Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasi Kucing Sebelum Dor

Warga sipil tewas tertembak dalam penyergapan teroris. Polisi cuci tangan.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lewat pukul satu dinihari, Suharno mampir ke angkringan Nur Iman di Gang Kantil, Sanggrahan, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia membeli dua gorengan dan dua bungkus nasi kucing—nasi bungkus porsi kecil—berlauk bandeng. ”Untuk sahur istri saya,” kata dia.

Tak ada obrolan panjang pada Sabtu dinihari dua pekan lalu itu. Hanya pertanyaan biasa, ”Nasinya masih ada?”, yang dijawab Nur Iman dengan telunjuk ke tumpukan bungkusan nasi. Ia masih ingat, sang penjual mengeluh, ”Malam ini sepi pembeli.” Ia satu-satunya pembeli ketika itu. Selesai membayar, Suharno segera pulang ke rumahnya, hanya 20 meter dari gerobak angkringan.

Setengah jam kemudian, Suharno mendengar kegaduhan di mulut gang. Ia terbangun, begitu juga penduduk lain. Wadiyah, yang rumahnya dekat mulut gang, bangkit ke luar rumah. Baru membuka pintu depan, seseorang menghardiknya, memintanya kembali masuk rumah. Wadiyah tak tahu persis jumlah mereka. Tapi sepintas ia melihat sejumlah pria bersenapan mengepung mulut gang. Selang beberapa detik, terdengar senapan menyalak berulang-ulang.

l l l

GUNAWAN, pedagang angkringan di Jalan Tentara Pelajar, Sukoharjo, sedang mengemasi dagangan ketika dua pria berboncengan Supra Fit biru melintas kencang di depan warungnya. Sejumlah sepeda motor menguntitnya. Di mulut Gang Kantil, tak jauh dari situ, Supra Fit tiba-tiba berbelok.

Para pengejar—polisi berpakaian hitam-hitam—tak ikut belok kiri. Mereka berhenti di mulut gang. Belum lagi kekagetan Gunawan hilang, tiba-tiba salah seorang polisi berseru. ”Ada perlawanan! Ada perlawanan!” Tak lama, terdengar rentetan tembakan.

Menurut Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Edward Aritonang, begitu masuk Gang Kantil, penunggang motor yang tengah diburu, Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto, tiba-tiba berhenti. Turun dari sepeda motor, keduanya langsung berbalik ke arah polisi dan melepaskan tembakan.

Ditembak buruannya, kata Edward, polisi kontan membalas. ”Sigit otak bom Cirebon,” katanya, menyebutkan bom bunuh diri yang meledak di Masjid Az-Zikra, Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, 15 April lalu.

l l l

NUR Iman, 38 tahun, membuka warung angkringan mulai pukul 5 sore hingga pukul 1-2 dinihari. Siang harinya, ia kadang bekerja serabutan untuk menambah penghasilan. Empat tahun lalu, ia bekerja di sebuah pabrik tekstil, tapi diberhentikan. Istrinya, Waliyem, buruh pabrik Panca Bintang di Manang, desa sebelah. Anak sulungnya, Rizki, duduk di kelas II sekolah dasar. Si bungsu, Ririn, baru tiga tahun.

Sudah sembilan tahun keluarga itu tinggal di rumah sederhana di RT 02 RW 03. Selama itu pula warga mengenal Nur sebagai pria yang akrab dengan tetangga. ”Ia bukan orang yang suka menyendiri,” kata Budiyono, Ketua RT 02. Nur selalu antusias mengikuti kegiatan kampung.

Setelah bunyi tembakan reda, Budiyono sempat menghubungi telepon seluler Nur Iman, tapi tak diangkat. Muhono, adik ipar Nur, langsung mengirim pesan pendek, tak dibalas juga. Lantas ia mencoba menelepon, tetap tidak diangkat. ”Tahu-tahu diberi kabar ada ceceran darah di sekitar gerobak,” katanya.

l l l

KHOLID Syaifullah mengenang Sigit sebagai pedagang madu dan air minum kemasan. Lima tahun keduanya sahabat karib. Keduanya sama-sama pernah ditahan di Polres Sukoharjo setelah merusak sebuah kafe di bilangan Solo Baru, Sukoharjo, pada 2005. ”Tapi sudah tiga tahun tak pernah kontak,” ujar Kholid.

Keluar dari bui, Sigit mendirikan Hisbah, sebuah organisasi laskar. Anggotanya diklaim mencapai 250 orang, tapi belakangan menyusut jadi 60 orang. Di organisasi ini, ia semakin gencar merazia kafe-kafe dan warung remang-remang. Kegiatan ini dilakukan Sigit dan kelompoknya hampir tiap akhir pekan. Acap kali kegiatan ini membikinnya berselisih dengan penduduk setempat.

Seorang yang mengetahui latar belakang Sigit bercerita, 10 tahun silam pria ini terkenal sebagai anak bengal. Menggemari musik cadas, Sigit bahkan pernah menjadi vokalis sebuah band underground. Orang tuanya, yang masih keturunan Keraton Solo, kerap mengeluhkan tingkah polahnya.

Kini tetangga Sigit di Gang Arjuna, Serengan, Surakarta, menyebut Sigit jarang berbaur. Kecuali saat salat Jumat, warga tak pernah melihatnya berkeliaran di sekitar gang. ”Habis salat, dia selalu langsung pulang,” kata tetangganya yang mengaku bernama Jarot.

Kendati mengetahui aktif di organisasi laskar, Jarot ragu Sigit seperti yang ditudingkan polisi. ”Kalau laskar iya, tapi teroris tidak,” ujarnya. Sigit juga tak pernah pergi ke daerah konflik sebagaimana tersangka teroris lain, yang kebanyakan dicap alumni konflik berdarah di Ambon atau Poso.

Dua pekan sebelum peluru memberondong tubuhnya, Sigit tak pernah lagi kelihatan di rumahnya. Juga di masjid ia biasa salat Jumat. ”Ia pergi tapi entah ke mana,” kata seorang tetangganya.

Lahir pada 18 Mei 1975, Sigit tewas di Gang Kantil pada 14 Mei 2011. Empat hari kemudian, pria itu dikubur tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-36.

l l l

PERAN Sigit dalam bom Cirebon terungkap dari video pada laptop yang disita dari seorang tersangka di Cirebon. Dalam video itu, Sigit terlihat sedang melatih Muhammad Syarif, pelaku bom bunuh diri di Masjid Az-Zikra.

Menurut sumber Tempo di kepolisian, kelompok Sigit berkait-kelindan dengan kelompok Syarif. Secara pribadi, Sigit dan Syarif dihubungkan oleh Nanang Irawan alias Nang Ndut, anggota kelompok Hisbah, yang masih diburu polisi. Anggota kedua kelompok juga merupakan anggota Jamaah Ansharut Tauhid. Abu Bakar Ba’asyir, amir jemaah, telah membantah ini jauh-jauh hari.

Sumber yang sama bercerita, kelompok Sigit memang mahir merakit bom. Salah seorang anggotanya, Ari Budi Santoso alias Erwan alias Musthofa, pernah belajar membikin bom dari Roki Apris Dianto alias Atok alias Abu Ibrohim alias Heru Cokro. Nah, Atok ini berguru kepada Heri Sigo Samboga alias Shogir. ”Shogir ini murid Dr Azahari,” kata sumber itu.

Atok ditangkap pada 25 Januari lalu. Menurut polisi, Atok-lah peracik bom yang ditanam di sejumlah gereja dan kantor polisi di Klaten, Solo, serta Yogyakarta pada kurun Desember 2010 hingga awal Januari 2011. ”Berdasarkan keterangan para tersangka, Sigit dan Hendro juga terlibat,” kata Kepala Biro Penerangan Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Boy Rafli Amar.

Maka, sejak akhir April lalu, Sigit dan Hendro jadi buron untuk dua kasus sekaligus.

Anton Septian (Jakarta), Ahmad Rafiq dan Ukky Primantyo (Sukoharjo)


Kronologi Kejadian

  1. Jumat menjelang tengah malam dua pekan lalu, polisi sudah mengintai sebuah rumah di Kecamatan Cemani, di sebelah utara Gang Kantil.

    Sabtu pukul 1 lewat
    Sigit dan Hendro, yang disebut sebagai pengawalnya, berboncengan meninggalkan rumah ke arah polisi yang sudah mengepung.

  2. Begitu berpapasan dengan polisi, Hendro segera memutar setang, berbalik arah ke Jalan Tentara Pelajar. Begitu tiba di mulut Gang Kantil di sebelah kiri jalan, mereka berbelok.

  3. Menurut Gunawan, di mulut gang polisi berdiri membelakangi Jalan Tentara Pelajar.

  4. Menurut polisi, Sigit dan Hendro menghentikan sepeda motornya, lalu berbalik ke arah polisi. Sejenak mereka berhadap-hadapan.

    01.15
    Salah seorang saksi, Heru, mendengar sekitar 20 tembakan bersahut-sahutan pukul itu.

  5. Bercak darah di dekat gerobak angkringan Nur Iman menunjukkan pria itu berdiri tak jauh dari warungnya sebelum tewas. Artinya, Nur Iman ada di belakang Sigit dan Hendro. Gunawan, yang juga kerabat Nur Iman, curiga Nur tertembak polisi. ”Kena peluru nyasar,” katanya.

Polisi masih menunggu uji balistik untuk memastikan peluru siapa sebenarnya yang mengenai Nur Iman. Tapi, yang pasti, pedagang kecil itu tewas dengan sebuah peluru di kepalanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus