Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Obat Palsu yang kian Merisaukan Kita

Obat palsu lebih berbahaya dari sekadar uang palsu. Obat palsu bisa membuat nyawa melayang. Di sekitar Anda, satu dari tiga obat yang beredar di pasar ternyata palsu. Bahan palsu itu bisa tepung, pasir, sampai cat. Sangat berbahaya. Penelusuran TEMPO membuktikan modus peniruan obat kian beragam. Mengapa pemerintah tenang-tenang?

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPANDUK putih itu berkibar-kibar di perempatan Slipi, Jakarta, sejak pertengahan Agustus lalu. "Obat palsu lebih berbahaya dari uang palsu." Tenggelam dalam keramaian Jakarta, peringatan penting itu nyaris luput dari perhatian. Spanduk putih yang "kesepian" di Slipi itu merupakan bagian dari kampanye lembaga pemantau Indonesian Pharmaceutical Watch dan Pemerintah DKI Jakarta.

Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah isu obat palsu sudah lama terdengar? Benar. Peredaran obat palsu sudah mencapai tahap bahaya. Sementara itu, pemerintah—juga kita—lebih asyik mengurusi politik dan memelototi naik-turunnya dolar-rupiah. Investigasi TEMPO membuahkan perkiraan yang mengagetkan: sepertiga dari seluruh obat yang ada di pasar ternyata palsu.

Sumber TEMPO di sebuah perusahaan farmasi asing memperkirakan 20 sampai 30 persen. Itu artinya sekitar Rp 2 triliun-3 triliun dari pangsa pasar obat, yang bernilai sekitar Rp 10 triliun. Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ahaditomo, pernah mengungkapkan angka yang sama. Menurut dia, bukan tak mungkin peredaran obat palsu mencapai 20 persen dari total obat yang ada di pasar. Belakangan, Ahaditomo mengoreksinya. Dalam wawancara terakhir dengan majalah ini, dia mengaku sulit memperkirakan jumlah obat palsu.

Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, Anthony Ch. Sunarjo, M.B.A., segendang sepenarian. Ia mengaku sulit menghitung kerugian pasar obat Indonesia akibat obat ilegal dan obat palsu. "Tak ada instrumen untuk menghitungnya. Akhirnya hanya perkiraaan saja," katanya.

Sementara itu, Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan Surabaya, Djoko Sunaryo, menganggap angka peredaran obat palsu sampai 30 persen itu kurang rasional. "Data itu dari mana asalnya, dan apakah bisa dibuktikan?" kata Djoko. Menurut dia, berdasarkan data pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar POM Surabaya selama dua tahun terakhir, hanya ditemukan 40 merek yang dipalsukan. Itu pun hanya dari sekitar empat atau lima jenis obat.

Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Sampurno, setali tiga uang. Berdasarkan operasi yang dilakukan lembaganya selama Januari-Mei 2001, hanya ditemukan lima item obat palsu—obat yang tak memiliki zat aktif—yakni Alphaphist tablet, Etambutol tablet, Codein tablet, Himagen tablet, dan Hiralgen tablet. "Saya kira peredaran obat palsu justru cenderung menurun, meski memang tidak berarti habis sama sekali," kata Sampurno.

Obat yang dipalsukan itu antara lain dari jenis antibiotik dan analgesik. Jenis antibiotik yang dipalsukan antara lain ampisilin, tetrasilin dan klorampensilin. Sedangkan jenis analgesik seperti Antalgin, obat flu, rematik, dan asam-mefenomat. "Obat yang dipalsu itu bukan buatan pabrik dan tidak ada registrasinya. Kalaupun ada nomor registrasinya, itu hanya buatan pemalsu," kata Djoko Sunaryo. Sumber lain mengungkapkan bahwa yang paling banyak dipalsu adalah obat-obat laris, terutama dari jenis analgesik seperti Ponstan. Angkanya mencapai 20-30 persen dari total pasar obat analgesik atau senilai Rp 15 miliar-20 miliar.

BPOM menjelaskan, obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh mereka yang tak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bisa juga produk obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar. Obat palsu bisa berbentuk pil atau kapsul (oral) ataupun cairan (injeksi).

Ada pelbagai macam obat palsu. Yang pertama adalah produk yang mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang memenuhi syarat tapi bukan dibuat oleh pabrik aslinya. Ada juga yang mengandung bahan berkhasiat yang tak memenuhi syarat.

Selain itu, ada produk palsu yang tak mengandung bahan berkhasiat. Bahan apa? Ada yang dibuat dari bahan pengganti (plasebo), juga bahan berkhasiat yang berbeda. Terakhir, ada obat palsu yang dibuat oleh perusahaan yang tak berhak berdasarkan ketentuan yang berlaku alias tidak berizin dan tidak jelas eksistensinya.

Yang tak boleh dilupakan adalah fenomena obat ilegal. Ini obat yang seharusnya diresepkan (ethical atau sering dikenal obat daftar G) tapi bisa didapat secara bebas. Termasuk dalam jenis ini adalah obat yang diselundupkan ke Indonesia dan dijual di pasar gelap alias tak bayar pajak sehingga harganya lebih murah. Obat ilegal mungkin juga obat palsu. Artinya, obat ini sudah dipalsu di negara asal kemudian diselundupkan masuk ke Indonesia.

Sudah bertahun soal ini terdengar, tapi tak pernah ditangani tuntas oleh pemerintah. Gabungan Pengusaha Farmasi, misalnya, sudah menemukan indikasi pemalsuan obat pada 1991. Kala itu mereka bahkan sempat mengadakan seminar soal tersebut. Menurut Anthony, waktu itu ada sebuah perusahaan obat asing yang sampai menyewa pensiunan FBI untuk mengungkap jalur obat palsu. Hasilnya nihil.

Obat palsu kian marak belakangan ini, salah satunya disebabkan oleh krisis ekonomi. Sejak krisis melanda, harga obat kian mahal. Akibatnya, masyarakat terpaksa lari mencari obat murah. Obat murah itu berarti obat palsu atau ilegal.

Fenomena ini memprihatinkan. Masyarakat tak sadar bahwa membeli obat murah mengandung risiko yang bisa membawa kematian. Bagi industri farmasi, fenomena obat palsu mengancam bisnis dan menjelekkan citra mereka. Orang bisa menganggap obat buatan pabrik X, misalnya, ternyata tak manjur. Padahal obat itu bisa jadi palsu. Ujung-ujungnya, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada industri farmasi.

Penelusuran TEMPO membuktikan ada beberapa obat yang sering dipalsukan, di antaranya obat yang laku atau fast moving product (lihat tabel Inilah Obat yang Dipalsu itu). Salah satu produsen obat asing mengaku salah satu produknya yang bernama generik Sildenafil Sitrat memang banyak dipalsukan. Kandungan pil biru untuk disfungsi ereksi itu diganti bedak atau pasir. "Tapi kami tidak tahu persis berapa kerugian akibat pemalsuan karena tidak ada data berapa besar jumlah obat palsu yang ada di pasaran," kata Shanti Shamdasani, Manajer Senior Urusan Publik PT Pfizer Indonesia.

Pemalsuan juga banya menimpa obat yang dipakai untuk jangka panjang dengan efek dan khasiat yang tak dapat diukur seketika (biasanya obat hormonal). Bisa juga obat yang harus dipakai rutin (antidiabetes), obat-obat untuk menurunkan obesitas, dan golongan antibiotik yang sering dibeli (misalnya Amoxsan). Modus operandi pemalsuan pun macam-macam, dari pemalsuan langsung sampai penggantian label atau etiket kemasan (lihat: Dari Isian Tepung Sampai Cat).

Penelusuran TEMPO menunjukkan, yang paling banyak dipalsu adalah obat yang berteknologi relatif sederhana dan tak dilengkapi sistem pengaman yang memadai, misalnya hologram. Kelemahan ini dimanfaatkan para pemalsu. "Mesin pencetak obat gampang dibeli. Atau, pesan saja cetakan obat ke tukang bubut," ujar William (bukan nama sebenarnya), sumber TEMPO yang sudah lebih dari sepuluh tahun bergelut di bisnis obat.

Mudahnya mendapatkan kemasan yang sama dengan obat asli juga menyuburkan pemalsuan. Pembuat kemasan obat bertebaran, misalnya di Glodok di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sebuah percetakan sederhana juga sanggup meniru cetakan kemasan dengan teknik sablon yang persis aslinya. Strip aluminium foil pembungkus obat banyak dijual dalam bentuk jadi. Pemalsu tinggal melakukan proses stripping (pembungkusan). Toh, POM tidak mensyaratkan pembuatan kemasan dan stripping ini di satu tempat khusus seperti halnya uang rupiah yang hanya boleh dicetak oleh Perum Percetakan Uang RI (Peruri).

Kemasan obat bentuk botol pun mudah didapat. "Saya bisa dengan mudah memperoleh botol sebuah merek obat dari tukang loak, bekas rumah sakit, apotek, klinik dengan cara beli bekas atau beli baru," cerita William.

Selain itu, bentuk kemasan produk obat di Indonesia (baik dalam bentuk botol, ampul, maupun vial) rata-rata sama. Ini dikarenakan terbatasnya jumlah produsen botol kemasan obat di Indonesia. Setidaknya hanya ada dua pembuat botol obat di Jakarta, dan satu di Surabaya. Semua orang boleh memesan botol dan tutupnya yang sama dengan botol dan tutup obat asli tanpa proses berbelit. Pemalsu tinggal pesan jenis kemasan obat yang diinginkan, lalu mengisinya dengan obat apa pun, memasang etiket, dan menjualnya seolah-olah barang asli.

William bercerita, obat palsu mudah masuk pasar karena ruwetnya distribusi obat di Indonesia. Hal ini terlihat dari, misalnya, laporan produksi dan distribusi yang tak diberikan secara rutin dari produsen ke BPOM secara berkala (triwulan sekali). BPOM sendiri tak pernah mengeluarkan sanksi jika ada pelanggaran semacam ini. Laporan produksi dari pabrik pun jarang diverifikasi di BPOM, tapi hanya didata saja.

Kekacauan distribusi memicu pabrik obat melakukan penjualan ilegal. Modusnya, kata William, seolah-olah menjual obat secara legal kepada sebuah apotek, padahal apotek ini sekadar perantara (dikenal dengan istilah "panel" di kalangan pedagang) dari produsen untuk menyalurkan produknya ke dokter atau pasar gelap, alias tempat obat numpang lewat. Dengan cara ini, seolah-olah distrbutor telah memenuhi aturan penjualan obat yang benar dari POM. Secara fisik, apotek panel ini ada dan menjual obat. Tapi sebenarnya pemasukan terbesarnya bukan dari hasil jualan obat, melainkan dari komisi yang diberikan pabrik obat/distributor sebesar 2,5-3,5 persen. Pedagang di Pasar Pramuka, Jakarta, banyak mendapat pasokan obat lewat modus semacam ini.

Repotnya, pemerintah tak cukup optimal menyosialisasikan masalah obat palsu ke masyarakat. Public warning, yang isinya peringatan tentang suatu kasus, kendati sesekali dikeluarkan, seperti sia-sia. Public warning nyatanya hanya diedarkan di Gabungan Pengusaha Farmasi dan tak pernah diedarkan secara efektif ke anggotanya, yakni apotek dan toko obat.

Sumber TEMPO di farmasi asing bercerita. Suatu kali, perusahaannya ingin memasang semacam pemberitahuan di media massa tentang pemalsuan salah satu produk obat ethical, tapi dilarang oleh BPOM karena dianggap iklan. Padahal perusahaan farmasi dilarang memasang iklan produk. Akibatnya, upaya perusahaan melakukan public warning itu pun batal.

BPOM juga nyaris tak pernah mengumumkan secara terbuka nama-nama pabrik atau distributor yang sudah ditutup atau tidak aktif lagi. Tak pernah juga disiarkan jika ada perubahan kemasan (warna kuning berganti merah) atau nama pabrik (dari Dumex ke Alpharma). Celah ini bisa dimanfaatkan oleh tangan nakal yang gatal memproduksi dan menjual obat dengan memakai nama pabrik yang sudah ditutup itu. Mereka juga bisa mengatakan kepada konsumen bahwa yang dijual itu kemasan lama atau impor, padahal obat palsu.

Ada celah lain, yakni gampangnya mengurus proses perizinan pendirian distributor dan toko obat. Menurut William, dua tempat jualan ini, misalnya, cukup mempunyai penanggung jawab asisten apoteker dan tempat berdagang atau kantor. Kemampuan keuangan atau bonafiditas perusahaan tak menjadi syarat utama. Setelah syarat tersebut dipenuhi, BPOM akan melakukan peninjauan ruangan secara formal saja. Setelah itu, dalam 28 hari kerja, izin sudah keluar. Apabila surat izin ini sudah habis masa berlakunya (setahun untuk toko obat), tidak ada upaya dari BPOM untuk menarik kembali izin tersebut. Akibatnya, izin bisa disalahgunakan oleh toko yang bersangkutan.

Akibat kekacauan distribusi dan rendahnya pengawasan dari BPOM, muncullah sentra-sentra penjualan obat, baik yang kecil maupun besar. Menurut William, di sentra inilah obat palsu bersarang dan tak mustahil suatu ketika masuk ke jalur resmi: apotek dan rumah sakit.

Hanya, diakui William, tak seperti zaman dulu, pemalsu zaman sekarang lebih "manusiawi". Dulu obat palsu dibuat dari bahan asal-asalan sehingga menimbulkan efek seketika. Sekarang pemalsu mengganti bahan asli dengan bahan substandar (bermutu di bawahnya) atau dengan cara subtitusi. Dengan cara ini, si pasien tetap akan sembuh karena yang diberikan sebetulnya bahan yang sejenis tapi dari golongan yang lebih murah. Bahayanya adalah kalau pasien punya riwayat alergi terhadap antibiotik tersebut dan mengakibatkan kematian atau efek-efek plasebo.

Meskipun lebih "manusiawi", obat palsu jelas merugikan. Apalagi kalau ternyata isinya tidak seperti yang diharapkan. "Obat palsu jelas mengancam jiwa konsumen," kata Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Konsumen Indonesia.

Menurut Marius, pemerintah seharusnya mengambil tindakan keras terhadap pemalsu, misalnya memperlakukannya seperti kriminal. BPOM sebagai pengawas masalah obat juga tidak boleh berpangku tangan, tapi harus aktif melakukan pengawasan. "Kalau bisa, diberantas ke akar-akarnya," kata Marius.

Jika dalam jangka pendek sukar mengejar sang pemalsu, cegat saja di apotek, kios, dan rumah obat. Pemerintah bisa memperketat pengawasan di "pintu masuk" obat palsu itu.


Inilah Obat Palsu itu

Pemalsuan Cara Pabrikan

Nama Obat

Pabrik

Sediaan

Palsu

Asli

Super Tetra Darya Varia Kapsul Kemasan lama, tidak memakai strip hologram Kemasan baru, memakai strip hologram
Lasix Hoechst Tablet Tidak memakai tanggal kedaluwarsa pada blister dan tidak berhologram (kuning) Hologram berubah, warna blister
Ponstan FCT Parke Davis Captab Yang dipalsukan adalah Ponstan FCT impor Blister memakai sistem cetak miring
Incidal Bayer Kapsul Kemasan lama mengandung mebhidroline, tidak berhologram Mengandung cetirizine (jingga)
Duphaston Kimia Farma-Duphar Tablet Kemasan strip lembek, tablet mudah pecah Kemasan kuat, tablet tak mudah pecah
Diamicron Darya Varia-Servier Tablet Strip tidak mempunyai lambang Servier Mempunyai lambang Servier
Kemicetine Carlo Erba Kapsul Warna kapsul buram (hijau-putih) Warna kapsul terang
Fansidar Roche Tablet Kemasan lama Kemasan baru
Kalmethason Kalbe Vial Isinya plasebo Isi bahan asli
Rantin Kalbe Tablet Tak ada hologram dan tanggal kedaluwarsa Ada hologram
Tarivid 200 Kalbe Tablet Tidak memakai hologram Hologram
Tarivid 400 Kalbe Tablet Tidak memakai hologram Hologram
Apisate Sunthi – Wyeth Tablet Yang dipalsukan adalah Apisate impor dalam kemasan botol Memakai strip
Daonil Hoechst Tablet Tidak memakai exp. date pada blister dan tidak berhologram (hijau) Hologram berubah warna blister (merah)
Dumocycline Dumex Kapsul Warna kapsul buram Warna cerah
Amoxsan Sanbe Kapsul Semua sama dengan aslinya, hanya ukuran huruf (font) lebih besar

Dextamine Phapros Tablet Yang dipalsukan kemasan lama (strip) Kemasan baru blister
Voltaren Novartis Tablet Yang dipalsukan adalah Voltaren impor

 

Actifed Glaxo Wellcome Tablet Kemasan lama strip (silver) Kemasan baru blister (cokelat)
Erytrocin Abbot Kapsul Cetak warna kemasan buram (jingga) Warna kemasan terang
Profertil Kalbe Tablet Hologram tidak mengkilap Hologram
Thyamicin 500 Interbat Kapsul Strip kemasan lembek Hologram dan sering berganti warna
New Skelan Medifarma Captab Cetakan buram Cetakan jelas
Gestanon Organon Tablet Kemasan strip lembek Tidak diproduksi lagi
Byropiron Bima Mitra Captab

 

Pabrik telah ditutup
Himagen Hima Captab

 

Pabrik telah ditutup
Hiralgin Hima Captab

 

Pabrik telah ditutup
Hiflucol Hima Tablet

 

Pabrik telah ditutp
Novadryl Nova Vial

 

Pabrik tidak terdaftar
Novamidon Nova Vial

 

Pabrik tidak terdaftar
Chloramphenicol Nova Sirup

 

Pabrik tidak terdaftar
Boor Water Para Farmasi Cairan

 

Pabrik tidak terdaftar
Alkohol 70% Para Farmasi Cairan

 

Pabrik tidak terdaftar
PK Para Farmasi Serbuk

 

Pabrik tidak terdaftar
Salicyl Talk Tidak ada Bedak

 

Nama pabrik tidak ada
Cetalgin Soho Tablet Kemasan strip lembek Strip keras
Codein Kimia Farma Tablet Tablet lembek, logo tak jelas

 

Bahan: BPOM dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia

Pemalsuan Secara Manual (nonpabrikasi)

Nama Obat

Pabrik

Sediaan

Palsu

Asli

Diazepam 2 OGB Tablet Tablet tidak memakai logo KF atau INF dan lembek Memakai logo dan keras
Diazepam 5 OGB Tablet Tablet tidak memakai logo KF atau INF dan lembek Memakai logo dan keras
Clabat 500 Interbat Captab Kandungan tidak sesuai (trimoxsul forte atau lainnya) Mengandung co-amoksiklav
Clavamox 500 Kalbe Captab Kandungan tidak sesuai (primazole forte atau lainnya) Mengandung co-amoksiklav dan ada bentuk sediaan strip
Cefobid Pfizer Serbuk Injeksi Kandungan serbuk injeksi generik yang murah

 

Broadced Kalbe Serbuk Injeksi Kandungan serbuk injeksi generik yang murah

 

Luminal 30 OGB Tablet Tablet tidak memakai logo KF atau INF dan lembek Memakai logo dan keras
Claforan Hoechst Serbuk Injeksi Kandungan serbuk injeksi generik yang murah

 

Taxegram Sanbe Serbuk Injeksi Kandungan serbuk injeksi generik yang murah

 

Nicholin 250 Takeda Ampul Mengganti angka 100 menjadi 250

 

Dopamin DBL-Tempo Ampul Isinya alinamin (mengganti stiker)

 

Albumine Dexa-Centeon Botol Mengisi dengan cairan asam amino, misalnya aminovel

 

Bahan: BPOM dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus