Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Joko <font color=#006699>untuk Djoko</font>

Yayasan yang didirikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto jadi sorotan. Menggalang dana dari ratusan pengusaha, yayasan itu meraup seratusan miliar pada awal pembentukannya. Pengusaha properti, pertambangan, perminyakan, dan perhotelan ikut menyorongkan dana. Dianggap politis karena pendirinya orang-orang dekat Yudhoyono.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU Majulah Negeriku karangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didendangkan malam itu. Tantowi Yahya penyanyinya. Taman kolam di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, yang diberi atap tenda, dipenuhi pejabat, pemimpin perusahaan negara, dan pengusaha pada Jumat malam, 29 Februari 2008, itu. Mereka duduk melingkar di meja-meja bundar.

”Dari panggung saya tidak bisa melihat satu per satu, tapi banyak sekali yang datang,” kata Tantowi kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Dua ratusan saya kira ada.” Penyanyi keroncong Sundari Soekotjo, pendendang lagu Mandarin, dan artis senior Dewi Yull pun menyanyikan lagu-lagu ciptaan Yudhoyono.

Bulat-bulatkan tekad…
Satu-satukan langkah…
membangun negeriku
walau badai sering menghadang, jangan sia-siakan…

Begitu antara lain lirik Majulah Negeriku, yang dinyanyikan Tantowi. Presiden menyaksikan pergelaran dua jam malam itu ditemani Ani Yudhoyono.

Bertajuk ”Malam Kesetiakawanan dan Kepedulian”, acara itu menandai berdirinya yayasan dengan nama sama. Empat tokoh menjadi pendirinya: Marsekal Djoko Suyanto—ketika itu baru saja mengakhiri jabatannya sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia—lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kepala Kepolisian Jenderal Sutanto, serta Ketua Kamar Dagang dan Industri M.S. Hidayat.

Djoko Suyanto mengatakan pergelaran itu bukan buat pengumpulan dana. ”Itu hanya acara untuk berterima kasih kepada para donatur,” kata Djoko, yang kini menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Ucapan terima kasih disampaikan Yudhoyono menjelang akhir acara. Dalam sambutannya, ia berujar, ”Terima kasih kepada para artis dan terlebih-lebih kepada saudara-saudara saya, para pemimpin dunia usaha dan dermawan. Mari kita mempererat barisan, membangun negeri ini.”

Kini, hampir dua tahun setelah diresmikan, Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian mengundang sorotan. Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang pertama kali mengendus perkara ini. Ketika itu Maret 2008 Komisi tengah menelusuri kasus suap yang dilakukan Artalyta Suryani—orang dekat pengusaha yang terlibat utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sjamsul Nursalim—kepada jaksa Urip Tri Gunawan. Melalui sejumlah pengakuan yang dikumpulkan Komisi, diketahui ada pengiriman uang dari Joko Tjandra kepada yayasan Djoko Suyanto. Cerita tentang yayasan ini belakangan dimuat peneliti George Junus Aditjondro dalam Membongkar Gurita Cikeas—buku yang lebih pantas disebut kliping berita media massa. Yayasan itu dituduh menjadi jalan Yudhoyono buat menggalang dana politik, seperti yang dilakukan penguasa Orde Baru.

l l l

Ini malam penting bagi Artalyta Suryani, pengusaha asal Lampung yang dikenal dekat dengan konglomerat Sjamsul Nursalim. Sorenya, pada 29 Februari 2008 itu, ia baru saja tiba dari Bandar Lampung. Ia lalu menuju tempat tinggalnya di Jalan Terusan Hang Lekir, Simprug, Jakarta Selatan. Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi menungguinya di luar rumah.

Perempuan yang lebih dikenal sebagai Ayin itu telah dicurigai. Menurut sumber Tempo, hubungan intensifnya dengan para pejabat kejaksaan menjadi perhatian. Kejaksaan ketika itu sedang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang antara lain menyangkut nasib Sjamsul Nursalim, bekas bos Bank Dagang Nasional Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi pun mengerahkan segala peranti buat memantau aktivitas kejaksaan ini. Termasuk membuntuti Ayin.

Menjelang petang, menurut sumber lain, Ayin menghubungi besan perempuannya, istri bos Grup Pakuwon, Alexander Tedja. Mereka berjanji berangkat bersama menuju Hotel Dharmawangsa. Ayin kemudian juga menelepon istri seorang pejabat tertinggi di kepolisian, membuat janji yang sama. Terakhir, ia menelepon Joko Tjandra, pengusaha pemilik Grup Mulia. ”Mereka berjanji berangkat bersama-sama,” katanya. Sehabis menelepon, Ayin menuju salon.

Seorang petugas yang membuntutinya mengatakan Ayin berbusana merah malam itu. Karena hadir sedikit terlambat, ia duduk di barisan meja belakang. Grand Ballroom Garden Dharmawangsa penuh pengusaha. Ada pengusaha perminyakan, properti, perbankan, juga pertambangan. Sampai malam itu, menurut Djoko, terkumpul dana hingga Rp 100 miliar.

Layaknya pengumpulan dana, para pengusaha baru menyampaikan komitmen. Duit baru digelontorkan beberapa hari kemudian. Satu di antaranya dilakukan Viady Sutojo, Direktur Utama PT Mulia Graha Tatalestari, bagian dari grup usaha milik Joko Tjandra. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, ia mengaku menyerahkan US$ 1 juta langsung kepada Djoko Suyanto pada 4 Maret 2008. Djoko Suyanto kepada Tempo membantah keterangan ini. ”Saya justru yang melarang sumbangan diberikan tunai, harus melalui rekening,” ujarnya.

Viady, 53 tahun, menarik uang sebulan lebih sebelum pergelaran di Dharmawangsa. Tepatnya pada 25 Januari 2008, ketika ia membeli banknote US$ 1,012 juta di BII Cabang Juanda, Jakarta Pusat. Sehari sebelumnya, ia memerintahkan Enang Hidayat, anggota staf keuangan perusahaan, mentransfer duit dari BRI Cabang Gatot Subroto sebesar Rp 9,36 miliar atas nama perusahaan-perusahaan di bawah Grup Mulia: PT Mulia Persada Pacific, PT Sanggar Mustika Indah, PT Mulia Persada Tata Lestari, dan PT Mulia Cemerlang Dian Persada.

Menurut Viady, sumbangan diberikan berdasarkan proposal yang diajukan Yayasan pada Februari 2008—ini artinya ia menarik dana sebelum ada proposal. Ia mengaku diundang pada malam peresmian Yayasan, tapi tidak bisa hadir. Viady juga mengatakan pemberian sumbangan tanpa setahu Joko Tjandra.

Tempo belum mendapatkan konfirmasi dari Viady. Didatangi di tempat tinggalnya, kawasan Joglo, Jakarta Barat, ia tidak berada di rumah. Pembantu rumahnya mengatakan ia sedang bermain golf dan ”tidak tentu kapan pulangnya”. Sang pembantu menolak menerima surat permintaan wawancara. Tempo lalu menitipkan surat itu ke ketua rukun tetangga setempat. Namun, hingga akhir pekan lalu, surat belum mendapat tanggapan.

Awalnya, duit dari Grup Mulia ini dicurigai berkaitan dengan suap Ayin buat jaksa Urip Tri Gunawan. Pada 2 Maret 2008, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi membuntuti sang jaksa, yang dalam pembicaraan telepon mengatakan hendak mengambil ”enam plus” di rumah Ayin. Begitu Urip ke luar rumah, petugas menghentikan mobilnya.

Di dalam mobilnya ditemukan dus berisi tumpukan uang kertas US$ 100. Semua berjumlah US$ 660 ribu. Urip dan Ayin segera ditahan. Urip belakangan diganjar hukuman 20 tahun penjara. Adapun Ayin dihukum lima tahun penjara. Kini dia menghuni Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Tempo mencoba menghubungi pengacara Ayin, O.C. Kaligis, untuk meminta konfirmasi ihwal kehadiran kliennya di Dharmawangsa, tapi panggilan ke telepon seluler Kaligis hanya disahuti nada tunggu tanpa jawaban. Pesan pendek yang dikirim juga tak berbalas.

Komisi Pemberantasan Korupsi curiga karena pencairan duit Grup Mulia berdekatan dengan ”perjalanan” uang suap. Tapi aliran duit ternyata berbeda muara. Satu ke arah Bulungan, kantor kejaksaan. Duit lainnya menggelontor ke arah Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. ”Pak Bibit mengatakan kepada saya, dana ini tak bermasalah, case closed,” kata Djoko Suyanto. Ia merujuk Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto.

l l l

JUNI 2008, Djoko Suyanto bermain golf dengan belasan rekannya sesama alumnus 1973 Akademi Angkatan Bersenjata di Padang Golf Emeralda, Cimanggis, Jawa Barat. Di antaranya Marsekal Herman Prayitno, Laksamana Madya Imam Zaki, juga sejumlah perwira tinggi kepolisian. Mereka juga teman seangkatan Yudhoyono.

Ketika itu, menurut Djoko, ia menyampaikan bahwa Yudhoyono hendak maju lagi menjadi calon presiden. Ia mengatakan perlunya membentuk satu ikatan. Mereka setuju. Usul nama pun diajukan. Di antaranya Emerald, mengambil nama padang golf itu. ”Tapi kok susah banget (melafalkannya),” tuturnya.

Akhirnya, kata Djoko, kelompok ini diberi nama Echo, sandi yang biasa digunakan Angkatan Udara buat menyebut ”E”, huruf awal Emeralda. Di luar lapangan golf, para alumnus Akademi 1973 ini memang rajin berkumpul. Mereka menamai paguyuban mereka Cadaka Dharma. Para anggotanya memanggil Yudhoyono dengan sebutan ”Ki Lurah”.

Djoko mengatakan Tim Echo hanya kelompok pensiunan yang terlalu dibesar-besarkan. Tim ini juga bukan organisasi, katanya. Pekerjaannya hanya ”getok tular”—menyampaikan dari orang per orang—buat mendukung Yudhoyono pada pemilihan presiden 2009. ”Ini hanya solidaritas alumni,” tuturnya.

Toh, Tim Echo memegang peran penting di tim pemenangan Yudhoyono. Djoko ditempatkan menjadi wakil ketua umum tim kampanye nasional SBY-Boediono. Dalam daftar yang ditayangkan situs resmi Partai Demokrat, tertulis di belakang namanya Rel-E, kependekan dari Echo.

Sepak terjang Tim Echo juga membuat tim lain pendukung Yudhoyono iri. Selain memiliki akses lebih luas ke calon presiden, menurut seorang petinggi relawan Tim Sekoci, yang banyak diisi alumnus Akademi Militer 1970, Tim Echo dibekali ”amunisi” alias dana lebih banyak. ”Saya dengar, merekalah yang bertugas menyalurkan dana buat para saksi sehari menjelang pemilihan presiden,” kata seorang petinggi Sekoci. Setiap saksi diberi upah Rp 100 ribu sehari.

Satu Djoko di satu masa dengan dua posisi yang berbeda: Yayasan Kesetiakawanan dan tim pemenangan Yudhoyono. Seorang anggota Tim Echo mengatakan dua posisi itu bukannya terpisah sama sekali. Menurut dia, sejak awal, Yayasan masuk ke kantong-kantong calon pemilih. Mereka menggelar kegiatan-kegiatan sosial, sesuai dengan namanya. Belakangan, setelah kegiatan Yayasan selesai, baru Partai Demokrat masuk. ”Ibarat perang, Yayasan merupakan pasukan perintis sebelum Partai Demokrat menggarap calon pemilih,” ujarnya.

Dimintai konfirmasi soal ini, Djoko Suyanto mengatakan informasi itu tidak logis. Menurut dia, semua kegiatan Yayasan Kesetiakawanan dilakukan berdasarkan proposal. ”Kecuali bantuan sosial buat daerah bencana,” katanya. Yahya Sacawirya, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, juga membantah. ”Yayasan tidak menjadi tim kampanye nasional SBY-Boediono,” katanya.

Dua tahun setelah Yayasan berdiri, empat pendirinya kemudian mendapat ”tempat yang layak” dalam kabinet Yudhoyono-Boediono. Djoko ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Purnomo digeser menjadi Menteri Pertahanan, Sutanto dipercaya sebagai Kepala Badan Intelijen Negara, dan Hidayat diangkat menjadi Menteri Perindustrian.

Dari Grand Ballroom Garden, Hotel Dharmawangsa, malam itu terdengar alunan lagu Gotong Royong Mbangun Negoro, yang juga dikarang Yudhoyono.

Poro konco aku atur pirso
Akeh goda aneng ngalam ndonya
Kito ojo podo neko-neko
Nglanggar tuntunan agomo

Budi Setyarso, Budi Riza, Yandi M. Rofiyandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus