Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR mata. Raut keharuan. Dan orang-orang pun berebut untuk menggotong tubuh seorang gubernur berkeliling sepanjang beberapa puluh meter. Itulah suasana ketika Acub Zainal, Gubernur Irianjaya 1973-1975, menyerahkan jabatan ke gubernur baru di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Irianjaya. Acub diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, Amir Machmud, karena dinilai "boros". Terlepas dari vonis itu, sambutan air mata sebagian orang Irian itu bisa diartikan sebagai tanda pengakuan mereka atas keberhasilan Gubernur Acub dalam menjalankan tugasnya.
Acub memang memiliki catatan harum di Irian. Ketika menjadi Panglima Komando Daerah militer XVII/Cenderawasih pada 1969-1973, Acub pernah melancarkan Operasi Koteka untuk memajukan masyarakat Irian. Koteka adalah penutup aurat pria tradisional orang Irianyang menurut Acub merupakan simbol ketertinggalan. Dikritik sejumlah pihak, termasuk Menteri Dalam Negeri, toh Acub menganggap gerakan itu berhasil.
Ketika menjadi gubernur, Acub memiliki visi membangkitkan kebanggaan orang Irian. Caranya, antara lain, dengan menggairahkan kegiatan olahraga sepak bola, atletik, dan tinju. Hasilnya memang terlihat. Persipura Jayapura, nama kesebelasan ibu kota Irianjaya, pernah menjadi juara II untuk kompetisi wilayah Asiaprestasi yang tidak dicapai PSSI hingga kini. Selain itu, Acub mendirikan kantor gubernur mewah untuk membangun kebanggaan Irian. Pendek kata, Gubernur Acub, seperti kata bekas Ketua MPR Wahono, adalah "orang yang tidak pernah tidur."
Acub adalah seorang militer tulen. "I love the army," kata tokoh kelahiran Bogor, 19 September 1927, ini. Kutipan itu menjadi judul buku biografinya yang disunting penyair Afrizal Malna pada 1998. Acub memulai karir militernya sejak revolusi fisik di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bekal pendidikan militernya, antara lain, ditimbanya dari Akademi Militer Yogyakarta dan Fuhrung Akademie, Jerman.
Setelah mundur dari militer, dengan pangkat terakhir mayor jenderal, Acub kemudian aktif dalam dunia olahraga. Ia pernah menjadi Ketua Umum Arema, kesebelasan Malang, dan menjadi manajer tim Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) SEA Games 1977.
Selain itu, Acub terjun di bisnis. Ia pernah menjadi direktur utama dan kemudian komisaris PT Pakuwon Jati, perusahaan properti yang mengelola plaza terkenal seperti Plaza Tunjungan, Surabaya, dan Plaza Blok M, Jakarta. Ia juga mewarnai hidupnya dengan menjadi Ketua Umum Persatuan Pengusaha Bioskop Keliling.
Di usianya yang tak lagi muda, kini Acub tetaplah "orang yang tak bisa tidur." Tiga pekan lalu, Presiden Abdurrahman Wahid mengundang Acub ke Istana Merdeka, Jakarta, bersama Barnabas Suebu dan Isaac Hindomkeduanya juga bekas Gubernur Irianjaya. Ketiga tokoh itu diminta membantu memecahkan masalah Irian. Kini mereka membentuk Tim Dialog Papua, yang diketuai Barnabas, sedangkan Acub menjadi anggota tim. Seperti diketahui, sejumlah tokoh Papua beberapa waktu lalu membuat gerakan politik yang berniat memisahkan tanah Irian dari wilayah kesatuan RI.
Mampukah Acub meluluhkan hati rakyat Papua seperti ketika dulu dia membuat orang-orang Irian menangisi kepergiannya? Itu perlu dibuktikan. Yang jelas, Acub yakin bahwa masyarakat Papua masih bisa diajak berdialog. Wartawan TEMPO Arif A. Kuswardono mewawancarai Acub di Jakarta, Kamis pekan lalu. Gaya bicaranya masih tetap ceplas-ceplos dan blakblakan. Ayah dari tujuh anak dan kakek dari delapan cucu ini juga masih bersemangat bila membicarakan masa lalu. Petikannya:
Anda adalah orang non-Papua yang ditunjuk menjadi anggota Tim Dialog Papua. Lama tak berada di Irian, apakah Anda masih memiliki kontak dengan seseorang di Papua?
Kontak tetap ada. Orang-orang masih sering datang ke saya. Ya, saya menempatkan diri sebagai orang tua mereka. Saya menasihati mereka supaya hati-hati.
Kapan Anda terakhir ke Irian?
Terakhir dua tahun lalu. Saya enggak punya apa-apa di sana. Hanya kenalan lama.
Menurut Anda, apa anggapan masyarakat Papua tentang Indonesia saat ini?
Dulu mereka mengharap banyak dari orang Indonesia. Tapi, setelah orang-orang Indonesia masuk sana, mereka muak karena ternyata sebagian pendatang itu maling.
Jadi, mereka skeptis?
Pasti.
Mengapa Anda yakin bisa berdialog dengan mereka?
Tergantung apa yang kita perbuat nanti. Menurut saya, kita ini terlalu sombong. Tapi sebenarnya tak lebih dari sombongnya orang bodoh, tolol, dan terbelakang. Kita sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kita pintar bicara luar biasa, tapi apa yang kita lakukan? Enggak ada. Jadi, tergantung apakah kita bisa memperbaiki itu. Saya yakin mereka bisa memaafkan.
Apakah Anda yakin Tim Dialog Papua akan diterima semua kelompok, baik yang pro-Indonesia maupun yang pro-kemerdekaan Papua?
Saya merasa segala sesuatunya masih bisa dibicarakan. Mereka bisa berdialog kok dengan kita asalkan kita mau memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu. Harap Anda ketahui, kemunculan kelompok-kelompok itu akibat ketololan orang kita yang tidak bisa mimpin. Hanya nyolong saja pikirannya. Karena tidak puas dengan kepemimpinan orang Indonesia, timbullah kelompok itu. Anda kan tahu, ketika pemerintah Indonesia mengirim orang-orang ke sana, begitu mereka pulang, jangankan barang-barang buatan Belanda, apa saja diangkut dengan kapal. Saya melihat sendiri di sana. Karpet habis digulung semua. Rumah-rumah Belanda dikuras. Tidak hanya di Sorong, tapi juga di Jayapura.
Apa kesan Anda pertama kali masuk ke Irian?
Sewaktu pertama kali saya melihat Irian, saya merasa kecewa sekali melihat perilaku orang Indonesia. Saya melihat kawan-kawan saya ketika pulang ke Jawa membawa apa saja. Bahkan, botol-botol bir kosong juga dibawa. Malu saya melihat semua itu. Padahal, mereka semua petugas dan pegawai yang berpendidikan. Saya sedih dan kasihan melihat orang Irian. Sejak saat itu, muncul perasaan dalam diri saya I love this people. (Suara Acub tersedak. Ia terlihat berat bicara.)
Bagaimana karakteristik orang Irian berdasarkan kesan pertama Anda datang ke Irian?
Mereka begitu ramah, tapi memang primitif. Mereka dear nice.
Apa gebrakan Anda ketika baru diangkat menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih?
Pertama, saya berusaha mengamankan daerah saya. Kondisi rakyat waktu itu baik sekali.
Apa kesulitan Anda sebagai pejabat baru?
Saya kira tidak ada.
Bukankah ada gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM)?
Itu muncul setelah orang-orang dari luar berbuat macam-macam. Nyolong-nyolong.
Sebagai Pangdam, pada 1971 Anda melancarkan Operasi Koteka. Apa pertimbangannya?
Awalnya dari simpati saya kepada daerah yang masih kaya tapi penduduknya masih terbelakang itu. Waktu itu, saya masih muda. Itu yang ada pada pikiran saya. Jadi, orang Irian harus dibantu ininya (Acub menunjuk kepalanya) dan fisiknya. Koteka itu sebenarnya hanya nama. Itu hanya soal nama operasi, supaya populer. Bagi orang Irian, itu jelas maksudnya. Itu kan ketertinggalan. Saya menangkap perasaan itu. Bahwa yang lain sudah memakai celana, sementara dia masih memakai koteka. Itu juga untuk memacu semangat mereka menghapus ketertinggalan.
Siapa saja yang dilibatkan dalam operasi itu?
Operasi Koteka itu dilakukan bukan oleh tentara saja, tapi juga oleh semua lapisan masyarakat. Untuk operasi itu, saya datangkan orang-orang terpelajar dalam satu tim. Ada yang tentara, polisi, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Kemudian, saya kirim mereka ke desa-desa untuk membangun mentalitas dan mengajari warga asli Irian berpakaian. Prinsipnya mendidik mereka menjadi orang yang terhormat. Saya masih ingat, saya mendatangi orang yang masih tinggal di pohon. Saya pergi ke hutan dan naik pohon menemui mereka.
Dari mana dana Operasi Koteka?
Itu dana kita cari sendiri. Saya usahakan dari pemerintah daerah sendiri untuk membikin celana. Saya masih ingat, bahannya dari karung.
Mengapa operasi itu dihentikan tiba-tiba?
Orang-orang Jakarta tidak mengerti maksud operasi itu. Ide saya tidak dipahami orang. Bagaimana bisa memahami itu? Wong, yang ada di situ saja dicolong semua. Apalagi mikir hari depan. Jadi, saya tidak didukung pemerintah pusat. Mereka malah curiga. Harusnya kan mereka segera mendatangkan bantuan. Tapi mereka diam saja.
Operasi Koteka memang mengundang tanggapan masyarakat ramai. Apakah Presiden Soeharto ikut berkomentar?
Yang saya rasakan waktu itu, saya justru ditentang oleh staf Presiden Soeharto, yaitu staf Departemen Dalam Negeri di bawah Amir Machmud. Waktu itu, saya merasa, itu karena mereka iri.
Operasi Koteka dijadikan contoh materi kuliah di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia sebagai kebijakan yang gagal memahami budaya lokal. Apa komentar Anda?
Saya baru mendengar dari Anda. Kalau dikatakan gagal, saya tidak tahu di mana salahnya. Harusnya mereka memberitahukan di mana kekurangannya. Wong, saya yang ada di sana. Betul, saya tertarik dengan berita itu. Kalau itu dibahas sekarang, tentunya kenapa baru sekarang jadi persoalan. Apakah kajian ini masih berlaku sekarang? Sebab, kondisinya di sana sendiri sudah banyak berubah, antara lain juga berkat Operasi Koteka itu. Mereka ahli dari buku-buku. Saya kan yang melaksanakan di sana. Mereka hanya melihat persoalan dari buku, sementara saya sehari-hari di lapangan. Jangan melihat salah atau tidak salah tindakan itu. Tapi, waktu itu, kenapa tidak ada reaksi apa-apa dari mereka?
Soal Anda diangkat sebagai gubernur dari jabatan Pangdam sebelumnya. Bukankah itu belum pernah terjadi sebelumnya? Mengapa Anda yang dipilih?
Saya tidak tahu alasan mereka memilih saya. Sebagai Pangdam, tiba-tiba saya mendapat perintah dari Presiden Soeharto untuk menjabat sebagai gubernur. Semula, saya melihat Irianjaya begitu berharga buat Republik Indonesia. Saya merasa harus berbuat sesuatu agar bisa memanfaatkan potensi ini. Target saya pertama kali sebagai gubernur adalah masalah pendidikan masyarakat Irian, lalu penyebaran kesadaran bahwa Irian adalah masa depan bangsa Indonesia. Orang Irian harus bangga bahwa dia orang Irian yang begitu penting bagi Indonesia dan bangga sebagai orang Indonesia.
Ketika Anda menjadi gubernur, kas Pemda Irianjaya waktu itu hanya Rp 75 juta. Bagaimana Anda bisa membangun gedung-gedung yang megah? Dari mana dananya?
Karena keinginan dan kejujuran kita, saya punya keyakinan bahwa kita bisa. Dan memang akhirnya bisa. Kita melakukan sendiri berdasarkan keuangan kita.
Apa pertimbangan Anda selalu membangun gedung yang megah?
Masa, untuk keperluan masyarakat, saya membikin gubuk? Itu perbedaan saya dengan bapak-bapak yang terhormat. Untuk bisa bekerja dengan baik, orang harus bisa tidur dengan baik.
Mengapa Anda membangun Stadion Olahraga Cenderawasih ?
Kembali lagi pada kebanggaan. Apa yang bisa Anda perbuat bila tidak punya kebanggaan? Bangsa ini mau punya apa kalau tidak punya kebanggaan? Sama dengan orang Irian. Dia mau jadi apa? Satu-satunya ya dengan membangunkan mereka kebanggaan bahwa mereka adalah orang Irian dan orang Irian mempunyai arti. Makanya, mereka waktu itu hebat dalam sepak bola. Namanya harum di mana-mana. Sampai pernah mereka saya bawa ke Singapura. Dan mereka bangga.
Anda menjabat gubernur hanya tiga tahun. Mengapa?
Ya, karena saya berkelahi dengan Mendagri Amir Machmud. Benar-benar berkelahi. Misuh saya. Waktu itu, ada soal pemilihan bupati. Maunya, bupati itu semua dari dia. Selain itu, saya sudah dongkol kepada tim dia yang beranggotakan jenderal-jenderal menganggur. Mereka berkumpul di Departemen Dalam Negeri. Kerja mereka cuma cari duit, minta proyek ke saya. Sudah enek saya. Mereka diangkat jadi staf ahli, enggak tahu ahlinya apa. Ahlinya ya minta duit itu.
Memang waktu itu bupati harus dipilih sesuai dengan permintaan Menteri Dalam Negeri?
Enggak hanya soal bupati. Apa saja sepanjang menyangkut soal daerah.
Bagaimana nasib Anda setelah itu?
Saya dipindahkan ke Staf Umum Angkatan Darat sebagai perwira staf. Dari situ, saya minta berhenti secara resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo