Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Atas Buaian Merindukan Fiji

Pemilu Fiji berakhir pekan silam. Siapa pun pemimpin yang terpilih akan menghadapi konflik antaretnis, yang penyelesaiannya memerlukan kompromi politik.

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang wanita muda berjuntai di hammock yang terentang di antara dua pohon kelapa. Tangan kanannya memegang segelas sari buah yang baru separuh diminum. Sang nona menyandarkan tubuhnya yang berbalut bikini dengan santai di atas "buaian gantung" tersebut, sembari tersenyum lebar. Beberapa meter di depannya, ombak berdebur di atas pasir putih yang membentang hingga ke deretan pohon nyiur yang berjejer di sepanjang pantai. Pemandangan ini—yang tipikal menggambarkan nikmatnya hidup di Fiji—sudah sulit ditemukan beberapa bulan terakhir di pantai-pantai yang melingkari negeri kepulauan itu.

Pertikaian politik dan sosial dari dua etnis besar—penduduk asli Fiji dan penduduk keturunan India—membuat para turis, yang selalu merindukan pantai-pantai Fiji yang eksotis, buru-buru kabur ke tempat liburan lain di kawasan Pasifik. Sekitar 40 persen turis asing menjauhi Fiji selepas kudeta yang terjadi bulan Mei tahun lalu. Ketika itu, Mahendra Chaudry, perdana menteri Fiji keturunan India, menang pemilu. Namun, George Speight, seorang eks juragan kayu mahoni, mengudeta Chaudry. Ia menyekap sang Perdana Menteri beserta 17 orang menterinya selama 56 hari. Tindakan Speight itu mendapat kecaman dunia inter-nasional. Tapi sebetulnya ia tidak sendirian.

Speight mewakili suara sebagian besar penduduk asli yang tak rela Fiji dipimpin perdana menteri berdarah "asing". Mantan pengusaha itu menolak jika Fiji dijadikan model proses demokrasi. Menurut dia, apa yang terjadi di Fiji merupakan proses demokrasi yang salah karena membuat publik Fiji ditindas oleh kalangan minoritas. Sekitar 44 persen penduduk Fiji adalah keturunan India. Namun, mereka menguasai sekitar 84 persen aset ekonomi. Kecemburuan ekonomi ini kemudian merambat ke politik.

Sepanjang pekan lalu, suasana di Fiji memanas lagi tatkala Chaudry kembali bertarung dengan Speight dalam pemilu. Speight, yang kini ganti disekap oleh Chaudry dalam penjara—dengan tuduhan melakukan kudeta—mengharapkan dukungan pada lebih dari 50 persen penduduk asli. Penghitungan suara dimulai pada Sabtu pekan lalu. Hingga laporan ini ditulis, kedua pihak masih sama-sama yakin menang pemilu dan menguasai parlemen.

Pembagian kursi di parlemen Fiji dibuat berdasarkan ras. Jumlahnya sudah tetap (lihat tabel Adu Balap di Parlemen). Jadi, untuk bisa menang, kedua pihak harus bisa memikat para pemberi suara dari masyarakat non-ras. Chaudry sudah sesumbar bahwa Partai Buruh, yang mendukungnya, bakal menyapu suara dari kelompok non-ras. Dari balik jeruji penjara, Speight membalas optimisme Chaudry dengan tak kalah galaknya. Ia yakin, masyarakat Fiji akan setia padanya dan ia akan meninggalkan bui dengan panji kemenangan. Dalam salah satu wawancaranya dengan kantor berita BBC, Speight menegaskan, "Saya bisa menjadi apa pun yang dikehendaki para pendukung saya."

Pemilu kali ini kembali diwarnai oleh suasana rasis. Dalam debat politik yang dilangsungkan seminggu menjelang pemilu, pemimpin pemerintahan sementara Fiji—dalam masa demisioner—Laisena Qarase, bersikap amat kasar. Dalam debat yang disiarkan secara langsung oleh televisi itu, ia menjawab setiap pertanyaan dalam bahasa daerahnya, walaupun pertanyaan itu diajukan dalam bahasa Inggris oleh tokoh-tokoh Fiji keturunan India. Pada tingkat akar rumput, konflik antaretnis tidak setajam di level elite politik.

Seorang wanita yang mencoblos di daerah Lovu menyatakan harapannya agar kedua etnis segera bersatu kembali. Tapi banyak orang bersikap apatis. Mereka malas untuk antre berjam-jam di tengah terik matahari, sebelum masuk ke kotak suara. Belum lagi partai yang mencapai jumlah 18 membuat mereka bingung. Alhasil, banyak warga memilih abstain. Sampai-sampai, harian tertua di negeri itu, Fiji Times, menulis dalam editorialnya: "Jika Anda tidak mencoblos, jangan marah-marah di kemudian hari."

Pemenang duel politik di Fiji akan ditentukan pekan ini. Siapa pun yang terpilih akan mewarisi problem lama puluhan tahun terakhir: konflik etnis Fiji-India. Kompromi politik untuk mengatasi konflik ini mestinya bisa dilakukan melalui parlemen ataupun komposisi kursi di kabinet. Dan pemimpin Fiji yang baru memang perlu mengambil langkah itu. Terutama, untuk menggerakkan kembali roda ekonomi negeri itu, yang macet sejak kudeta pada tahun silam.

Ignatius Haryanto (Fiji Times, BBC, AFP)


Adu Balap di Parlemen

No. Perwakilan Masyarakat Jumlah kursi
1 Asli Fiji 23
2 India-Fiji 19
3 Pulau Rotuma 1
4 Non-ras 25

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus