Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYANGKAN apa yang terjadi jika penderita asma menyemprotkan obat inhaler ke mulutnya tapi "obat" tersebut ternyata cairan cat. Tentu, selain napas si penderita tetap sesak, mulut, gigi, dan lidahnya akan belepotan cat. Keadaan sedemikian rupa jelas tidak mengenakkan. Yang lebih mengkhawatirkan, bila cat tadi sampai tertelan dan masuk ke pencernaan, bisa timbul keluhan baru.
Dan bukan tak mungkin hal itu timbul berulang-ulang. Dalam keadaan demikian, kematian tak lagi bisa dicegah.
Cerita tragis seperti di atas bukan hal yang mustahil terjadi di tengah masyarakat. Sebab, obat asma inhaler yang isinya cat memang benar-benar ada. Beberapa waktu lalu, TEMPO pernah menemukan obat tersebut di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Saat obat itu disemprotkan ke permukaan kaca, yang keluar adalah semburan warna kuning yang mengeluarkan bau tak sedap. Selain menempel di kaca, ketika dicolek, eh, cat tersebut langsung pindah melekat ke jari-jari. Sulit dipercaya, tapi begitulah adanya. Dari kemasannya, produk aneh bin ajaib yang ditawarkan penjualnya sebagai produk impor itu dijual dengan merek Alupent.
"Tapi itu produk yang palsu!" ujar sumber TEMPO yang biasa bermain di bisnis farmasi. Ia benar. Sebab, obat inhaler yang asli, bila disemprotkan ke mulut, tak berwarna dan juga tak berbau. Di Indonesia, produk yang mengandung zat aktif metaproterenol sulfate ini diproduksi oleh PT Schering-Plough Indonesia.
Pada waktu yang sama, TEMPO memergoki tumpukan bedak Salycil di beberapa toko obat di Pasar Pramuka pula. Bedak yang zat aktifnya salisil 2 persen ini diproduksi oleh sejumlah pabrik di Indonesia. Kemasannya ada yang berupa botol plastik berwarna merah jingga, tapi ada juga yang berwarna kuning. Yang merah jingga mencantumkan nama PT Ika Pharmindo sebagai produsennya, sementara yang kemasannya berwarna kuning, anehnya, tak mencantumkan nama pabrik yang memproduksinya.
Menurut sumber TEMPO, produk yang tidak mencantumkan nama pabrik itu adalah produk palsu. Tapi siapa pelaku yang jahil dan jahat itu?
Beberapa penemuan di atas kembali membuktikan bahwa obat palsu memang masih banyak beredar di pasaran. Tak hanya di Pasar Pramukasalah satu sentra toko obat ilegaltapi juga di pasar yang lain. Di kawasan Jawa Timur, lokasi yang disebut-sebut memperdagangan obat palsu adalah Pasar Atum dan Kembang Jepun, Surabaya. Data dari pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Surabaya menyebutkan bahwa dalam dua tahun terakhir telah ditemukan 40 merek obat yang dipalsukan.
Menurut Djoko Sunaryo, Kepala Badan POM Surabaya, obat yang dipalsukan terdiri atas 4-5 jenis, antara lain jenis antibiotik dan analgetik. Umumnya obat palsu itu bukan buatan pabrik dan tidak ada nomor registrasinya.
Di lapangan, ada sejumlah modus operandi yang biasa dilakukan oleh pemalsu. Melakukan pemalsuan obat impor yang sudah tak masuk lagi karena harganya mahal, seperti terhadap produk merek Alupent, adalah salah satunya. Tapi bisa juga modus dilakukan dengan memproduksi obat murah yang volumenya besar. Pemalsuan bedak Salycilyang lama dikenal sebagai obat gatalmasuk di dalamnya.
Modus yang lain adalah memproduksi dan memasarkan obat-obatan yang sebenarnya sudah tidak boleh diproduksi dan diedarkan lagi. Pihak POM, misalnya, sudah meminta penghentian produksi dan pengedaran sejumlah obat, yakni penisilin untuk pemakaian topikal/kulit (salep), sulfanilamid (salep dan serbuk obat luar), mercurochrome (cairan obat luar), sulfaguanidin (tablet), tetracyclin HCl (sirop), dan obat batuk putih. Toh, di pasaran, sebagian produk itu masih bisa diperoleh. Bukan mustahil, produk-produk yang beredar itu palsu.
Yang tak kalah besar jumlahnya adalah modus pemalsuan secara langsung. Di sini, pemalsu memproduksi obat apa pun yang dia inginkan, biasanya yang laku keras di pasaran. Dalam kaitan ini, Direktorat Jenderal (belum menjadi badanRed.) POM, September tahun lalu, sempat merilis 15 merek obat palsu (lihat tabel Inilah Obat yang Dipalsu itu).
Kepalsuan itu diketahui karena uji laboratorium menunjukkan bahwa zat aktif dari obat-obatan tersebut tak ada yang memenuhi standar. Malah, tak sedikit yang zat aktifnya nol persen, seperti Super Tetra dan Dumocycline kapsul. Bukan tak mungkin obat-obatan ini hanya diisi dengan semacam tepung. Nah, kalau seperti itu kondisinya, minum obat segerobak juga tak akan punya efek. Sebaliknya, yang terjadi, kuman tak terbasmi tuntas dan infeksi tak kunjung sembuh. Buntutnya, ini yang tidak enak, penderita malah bisa meninggal.
Mengganti isi suatu produk dengan produk lain yang lebih murah juga lazim dilakukan oleh pemalsu obat. Disebut-sebut, obat hipertensi bermerek Norvask untuk Askes banyak diganti isinya dengan obat Norvask impor. Maklum, harga obat Askes mencapai Rp 90 ribu per 30 butir, sementara yang impor hanya Rp 60 ribu per 30 butir. Sedangkan harga Norvask reguler (non-Askes) lebih mahal lagi, yakni Rp 165 ribu per 30 butir. Dengan penggantian isi itu, praktis harganya bisa ditekan. Modus seperti ini lazim dilakukan pemalsu dengan memanfaatkan kemasan bekas yang berasal dari rumah sakit, klinik, atau apotek.
Selain obat palsu, yang tak kalah menarik untuk dicermati adalah peredaran obat-obatan ilegal impor. Sama dengan obat palsu, jenis obat ini sebagian besar beredar di pasar gelap, meski tak tertutup kemungkinan di sejumlah apotek dan toko obat resmi juga bisa didapatkan. Jadi, dalam urusan ini, bukan sekadar penjualannya yang dipermasalahkan, tapi juga kualitasnya. Yang menarik, menurut Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi, Anthony Ch. Sunarjo, omzet obat ilegal impor ini bisa mencapai Rp 30 miliar per bulansuatu jumlah yang lumayan besar. "Produk ini sebagian besar dilempar ke pasaran di Pulau Jawa," ujarnya.
Tentu saja meruyaknya obat palsu dan ilegal di pasar-pasar gelap sangat mengkhawatirkan. Bukan tak mungkin, kesembuhan yang diinginkan, tapi penderitaanatau malah kematianyang didapatkan.
Untuk mengatasinya, peran Badan POM sangat vital. Sejumlah pihak, terutama lembaga swadaya masyarakat, mengkritik kelambanan dan ketidaktegasan POM. Kritik itu, antara lain, sempat dilontarkan oleh pengelola Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dan Indonesia Pharmaceutical Watch (IPW). Sementara Amir Hamzah Pane, Ketua Umum IPW, menilai POM masih kurang tegas, kritik Marius Widjajarta, Ketua YPKKI, malah lebih frontal. "Saya sudah berusaha agar POM melakukan tindakan, tapi hasilnya nol besar," ujarnya.
Sampurno sendiri, selaku Kepala Badan POM, mengakui bahwa pihaknya belum optimal dalam memerangi peredaran obat palsu dan ilegal. Tapi ia tak menerima kalau kerjanya selama ini dinilai tak ada hasilnya. Sebab, selain menjatuhkan sanksi administratif, pihaknya sudah banyak mengajukan tindakan hukum (proyustisia) bagi mereka yang memalsukan dan mengedarkan obat secara ilegal. Repotnya, kalaupun ada yang masuk pengadilan, putusannya sangat ringan. "Itu yang sangat kita sayangkan," katanya (lihat Sampurno: "Hukuman yang Ringan Tak Membuat Jera").
Jadi, urusan pemberantasan obat palsu dan ilegal tampaknya belum akan berakhir. Apa daya?
OBAT DILARANG DIPRODUKSI DAN DIEDARKAN
Nama produk | Pertimbangan |
Penisilin untuk pemakaian topikal/kulit | Untuk pemakaian topikal tidak efektif dan dapat menimbulkan sensitisasi kulit |
Sulfanilamid | Untuk pemakaian topikal dapat menimbulkan sensitisasi kulit |
Mercurochrome | Sebagai antiseptik topikal tidak efektif |
Sulfaguanidin | Efek toksik penggunaan sulfaguanidin sebagai obat antidiare lebih besar dari manfaatnya |
Tetracyclin HCl dalam bentuk cairan oral | Dalam bentuk sediaan cairan oral tidak stabil dan penggunaannya pada anak-anak dapat menyebabkan gigi berwarna kuning yang menetap |
Obat batuk putih | Kestabilan obat ini tidak terjamin dan efektivitas pengobatannya tidak terbukti secara ilmiah |
BEBERAPA PRODUK ILEGAL IMPOR DI PASARAN
Terdaftar Lokal | Impor Ilegal/Tak Terdaftar | ||||
Nama obat | Sediaan | Pabrik | Nama obat | Sediaan | Pabrik |
Incidal | tablet | Bayer Indonesia | Incidal | tablet | Bayer India |
Ponstan 500 | tablet | Parke Davis Indonesia | Ponstan 500 | tablet | Parke Davis Malaysia |
Daonil | tablet | Hoechst Indonesia | Daonil | tablet | Hoechst India |
Lasix | tablet | Hoechst Indonesia | Lasix | tablet | Hoechst India |
Stugeron | tablet | Jansen Indonesia | Stugeron | tablet | Jansen |
Esperson | cream | Hoechst Indonesia | Esperson | cream | Hoechst Singapore |
Garamycin | cream | Schering P. Indonesia | Garamycin | cream | Schering P, Thailand |
Kenacort | tablet | Squibb Indonesia | Kenacort | tablet | Squibb Pakistan |
Kenacomb New | cream | Squibb Indonesia | Kenacomb | cream | Squibb Pakistan |
Actifed | tablet | Glaxo W, Indonesia | Actifed | tablet | Glaxo W, Pakistan |
Viagra | tablet | Pfizer Indonesia | Viagra | tablet | Pfizer Australia |
Rovamycin 500 | tablet | Rhone P, Indonesia | Rovamycin 500 | tablet | Rhone P, Pakistan |
Xenical | kapsul | Roche Indonesia | Xenical | kapsul | Roche New Zealand |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo