Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat rutin Mahkamah Konstitusi selepas magrib itu terus diganggu suara telepon seluler Djanedri M. Gaffar. Sekretaris Jenderal Mahkamah yang menjadi pemimpin rapat itu bolak-balik mengintip layar ponselnya. Sesungguhnya ia tak enak hati karena dering itu mengganggu pertemuan. Tapi sang penelepon adalah orang penting yang tak bisa diabaikan: M. Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat.
Petang itu, Kamis, 23 September tahun lalu, Nazaruddin mengajak Djanedri bertemu. ”Awalnya saya bilang tidak bisa karena sedang memimpin rapat kepaniteraan,” ujar Djanedri, Jumat pekan lalu. ”Tapi, karena enggak enak, akhirnya saya bilang iya.” Selain merupakan elite partai, Nazaruddin adalah anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.
Lewat pukul 22.00, Djanedri tiba di tempat janjian, toko kue Le Gourmet, di samping Ranch Market, Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan. Nazaruddin telah tiba. Basa-basi sejenak, setengah jam kemudian Nazaruddin pamit. Sebelum cabut, ia meninggalkan dua amplop cokelat. ”Buat Bapak, terima saja,” kata Djaned menirukan Nazaruddin.
Djaned mempertanyakan maksud pemberian itu. Nazaruddin tak menjawab. Politikus asal Bangun, Simalungun, Sumatera Utara, ini berlalu dan mengabaikan Djaned yang mengejarnya. ”Dia bilang, ’Sudah, Pak, terima saja. Enggak enak dilihat orang. Assalamualaikum’.” Djaned memasukkan dua amplop ke tas dan membawanya pulang.
Esoknya, Djaned menghubungi telepon Nazaruddin dan ternyata tak aktif. Hari berikutnya, ia berhasil mengontak, tapi Nazaruddin mengaku sedang di luar kota. ”Hari Ahad, saya coba lagi menelepon, eh, handphone-nya mati lagi,” Djaned bertutur. ”Saya mau bilang tak bisa menerima dan akan mengembalikan pemberian itu.”
Mengeram di tas tiga hari, duit mendatangkan masalah. Istri Djaned, yang minta duit buat belanja, menunggui suaminya saat membuka tas kerja, tempat ia biasa menyimpan honor setelah mengisi seminar. Di tas itulah istri Djaned melihat bungkusan yang tak biasa. ”Dia terkejut menemukan uang begitu banyak di tas saya, lalu menangis,” kata Djaned.
Setengah berteriak sang istri mengatakan tak mau menerima uang haram. Ia meminta suaminya melaporkan hal itu ke Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Djaned berkeras bahwa ia sudah menolak pemberian itu tapi Nazaruddin tak bisa dihubungi. Adapun Mahfud sedang berakhir pekan di luar kota.
Sesampai di kantor, Djaned menghadap Mahfud. Ia menceritakan pertemuan dengan Nazaruddin, sangu uang dua amplop, dan istrinya yang memprotes. ”Pak Mahfud bilang: kembalikan,” ujar Djaned.
Hari itu Djaned memberikan tugas tambahan buat stafnya. Ada yang diminta menghitung uang. Ada yang diperintahkan mencari tahu alamat rumah Nazaruddin. Amplop ternyata berisi masing-masing Sin$ 60 ribu, jadi total Sin$ 120 ribu atau sekitar Rp 834 juta. Duit dikemas dalam kotak suvenir dan dibungkus kertas kado berwarna cokelat. Anggota staf Mahkamah Konstitusi bernama Fransisca diminta mengantarkan uang itu ke rumah Nazaruddin.
Nazaruddin tak berada di rumahnya, Jalan Pejaten Barat 7, Jakarta Selatan. Karena itu, duit dalam bungkusan dititipkan kepada petugas keamanan rumah bernama Kusdi. Uang dihitung lagi di depan Kusdi, yang kemudian diminta menandatangani tanda terima.
Jumat pekan lalu, Tempo mendatangi rumah itu. Udin, penjaga rumah megah bercat abu-abu dan putih itu, mengatakan bosnya bernama Chandra, bukan Nazaruddin. Ia pun mengatakan nomor rumah itu sembilan, bukan tujuh. Ia lupa bahwa pada tembok pagar yang kukuh berbalut batu alam terlihat lubang paku besar di tempat bekas nomor rumah. Masih jelas terbaca angka ”7”, meski dicoba disamarkan dengan cat biru yang terlihat dioleskan buru-buru. Ditanya apakah ada petugas satpam bernama Kusdi, Udin mengatakan, ”Tak ada. Rumah ini nomor sembilan, bukan tujuh.”
KEPADA Tempo, Rabu pekan lalu, Mahfud menyampaikan alasan tak melaporkan pemberian uang ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia berpendapat sulit membawa masalah ini ke proses hukum. ”Sebab, Nazaruddin tidak sedang beperkara di Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak jelas motifnya,” ia menjelaskan.
Mahfud menyatakan ada dua kemungkinan alasan di balik amplop Nazaruddin tersebut. Pertama, Nazar akan ”menyandera” para petinggi Mahkamah Konstitusi karena bisa membuktikan lembaga itu ternyata tidak bersih. Kedua, pemberian dianggap sebagai ”investasi awal” Nazaruddin untuk ”mengurus” perkara sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah.
Tapi, di Mahkamah, sejatinya Nazaruddin bukan tak punya kepentingan. Menurut sumber Tempo, pada September tahun lalu, Nazaruddin ikut cawe-cawe mengurus setidaknya dua perkara sengketa. Pertama, sengketa pemilihan Bupati Merauke. Putusannya dibacakan pada 20 September 2010—tiga hari sebelum pertemuan Djaned-Nazaruddin. Sengketa itu dimenangi kandidat yang dibantu sang politikus.
Jejak Nazaruddin juga terlihat dalam perkara sengketa hasil pemilihan Bupati Simalungun, kampung halamannya. Putusan dibacakan pada 24 September 2010, sehari setelah pertemuan Kemang. Tapi, kali ini, pihak yang menggunakan jasa Nazaruddin kalah. Ditanya apakah dua perkara itu berkaitan dengan pemberian uang oleh Nazaruddin, Djanedri mengatakan, ”Saya tidak jelas juga, makanya kami kembalikan.”
Sepekan setelah duit dikembalikan, Djanedri menghubungi Nazaruddin, menanyakan apakah uang sudah diterima. Ketika itu, Nazaruddin balik bertanya mengapa uang itu ditolak. Menurut Mahfud, Nazaruddin lalu mengancam ”akan membongkar kasus-kasus di Mahkamah Konstitusi”.
Kesal oleh ulah Nazaruddin, Mahfud melaporkan pemberian uang itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, November tahun lalu. ”Saya sering menyampaikan sesuatu secara lisan sebagai sahabat. Saya cuma mengingatkan ini demi kebaikan Demokrat,” kata Mahfud.
Beberapa bulan berlalu, laporan itu tak direspons. Beberapa kali bertemu dengan Mahfud, Yudhoyono tak pernah membicarakannya. Lalu meledaklah perkara suap pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang. Perkara ini diduga melibatkan Nazaruddin dan sejumlah politikus lain. Menganggap perkara ini berkaitan dengan citra partai, Yudhoyono menggelar rapat pengurus Demokrat pada 10 Mei, di sela-sela konferensi internasional pemberantasan korupsi, di Bali. Hadir Ani Yudhoyono; Menteri Pariwisata sekaligus petinggi Partai Demokrat, Jero Wacik; dan sejumlah pentolan partai lainnya.
Di tengah pertemuan itu, menurut sumber Tempo, Yudhoyono menghubungi Mahfud. Ia mengatakan informasi yang pernah disampaikan dulu ternyata terbukti. Ia lalu meminta Mahfud membuat laporan tertulis. Kepada Yudhoyono, Mahfud mengatakan siap dipertemukan dengan Nazaruddin. Tapi, kata Yudhoyono, Mahfud cukup menyiapkan laporan tertulis.
Mahfud kemudian menyusun laporan secara kronologis, dengan melampirkan tanda terima pengembalian uang. ”Saya buat sedetail mungkin sehingga tak terbantahkan jika ada yang tak mengakuinya,” kata mantan politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu. Pada Kamis dua pekan lalu, seorang utusan Istana mengambil laporan tertulis Mahfud.
Keesokan harinya, Yudhoyono menggelar rapat Dewan Kehormatan Partai Demokrat di rumah pribadinya, Puri Cikeas, Bogor. Rapat memutuskan akan memberhentikan Nazaruddin. Surat dari Mahfud dirahasiakan, tapi bocor kepada pers.
Adalah Koran Tempo yang seminggu kemudian menjadikan skandal percobaan penyuapan itu sebagai berita utama. Kasus yang semula disembunyikan ini terbongkar. Menurut sumber Tempo, yang belakangan dibenarkan Mahfud, Jumat pagi itu juga Yudhoyono meminta Ketua Mahkamah Konstitusi ini datang ke Istana untuk memberikan penjelasan kepada publik.
JUMAT siang pekan lalu, Mahfud, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, dan Djaned diterima Yudhoyono—kali ini sebagai presiden. Agenda resminya: mengundang Presiden hadir dalam beberapa acara. Di antaranya simposium internasional para ketua mahkamah konstitusi dan pemimpin parlemen dari 25 negara pada Juli, lomba debat konstitusi tingkat universitas, serta pertemuan antarlembaga tinggi negara pada 24 Mei. ”Kebetulan giliran kami jadi tuan rumah,” ujar Djanedri.
Sekitar satu jam pertemuan, pembicaraan resmi mulai berbelok topik. Presiden meminta para menteri yang mendampinginya keluar dari ruangan, begitu juga Achmad Sodiki dan Djaned. Mahfud dan Yudhoyono bertemu empat mata tiga perempat jam. Keluar dari ruangan, kedua pejabat menggelar konferensi pers bersama. Isinya membeberkan laporan tertulis Mahfud.
Nazaruddin menolak diwawancarai on the record oleh Tempo. Ia menyampaikan beberapa hal, tapi berpesan tak ingin dikutip. Namun, kepada sejumlah media, ia membantah tuduhan baru yang melibatkan namanya itu. Padahal perkara terbaru ini membuat posisinya benar-benar di ujung tanduk.
Y. Tomi Aryanto, Setri Yasra, Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo