Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa tak kaget dengan harga Pertamax yang kian meroket. Walau bahan bakar nonsubsidi ini ditujukan untuk kalangan berpenghasilan menengah-atas, harganya yang Rp 9.250 per liter di Jakarta, terhitung pertengahan Mei lalu, jelas mengganggu kocek. Migrasi besar-besaran dengan kembali mengkonsumsi bensin bersubsidi alias Premium, yang harganya 100 persen lebih murah, bisa saja terjadi.
Penurunan drastis konsumsi Pertamax dan Pertamax Plus menunjukkan terjadinya pertanda buruk itu. Sebaliknya, kebutuhan Premium makin menggila. Indikasi lain bisa ditengok dari antrean panjang mobil pribadi di stasiun pompa bensin yang menyediakan dispenser minyak bersubsidi. Bentangan spanduk yang menganjurkan mobil pelat hitam tak diisi Premium seolah angin lalu.
Pemerintah seharusnya segera mengoreksi pelonjakan harga Pertamax ini. Harganya terus melambung sejak 2005, yang hanya Rp 4.000. Anehnya, harga bahan bakar sekelas Pertamax di stasiun pompa bensin berbendera asing ternyata lebih murah Rp 200 per liternya. Sebagai penjual bahan bakar minyak dengan harga asli, atau nonsubsidi, seharusnya Pertamina mampu bersaing dengan Shell, Petronas, dan Total.
Boleh jadi ada aksi ambil untung lebih besar yang dilakukan perusahaan migas pelat merah itu. Bisa juga sebaliknya, terjadi inefisiensi dalam memproduksi minyak jenis ini. Seharusnya barang dari pemerintah lebih murah ketimbang jualan pihak asing. Pertamina, sebagai perusahaan besar dengan infrastruktur lengkap dan berskala besar berupa tangki timbun, tangki penyimpanan, pipa distribusi, kapal tanker, dan seterusnya, bisa menghasilkan harga Pertamax lebih murah ketimbang stasiun pompa bensin asing, yang fasilitas infrastrukturnya terbilang sedikit.
Kalau pelonjakan harga ini terus didiamkan, dampak lanjutannya—kita sudah hafal karena terjadi berulang kali—gawat. Migrasi tadi mendorong kebutuhan Premium membengkak dan buntutnya menggelembungkan besaran subsidi dari kocek negara. Dengan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 harga minyak mentah Indonesia US$ 80 per barel dan konsumsi BBM sekitar 23,2 juta kiloliter, kebutuhan dana subsidi mencapai Rp 95 triliun atau 11,5 persen dari belanja pemerintah pusat. Sebanyak Rp 41 triliun di antaranya untuk subsidi Premium.
Celakanya kini harga minyak mentah dunia tertahan pada kisaran US$ 100 per barel. Tanpa kenaikan harga Premium, subsidinya akan membengkak menjadi Rp 69 triliun atau 8,2 persen dari total anggaran negara. Menurut perhitungan Center for Strategic and International Studies, pertumbuhan produk domestik bruto diperkirakan berkurang 0,2 persen dari target APBN 2011. Penyebabnya, ada pengurangan anggaran pos-pos lain dalam anggaran negara untuk menambal membengkaknya biaya subsidi BBM.
Padahal sudah ada kajian menarik dari tiga perguruan tinggi ternama terhadap pengaturan bahan bakar minyak. Ada beberapa opsi yang dihasilkan, lengkap dengan pelaksanaan dan risikonya. Salah satunya menaikkan harga Premium menjadi Rp 5.000 per liter. Khusus angkutan umum akan mendapat kompensasi pengembalian tunai Rp 500 per liter. Mobil pribadi harus menggunakan Pertamax, yang harganya dipatok Rp 8.000 per liter. Yang juga penting, tim pengkaji menyarankan pemerintah menjalankan opsi yang dipilih pada April-Mei ini, saat deflasi.
Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya terus menunda pelaksanaan program pengurangan konsumsi BBM bersubsidi ini. Padahal, jika keputusan ini diambil, pengeluaran negara bisa dihemat. Angkanya sangat signifikan: Rp 5,84 triliun untuk APBN 2011 dan Rp 13,84 triliun di bujet tahun berikutnya. Duit sebanyak itu bisa dialokasikan untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat miskin. Dalam jangka panjang, keputusan ini justru menjadi sangat populis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo