Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOROT mata sedih dan kecewa seakan berbaur menjadi satu di antara puluhan aktivis lingkungan hidup dan ratusan karyawan Departemen Kehutanan. Pelataran halaman Departemen Kehutanan, Selasa pekan lalu itu, menjadi tempat luapan kekesalan dan kesedihan. Mereka yang hadir melakukan prosesi ini: menancapkan 5.000 lebih kartu pos bertuliskan, "Hutan kita dikeruk habis, kini kondisinya sangat kritis."
Aksi itu adalah protes dan penolakan atas izin pemerintah bagi belasan perusahaan tambang untuk terus beroperasi di area hutan lindung. Keputusan ini dinilai telah menelikung ketentuan yang ada dan sudah berlaku. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, keputusan diambil dalam rapat koordinasi tingkat menteri yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Tapi Purnomolah pejabat yang paling disorot. "Ini lucu. DPR saja belum memberi izin, kok, dia sudah mendahului?" kata Longgena Ginting, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dengan nada kecewa.
Berbagai pertanyaan timbul, di antaranya yang pokok adalah mengapa belasan perusahaan itu mendapat izin penambangan lagi. "Kita justru menginginkan minimal 22 perusahaan pertambangan beroperasi, untuk memperoleh pendapatan negara yang signifikan. Tapi hanya 14 perusahaan yang bisa diharapkan," kata Sujartono, Direktur Teknik Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Ada data yang menyebut jumlah perusahaan itu 15 (lihat tabel). Berapa pun, bukan masalah. Yang jadi soal, dengan pemberian izin itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan akan dilanggar karena salah satu pasalnya menetapkan larangan pertambangan terbuka di hutan lindung. Gawatnya pula, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim sudah menyerah. Nabiel, yang hadir dalam rapat koordinasi itu, hanya bisa menyatakan bahwa hal ini adalah sebuah kecelakaan. "Dengan berat hati, saya kompromi," katanya pasrah. Menurut dia, satu hal yang memberatkan adalah adanya kontrak karya yang ditandatangani sebelum UU Kehutanan lahir. "Dalam hukum bisnis internasional tidak ada peraturan berlaku surut. Di sinilah kita lemah," katanya.
Hal itu dibantah oleh para aktivis lingkungan hidup. "Dalam kontrak karya jelas dikatakan bahwa perusahaan juga harus mengikuti aturan dari waktu ke waktu. Berarti, itu termasuk UU No. 41/1999, dong," kata Ismid Hadad, Direktur Eksekutif Kehati—lembaga yang peduli pada kelestarian keanekaragaman hayati. Bahkan, menurut Siti Maimunah, Manajer Kampanye Jaringan Advokasi Tambang, pemerintah juga bisa memakai alasan lahan yang dipakai bukan lahan biasa, melainkan lahan konservasi. "Jelas pemerintah tidak punya sikap tegas dan tidak berpihak kepada lingkungan sesuai dengan undang-undang yang ada," kata Ismid pula.
Raldi Hendro Koetoer, Asisten Deputi VI Menteri Koordinator Perekonomian Urusan Pemantauan Persaingan Usaha, punya dalih untuk menyelamatkan muka. Ia menegaskan bahwa pertimbangan lingkungan tetap menjadi prioritas dibandingkan dengan ekonomi dan sosial. "Kita tidak mendahulukan ekonomi, tapi lingkungan, kok. Pertimbangan pemerintah daerah pun menjadi perhatian," katanya. Ia menambahkan, salah satu syarat dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah tidak boleh meneruskan penambangan bila pemerintah daerah menolak.
Walau begitu, Raldi menyodorkan hitung-hitungan bahwa kontribusi 22 perusahaan tambang bagi perekonomian Indonesia bisa mencapai US$ 100 miliar. Jika larangan diberlakukan, kata Sujartono, kemungkinan nilai investasi yang hilang dari yang sudah tertanam sampai tahun lalu sekitar US$ 30 miliar. Selain itu, potensi tambahan investasi yang diharapkan bisa hilang US$ 7,805 juta, dana pengembangan masyarakat hilang US$ 497,61 juta, dan amblas pula kesempatan kerja untuk 500 ribu orang. "Itu belum termasuk potensi kehilangan penerimaan negara dari royalti dan iuran tetap (pajak tanah area pertambangan) sebesar US$ 500 juta per tahun, serta kemungkinan litigasi US$ 92 miliar," katanya.
Sujartono pun kembali mengingatkan bahwa dampak pelarangan operasi perusahaan tambang adalah tuntutan dari perusahaan atas beberapa kali lipat nilai investasi.
Namun, menurut Ismid, angka itu tidaklah berarti. "Kontribusi tambang bagi negara hanya 3-4 persen, kok," katanya. Dan seperti kata Israr Ardiansyah dari tim kehutanan World Wide Fund for Nature, tingkat deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia sudah mencapai 2,4 juta hektare per tahun. "Lingkungan sudah sangat mengalah. Sekarang pemerintah malah melanggar undang-undang yang sudah dibuat. Apa sekarang kita masih harus mengalah lagi?"
Cerita memang belum selesai. Tinggal bagaimana suara DPR, yang rencananya akan memberikan kata akhir—menyetujui atau sebaliknya—pada 3 Juli. Pertarungan yang mempertaruhkan masa depan hutan di Indonesia berlangsung di sana.
Levi Silalahi, Stepanus Kurniawan, Retno Sulistyowati (TNR)
Lima belas perusahaan yang diberi izin eksplorasi di kawasan hutan lindung:
- PT Freeport Indonesia Papua (Freeport McMoran, Rio Tinto, AS/Australia/Inggris)
- PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont, AS)
- PT International Nickel Indonesia Tbk. (Inco, Kanada)
- PT Indominco Mandiri
- PT Arutmin Indonesia
- PT Aneka Tambang Tbk.
- PT Karimun Granite
- PT Nusa Halmahera Minerals Maluku (Newcrest, Australia)
- PT Weda Bay Nickel (Kanada)
- PT Gag Nickel (BHP-Billiton, Australia/Inggris)
- PT Citra Palu Minerals (Rio Tinto/Newcrest, Australia/Inggris)
- PT Natarang Mining Lampung (MM Gold, Australia)
- PT Meares Soputan Mining (Australia)
- PT Nabire Bakti Mining (AS/Australia)
- PT Meratus Sumber (Placer Dome/Kanada)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo