Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN lalu Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian tiba-tiba menggelar konferensi pers. Adalah Kepala Hubungan Masyarakat Rully Novidi Amrullah yang sibuk menelepon satu per satu wartawan di Jakarta agar hadir di kantor Ruko Grand Panglima Polim, Kaveling 70, Jakarta itu. ”Kami mulai pukul lima sore nanti. Datang, kan?” kata Rully melalui telepon kepada Tempo.
Selama berdiri, Yayasan Kesetiakawanan belum pernah sekali pun menggelar jumpa pers. Peluncuran Yayasan di pengujung Februari 2008, yang digelar secara meriah di Hotel Dharmawangsa, pun berlangsung jauh dari wartawan. Kegiatan lain Yayasan hanya ditampilkan dalam situs http://www.ykdk.or.id. Hari itu undangan konferensi pers menjadi istimewa.
Rupanya, buku George Junus Aditjondro Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century membuat pengurus Yayasan Kesetiakawanan gerah. Buku setebal 183 halaman itu menuduh yayasan ini sebagai kendaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendapatkan dukungan politik dan ekonomi.
Karena dikelola oleh orang-orang dekat Presiden, menurut George, Yayasan tidak sulit mendapatkan sumbangan. Tertulis dalam buku itu, mereka mendapat ”kucuran dana US$ 1 juta dari Joko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI”. Orang dekat Yudhoyono itu adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat.
Dalam konferensi pers sore itu, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Arwin Rasyid membantah tuduhan George, termasuk kecurigaan bahwa mereka telah menekan pengusaha agar menyumbang. Arwin bahkan mengatakan tidak pernah tahu siapa saja penyumbang mereka. Soalnya, semua sumbangan langsung masuk ke rekening Yayasan. Menurutnya, dana Yayasan diaudit oleh Deloitte Touche Tohmatsu, kantor auditor sekelas PricewaterhouseCoopers dan Ernst & Young, yang berpusat di Swiss.
Dalam wawancara dengan Tempo di kantornya Rabu pekan lalu, Djoko Suyanto menegaskan mereka baru tahu soal sumbangan Joko Tjandra dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan lagi-lagi dia membantah hubungan yayasan itu dengan Yudhoyono. ”Itu ide saya, Pak Purnomo, Pak Hidayat, dan Pak Sutanto,” katanya.
Kala itu September 2007, tiga bulan menjelang Djoko pensiun dari jabatan Panglima Tentara Nasional Indonesia. Dalam sebuah pertemuan dengan Sutanto, Purnomo, dan Hidayat, menurut Djoko, ketiga temannya itu bertanya apa yang akan dia lakukan setelah pensiun. ”Saya jawab, pensiun ya pensiun aja,” katanya. Tapi kemudian mereka sepakat mendirikan sebuah yayasan—mulanya tujuannya sederhana: membantu tokoh seni dan mantan atlet yang kurang beruntung.
Setelah Djoko resmi pensiun pada Januari 2008, yayasan mereka bentuk. Mereka mengundang pengusaha kenalan masing-masing untuk jadi penyumbang. ”Saya punya teman pengusaha, demikian pula yang lain,” cerita Djoko. Tapi dia menolak menyebut nama.
Belakangan Djoko didapuk menjadi Ketua Dewan Pembina Yayasan Kesetiakawanan. Anggotanya Sutanto, Purnomo, dan Hidayat. Mereka meminta Arwin Rasyid, Direktur Utama Bank CIMB Niaga, menjadi ketua dewan pengurus. Sebagai bendahara umum, ditunjuk Dessi Natalegawa, bankir yang juga kakak kandung Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa.
Komitmen sumbangan mengalir deras. Akhir Februari 2008, Yayasan diperkenalkan dalam sebuah pentas seni di Hotel Dharmawangsa. Yudhoyono hadir malam itu. Dalam sambutannya, Presiden menyampaikan terima kasih kepada pengurus Yayasan, pengusaha nasional, serta para dermawan yang telah menyumbang Yayasan Kesetiakawanan.
Menurut Sekretaris Umum Nenny Sri Utami, hingga akhir tahun lalu, Yayasan telah menerima sumbangan sekitar Rp 100 miliar. Lebih dari Rp 30 miliar sudah dipakai buat membiayai berbagai kegiatan sosial dua tahun terakhir. Sumbangan yang telah mereka salurkan bervariasi—dari sekadar perlengkapan doa dan bahan makanan hingga uang miliaran rupiah.
Mula-mula pengurus Yayasan aktif mencari ”sasaran” untuk dibantu. ”Biasanya dari berita di koran. Kalau ada yang perlu dibantu, ya kami datangi,” kata Nenny. Tapi lama-kelamaan, terutama setelah memiliki situs sendiri, mereka mulai menerima banyak proposal permintaan bantuan. Kata Nenny, selalu ada survei sebelum mereka memutuskan menerima atau menolak sebuah proposal. ”Soalnya, ternyata banyak sekali proposal yang fiktif, atau dibesar-besarkan,” katanya. Misalnya, pernah ada yang minta sumbangan 40 bangku untuk satu kelas. Nyatanya, setelah didatangi, kelas yang dimaksud cuma cukup untuk 15 kursi.
Setiap hari Senin, semua proposal yang disurvei serta usul lain dibahas. ”Kalau sudah cocok, ya saya acc,” kata Nenny mengenai prosedur pemberian bantuan. Meski demikian, Nenny mengaku, untuk bantuan yang lebih besar dari Rp 50 juta, dia selalu minta persetujuan Arwin Rasyid.
Sumbangan terbesar antara lain diberikan kepada Ikatan Atlet Nasional Indonesia untuk pembinaan atlet angkat besi, bulu tangkis, atletik, dan karate. Jumlahnya Rp 5 miliar atau setara dengan bantuan Yayasan untuk gempa Padang beberapa waktu lalu.
Tahun lalu, sejak Januari, Yayasan Kesetiakawanan telah melakukan setidaknya 122 kegiatan sosial dan sumbangan. Salah satu penerima sumbangan, menurut situs Yayasan Kesetiakawanan, adalah Panti Asuhan Anak Bayi Sehat Muhammadiyah Bandung. Panti yang terletak di Jalan Purnawarman ini unik karena memprioritaskan perawatan bayi cacat. Penghuninya datang dari seluruh penjuru Indonesia. Saat ini anak asuhnya berjumlah 129, berasal dari Bandung, Jakarta, Padang, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, bahkan Papua.
Tempo berkunjung ke panti ini Kamis sore pekan lalu. Di ruang tamu tergantung foto Yudhoyono bersama pengurus panti di Taman Mini Indonesia. ”Itu dibuat saat kami menerima penghargaan dari Menteri Sosial pada perayaan Hari Anak Nasional tahun lalu,” kata pemimpin panti, Yanto Mulya Pibiwanto. Menurut Yanto, Yudhoyono pernah dekat dengan panti ini. Pada 1980-an, ketika bertugas di Bandung, dia sering mengunjungi anak-anak di sana.
Tapi Yanto mengaku tak tahu Yayasan Kesetiakawanan dikelola orang dekat Presiden. Soalnya, dia selalu berhubungan dengan Nenny, yang tak pernah menyinggung soal pemilu atau Yudhoyono. ”Bu Nenny pertama kali berkunjung Lebaran tahun lalu. Setelah itu, kami disumbang dua kali,” kata Yanto. Pertama dua mesin cuci Electrolux, berikutnya beberapa puluh pakaian seragam sekolah dan sepatu.
Philipus Parera, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo