerjaan dan taraf hidupnya merosot secara mendadak, telah mengakibatkan suatu keadaan di mana sebagian besar golongan muda terus kecewa dengan sistem yang ada. Situasi seperti ini melahirkan segelintir insan yang akhirnya memilih menggunakan teror demi mencapai tujuan mereka.

Munculnya kelompok pinggiran dalam masyarakat Indonesia ini menandakan bahwa politik negara tidak stabil lagi. Walaupun kecil bilangannya, kesediaan individu-individu ini-yang bergabung dengan organisasi-organisasi seperti JI dan Laskar Jihad-untuk menggunakan kekerasaan demi mengubah keadaan ekonomi dan politik Indonesia telah mengancam keamanan dan kesejahteraan rakyat.

Mungkin ada dua faktor domestik yang bisa dipertanyakan untuk menganalisis situasi politik sekarang. Pertama, apakah kelompok-kelompok teroris ini direkayasa oleh kaki-tangan rezim Soeharto untuk menimbulkan huru-hara di Indonesia? Apakah ini cara mereka untuk merebut balik kekuasaan politik? Apakah permainan politik mereka ini disokong secara tidak langsung oleh tentara yang juga telah kehilangan peran cukup lama dalam gelanggang politik negara? Kedua, apakah situasi etnis di Indonesia juga memungkinkan kelompok-kelompok tersisih ini untuk meraih sokongan? Yang saya maksud, apakah mereka dapat mengeksploitasi ketegangan yang timbul antara masyarakat muslim dan Kristen di tempat-tempat tertentu seperti Maluku selepas runtuhnya rezim lama? Apakah ini membuktikan bahwa sentimen etnis dan identitas, yang memainkan peranan besar dalam berbagai konflik di negara-negara lain seperti Chechnya, Kashmir, dan Sri Lanka, juga mempengaruhi politik terorisme di Indo-nesia?

Selain faktor politik lokal, politik internasional juga menyumbang tumbuhnya terorisme di Indonesia. Ketidakadilan yang luar biasa yang terjadi dalam konteks perang Irak serta kezaliman yang menjadi nasib harian rakyat Palestina telah mencetuskan kemarahan umat Islam di seluruh dunia. Sebagian besar rakyat muslim di negara-negara Islam yang besar di dunia juga menggunakan cara-cara sentimen semacam ini. Bagi segelintir rakyat, tidak ada jalan lain untuk mencapai keadilan dalam keadaan ini kecuali melalui terorisme.

Ketidakadilan politik internasional yang ditentang oleh segelintir individu ini tidak dapat dipisahkan dari ketidakadilan budaya global yang konon menjadikan umat Islam sebagai sasaran dan mangsanya. "Serangan dan penaklukan" budaya Barat, khususnya budaya Amerika, menurut pandangan ini telah menghapus nilai-nilai asas Islam dalam keluarga. Dan ini perlu ditentang. Apakah serangan bom terhadap kelab malam di Bali dan Hotel Marriott di Jakarta merupakan bukti tentang sikap ini?

Analisis saya menunjukkan bahwa masalah terorisme di Indonesia amat rumit sifatnya dan tidak dapat diatasi dengan mudah. Penangkapan dan penghukuman yang berlaku sepihak ini semata-mata tidak dapat menjamin kemenangan terhadap terorisme. Beberapa perubahan yang mendalam harus dilakukan di tingkat nasional ataupun internasional sebelum mencapai tujuan.

Namun, Indonesia mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang mungkin dapat membantu dalam perang terhadap terorisme. Budaya politik Indonesia menolak sama sekali politik terorisme, sebagaimana terbukti dalam sejarahnya. Mayoritas masyarakat Islam Indonesia bersikap toleran dan akomodatif. Terorisme politik bukan cara mereka. Lagi pula setiap organisasi agama dan politik di Indonesia secara terbuka menentang terorisme dan kelompok teror. Bahkan para pemimpin Indonesia pun pada akhirnya sepakat untuk memberantas terorisme.

Yang menjadi persoalan, apakah "Kekuatan Besar" yang menentukan politik internasional dan budaya global juga ikut andil dalam mengubah struktur politik dan pola budaya dunia agar akar-akar terorisme dapat diberantas? Sejauh ini, belum ada tanda-tanda yang bisa meyakinkan kita.

Dr. Chandra Muzaffar
Ahli sains politik, bekas profesor dan pengarah Pusat Dialog Peradaban Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Presiden International Movement for a Just World (JUST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus