Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELAH lebih dua pekan jasad Madsani terbujur di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta. Orang-orang sudah berhenti menangis. Tanah merah yang mengubur lelaki 50 tahun itu sudah tak lagi basah atau berbau kembang.
Madsani mungkin telah dilupakan orang. Ia memang bukan siapa-siapa: hanya seorang anggota hansip yang tewas terkena lemparan batu oleh massa—mereka menentang razia becak yang dilakukan pemerintah. Madsani—salah satu aparat yang turut merazia—mungkin tak paham mengapa ia harus ikut menertibkan becak. Yang ia tahu, ia harus ikut perintah atasan merazia becak di kawasan Roxi, Jakarta Barat, siang itu.
Sebagai pegawai rendahan bergaji Rp 15 ribu per hari, ia tak punya hak menolak tugas. Dan pada detik yang tak disangka-sangka itu, pria ini ambruk dengan kepala me-ngucurkan darah. Kisah Madsani adalah ironi dalam balada becak yang tak kunjung selesai: seorang hansip yang mati di tangan pengemudi becak dan massa lainnya. Seorang kecil yang tewas oleh tangan sesama orang kecil.
Becak memang sebuah ironi Ibu Kota. Pada 1988, kendaraan roda tiga itu dilarang beredar di DKI Jakarta bedasarkan Per-aturan Daerah No. 11/1988. Ketika krisis ekonomi datang, pemerintah DKI Jakarta memberi keleluasaan kepada becak untuk beroperasi kembali. Bagaikan semut memperebutkan gula, becak-becak segera masuk lagi ke Ibu Kota. Setelah di-rasakan merepotkan—karena tak tertib, bikin macet, dan dianggap tak manusiawi—becak lalu digaruk kembali.
Tak seperti pemerintah, yang terkesan bingung dan tak konsisten, responden jajak pendapat TEMPO justru menganggap becak harus dipertahankan. Alasan mereka jelas: becak dapat diandalkan sebagai sarana transportasi, terutama di kawasan terpencil yang tak terjangkau mobil umum. Hanya sebagian kecil yang menganggap becak tak lagi diperlukan—umumnya mereka bukan pengguna becak sebagai sarana transportasi sehari-hari.
Mestinya, pemerintah tak perlu menerapkan zero sum game—menang atau mati—dalam menangani becak. Merazia tukang becak, merampas kendaraan mereka, lalu men-jadikannya rumpon di laut jelas menghina harkat hidup orang-orang itu. Di tengah tingginya angka pengangguran, harus diakui becak adalah salah satu alternatif bagi mereka yang tak punya pekerjaan.
Penertiban becak adalah salah satu alternatif yang ditawarkan responden. Becak, misalnya, bisa dilokalisasi di kawasan tertentu seperti kompleks perumahan. Atau, seperti diusulkan Ketua Urban Poor Consortium Wardah Hafiz, pemerintah bisa membuat jalur khusus becak di jalan raya tertentu.
Tentu ini bukan solusi yang mudah. Seperti juga betapa tak mudahnya dilema yang dihadapi pemerintah apakah akan membiarkan becak hidup atau sebuah peraturan daerah menjadi tak punya gigi. Tapi keputusan memang harus diambil. Atau ironi Madsani akan terjadi lagi.
Arif Zulkifli
Seberapa sering Anda menggunakan becak sebagai alat transportasi? | |||||||||||||||
Dalam setahun terakhir, saya tidak pernah menggunakan becak | 38,9% | ||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Saya adalah pengguna becak setiap hari | 4,8% | ||||||||||||||
Saya tidak pernah menggunakan becak sama sekali | 29,2% | ||||||||||||||
Saya hanya sekali-sekali menggunakan becak | 27,1% | ||||||||||||||
Pendapat tentang keberadaan becak berdasarkan tingkat penggunaan becak sebagai alat transportasi. | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
Dari dua pernyataan ini, mana yang menurut Anda paling tepat? | |||||||||||||||
Becak masih dibutuhkan sebagai alat transportasi | 62,5% | ||||||||||||||
Becak tidak lagi dibutuhkan sebagai alat transportasi | 37,5% | ||||||||||||||
Alasan becak dibutuhkan* | |||||||||||||||
Becak mampu beroperasi sampai ke kampung-kampung | 61,9% | ||||||||||||||
Becak bebas polusi | 61% | ||||||||||||||
Becak bisa mengatasi pengangguran | 34,7% | ||||||||||||||
Biaya becak relatif murah | 30,7% | ||||||||||||||
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. | |||||||||||||||
Alasan becak tidak dibutuhkan* | |||||||||||||||
Becak membuat macet | 78,4% | ||||||||||||||
Becak membuat Jakarta terkesan kumuh | 39,7% | ||||||||||||||
Becak tidak manusiawi | 36,1% | ||||||||||||||
Becak suka ugal-ugalan | 3,1% | ||||||||||||||
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. | |||||||||||||||
Setujukah Anda terhadap penertiban becak yang dilakukan Pemda DKI selama ini? | |||||||||||||||
Setuju | 48,2 | ||||||||||||||
Tidak setuju | 51,8 | ||||||||||||||
Bagaimana sebaiknya becak diatur? | |||||||||||||||
Becak hanya diizinkan beroperasi di kampung dan kompleks permukiman | 66,3% | ||||||||||||||
Becak diizinkan beroperasi, kecuali di jalan-jalan protokol | 15,3% | ||||||||||||||
Becak dilarang sama sekali | 12,4% | ||||||||||||||
Becak diizinkan beroperasi di seluruh wilayah DKI tanpa kecuali | 6% | ||||||||||||||
Siapa yang salah dalam masalah becak? | |||||||||||||||
Peraturan daerah yang melarang becak | 28,6% | ||||||||||||||
Gubernur yang mengizinkan becak beroperasi meski itu melanggar perda | 35,8% | ||||||||||||||
Tukang becak | 26,7% | ||||||||||||||
Petugas ketertiban yang merazia becak | 8,9% | ||||||||||||||
Metodologi jajak pendapat :
- Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO, bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 517 responden di lima wilayah DKI pada 24-28 Agustus 2001. Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multi-stages sampling) dengan unit analisis kelurahan dan rumah tangga. Dengan menggunakan ukuran sampel tersebut, estimasi terhadap margin error adalah 5 persen dengan tak tertutup kemungkinan terjadinya non-sampling error. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka.
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 570497
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo