KOTA tertua di dunia adalah Kota Jbail di Libanon. Nama lain
bagi kota ini adalah Byblos (= buku, dalam bahasa Yunani),
agaknya karena kota ini adalah gudang buku pertama di dunia.
Pada zaman emasnya Yunani, Byblos sudah tergolong kota tua,
salah satu kota utama dari kerajaan Punisia.
Abjad yang kita pakai sekarang (misalnya untuk menulis tulisan
ini) pada hakikatnya berakar pada abjad Punisia. Rudyard Kipling
dalam salah satu Just So Stories menyajikan hikayat teramat
lucu mengenai asal usul abjad Punisia ini kabarnya karena
seorang anak gadis kecil ingin mengirim berita kepada ayahnya
yang sedang berburu, dan menggores-gores tanda di atas kulit
kayu.
Dari penggoresan tanda di kulit kayu, menjadi papyrus (yang
banyak terdapat di pantai Byblos), batu, perkamen, dan entah apa
lagi bahannya -- tetapi selalu harus dikerjakan dengan tangan.
Maka Eropa dulu kala mengenal rahib-rahib di biara yang seluruh
bakti hidupnya adalah penyalinan naskah-naskah lama, khususnya
naskah agamani. Penyalinan ini biasanya sekaligus berupa karya
seni - setiap halaman diberi warna dan gambar yang sangat indah.
Sesudah penemuan Gutenberg, naskah tak usah lagi disalin tangan
tetapi bisa diperbanyak jauh lebih cepat dengan alat cetak.
Sekarang, sekian abad kemudian, alat cetak Gutenberg pun sudah
sama kuno nilainya seperti pena sang rahib. Bukan hanya anak
kecil yang akan terpukau melihat semua komputer dan peralatan
modern lainnya yang kini digunakan untuk menghasilkan buku.
Kurang dari 10.000 eksemplar malah bisa dianggap rugi.
Tempo hari saya membaca ulang suatu buku yang sudah lama tidak
kubaca. Judulnya ialah Stalins mirakel (Mujizat Stalin), yaitu
terjemahan Swedia karya Nadezyda Mandelsytam, janda dari Osip
Mandelsytam, yang umumnya dianggap pujangga Rusia terbesar dalam
abad ini. Osip Mandelsytam lahir di Warsawa, Polandia, 15
Januari 1891. Ia diperkirakan meninggal pada akhir 1938 di kamp
narapidana politik Vtoraya Recka di Siberia.
Sebabnya ia dikirim ke Siberia ialah suatu sajak yang ditulisnya
mengenai diktator Soviet waktu itu, Yosef Stalin:
Kami hidup tanpa menikmati
bumi yang kami jejaki. Sepuluh langkah lagi
suara-suara sudah membisu.
Yang berbunyi hanya Si Orang Gunung di Kremlin,
si pembunuh, pembantai para petani.
Gemuk bagaikan cacing jari tangannya, dan perkataan berat
seperti timah menyembur dari mulutnya.
Kumisnya menyeringai bengis
dan ujung sepatu bot mengkilap.
Para pemimpin terkulai di sekitarnya: boneka
berleher burung, bukan seperti manusia.
Mereka berkicau, berkotek, bersiul
mengiringi perkataan atau petunjuk beliau.
Satu demi satu perintah beliau ditempa
seperti sepatu kuda yang dilempar
merusak mata, wajah, dan kelamin.
Dan setiap kematian itu adalah kenikmatan
bagi Orang Kaukasia yang lebar itu.
Sajak ini disebarkan melalui samizdat, yaitu penerbitan sendiri.
Kebanyakan karya-karya Rusia yang betul-betul bermutu --
misalnya roman-roman Aleksandr Solzyenitsyin -- memang tidak
mengandalkan penerbit lain dari samizdat, yang dipromosikan oleh
angkatan muda dan para cendekiawan.
Tentu saja risiko terlibat dengan samizdat itu sangat tinggi.
Paling sedikit wisata ke Siberia. Namun kebudayaan samizdat
sanggup bertahan, dan nama Osil Mandelsytam pun tak terlupakan.
Padahal semua karyanya, baik prosa dan lirik, yang diterbitkan
1922-1928, dimusnahkan secara menyeluruh atas perintah Stalin.
Dan pujangga "jinak" Soviet, Aleksandr Prokofyev, malah
mengatakan: " . . . tidak pernah terdapat seorang pujangga yang
bernama Mandelsytam."
Oleh sebab itulah Nadezyda - yang begitu giat menyelamatkan
karya -karya suaminya, kendati ia sendiri berulang kali dikucil
dan dihukum -- menamakan bukunya "Mukjizat Stalin". Judul yang
ironis, karena mujizat yang terjadi (penyelamatan dan penyebaran
karya Mandelsytam) sebetulnya sama sekali tak dikehendaki atau
diharapkan oleh Stalin.
Pelarangan buku sebetulnya bukan sesuatu yang baru ditemukan
oleh StalinDi Cina pernah terjadi seorang kaisar yang murka
menyuruh menguburkan hidup-hidup para cendekiawan dengan
buku-bukunya. Di Eropa abad pertengahan Gereja sering menyuruh
buku (dan kadang-kadang juga penulisnya) dibakar. Sekarang pun
Gereja Katolik masih mengenal Index, yaitu daftar buku-buku yang
terlarang bagi orang Katolik.
Sampai ke mana larangan seperti itu efektif masih bisa
dipersoalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini