Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang adalah hari-hari gelap. "Terlalu sakit untuk dikenang," kata Tran van Thac. Mata lelaki ceking berusia 64 tahun penduduk Duang Nguyen Hong, Hanoi, Vietnam, ini menerawang jauh. "Dua juta penduduk Vietnam mati pada hari-hari itu," katanya lirih.
Sebuah siang dua pekan lalu, Tempo diundang makan oleh keluarga Thac. Rumah bertingkat empat yang mungil, kediaman keluarga Thac, terasa hangat oleh sambutan tulus dari tuan rumah. "Silakan, kami bangga bisa menjamu orang Indonesia," kata Thac, "Kami tahu, Uncle Ho (Presiden Ho Chi Minh) berteman dengan Sukarno, your first president." Nyonya Thac menyuguhkan segelas ryou segar, minuman beralkohol khas Vietnam yang dibuat dari fermentasi beras. "Ini buatan tangan saya sendiri," tuturnya.
Lalu, mengalirlah perbincangan yang hangat. Tentang doi moi, tentang anak muda zaman sekarang yang makin meng-Amerika, juga tentang korupsi yang kian merajalela. "Negara kita punya banyak persamaan," kata Tran Viet Thanh, 33 tahun. Putra satu-satunya Thac inilah yang berperan sebagai penerjemah dan perantara perbincangan.
Perbincangan kemudian bermuara pada kenangan masa lalu, kenangan tentang hari-hari ketika perang Vietnam Utara-Vietnam Selatan berkecamuk. "Waktu itu saya masih pemuda 27 tahun," kata Thac, "Saya berjuang karena tidak mau tanah nenek moyang saya jatuh ke tangan Amerika Serikat."
Thac, seorang insinyur teknik, segera masuk ke lapisan atas Partai Komunis Vietnam yang dipimpin Ho Chi Minh. Dia bergabung dengan tentara gerilyawan Vietcong, melawan Vietnam Selatan yang didukung penuh oleh Amerika Serikat. Demi keamanan, Thac merahasiakan statusnya sebagai tentara Vietcong. "Keluarga, bahkan istri dan anak, serta orang-orang sekitar rumah tidak ada yang tahu. Mereka hanya tahu saya pegawai negeri yang sering bepergian ke luar kota," tuturnya kepada Tempo.
Sebagai kapten, Thac ikut serta bertempur keluar-masuk rimba raya. Agar tidak ketahuan musuh, lokasi persembunyian selalu dibuat berubah. "Kami tidak pernah lama berada di suatu tempat. Paling satu-dua jam, maksimum satu hari, di satu tempat, lalu kami berpindah lagi," Thac mengenang.
Selain terus bergerak, berbagai strategi pun digelar demi menghindari musuh. Kode-kode khusus, mulai dari alas kaki, warna baju, sampai cara berkomunikasi, diatur partai. "Cara makan, pegang sumpit pun diseragamkan," kata Thac. Dengan cara ini, setiap infiltrasi dari pihak Selatan bakal mudah ketahuan. Suatu ketika, misalnya, ada pasukan Selatan yang diterjunkan masuk Hanoi. Para penyusup ini langsung ketahuan karena mereka mengenakan sepatu, sementara para Vietcong tidak beralas kaki.
Tran Viet Thanh, anak Thac, kemudian mengisahkan satu peristiwa yang tak terlupakan. Pihak Selatan dan Amerika menjamin tidak bakal ada pengeboman pada hari Natal, 25 Desember 1972. Tapi jaminan ini ternyata tidak terbukti. Pesawat tempur B-52 dengan gencar menjatuhkan bom ke Kota Hanoi. Tentu saja, semua penduduk panik kebingungan. "Waktu itu saya baru berumur 1 tahun. Saya bisa selamat karena ibu menindih tubuh saya," kata Tran Viet Thanh. "Syukurlah, ibu hanya pingsan dan selamat dari pengeboman." Thanh menambahkan, pengeboman itu menewaskan sedikitnya 270 penduduk Hanoi. "Kakek, paman, keponakan, kawan saya termasuk yang terluka atau cacat gara-gara bom laknat Amerika," kata Thac.
Setiap cerita tentu punya dua sisi. Perang Vietnam pun begitu. Jenderal Nguyen Cao Ky, mantan Perdana Menteri Vietnam Selatan (1963-1965), memiliki cerita yang lain. Dalam bukunya Buddha's Child: My Fight to Save Vietnam, Cao Ky menegaskan perjuangannya melawan komunisme. "Kami bukan boneka Amerika. Perjuangan ini demi menyelamatkan negeri kami dari komunisme," demikian ia menulis.
Perang memang sudah menjadi masa silam di negeri itu. Dan perbedaan paham perlahan-lahan terjembatani. Vietnam Utara-Vietnam Selatan pun telah melebur dengan berlalunya waktu. "Kami tidak mendendam pada orang Amerika," kata Tran Viet Thanh. Dia menambahkan, sekarang ini justru penting untuk berteman dengan orang-orang Amerika demi peningkatan taraf ekonomi Vietnam.
Sayang, perbincangan tak berlanjut karena Nyonya Thac merasa tak nyaman. "Sudah, sudah, tolong jangan bicara perang lagi, ya. Saya lebih suka menyimpan kenangan itu untuk diri sendiri," ujarnya. Hari-hari gelap itu memang masih terlalu sakit untuk dikenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo