Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Dua Pemuda dari Shanghai

Dua pelukis generasi paling muda Cina berpameran di Galeri Edwin, Kemang. Temanya Human Landscape, mencerminkan perubahan yang cepat di Beijing dan Shanghai.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua wanita telanjang duduk berpangkuan di dekat jendela rumah susun. Tatap mata mereka nanar memandang ke luar: panorama gedung-gedung tinggi sesak berdempetan. Paras mereka pucat. Tubuh mereka seperti tak sehat.

Sebuah kota selalu mengalami mimikri. Semenjak Deng Xiaoping pada 1992 memfatwakan bahwa ekonomi Cina tidak boleh berjalan seperti gadis dengan kaki diikat, kota-kota di Cina berubah teramat pesat dibandingkan dengan metropolitan lain di dunia. Majalah Time menyebut Beijing dan Shanghai kini paling ambisius memenuhi kawasan urbannya dengan aneka bangunan berarsitek paling ultramodern dan visioner.

Apalagi tatkala disepakati Olimpiade 2008 bakal dilaksanakan di Beijing. Pemerintah Cina meneken kontrak dengan biro-biro arsitek terkenal dunia untuk memodernkan bandara, menara, serta kompleks pertelevisiannya. Sekarang, misalnya, dibangun Gedung Opera Nasional di dekat lapangan Tiananmen yang berbentuk kubah-kubah kaca futuristik, yang diharapkan selesai menjelang Olimpiade. Atau stadion nasional bakal didesain bermodel sarang burung. Kini panorama Beijing, yang pada masa ”komunis kuno” monoton, seragam, bakal penuh landmark kontemporer.

Dan Tang Shu, 28 tahun, serta Zhong Shan, 33 tahun, dua orang muda, membaca perubahan eksplosif yang terjadi di kotanya dengan perspektif muram dan satir: Beijing dan Shanghai. Mereka tidak merekam dari sisi fisik, juga tak menampilkan gambar dengan nada analis dan kritis seperti para pelukis generasi sebelumnya, Fang Li Jun, Thang Zi Gang, Wang Guangyi, Gio Wei, yang pernah berpameran di Galeri Nasional, Jakarta. Mereka menukik ke dalam, mengangkat kegamangan psikologi warga. Gaya visual mereka juga tak seperti gaya seniornya yang banyak mengambil spirit poster—karena mereka sendiri tak mengalami menjadi pelukis propaganda.

”Saya kesepian, Shanghai menjadi sangat berisik,” kata Tang Shu. Ia menaruh perhatian pada efek lingkungan yang berubah. Lukisannya berupa orang-orang yang ditampilkan dengan gesturkulasi yang aneh. Mereka seperti menguap, menggeliat, tidur tak nyenyak, termenung, seolah tak tahu apa yang harus dikerjakan. Mereka seolah tinggal dalam ruangan yang sumpek, menekan. Dua wanita telanjang di atas dapat kita bayangkan hidup dalam blok-blok rumah susun murah, bukan di apartemen mewah para profesional muda yang lengkap dengan pelbagai fasilitas.

Sementara Zhong Shan tampak seperti seorang perenung kehidupan. Ia mulanya tinggal di Beijing namun kemudian pindah ke Shanghai. Lukisannya bertolak dari kegiatan sehari-hari. Kadang ia dingin, kadang jenaka. Lihat seri Pretty Woman. Ini sekumpulan wanita—dengan rambut pendek di meja permainan kartu. Mulai mahyong (kartu Cina) sampai bridge: Jack, Queen. Wajah para perempuan itu sakit, tirus. Tak ada semangat. Paras-paras mayat. ”Saya tersentak, maka saya mengundang Zhong Shan kemari,” kata Edwin, yang bertemu Zhong Shan di Beijing.

Yang menawan adalah seri Beijingnese. Kanvasnya bergambar sosok-sosok warga Kota Beijing yang pada bagian dadanya ditempeli plastik-plastik sungguhan hasil rontgen. Pada rontgen itu ia menorehkan simbol-simbol seperti Microsoft. Ini refleksinya, betapa Internet telah meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, seolah bila disorot isi dada penduduk Beijing penuh software. Beijing, seperti pernah ditulis seorang pakar, telah meninggalkan ajaran Mao. Semangat kesederhanaan, pengorbanan, kekeluargaan, semangat altruistik, sudah lenyap berganti dengan se-mangat kompetisi, semangat mengalahkan, semangat individual, semangat globalisasi. Ba-nyak kini warga memilih tinggal sendiri di flat hanya ditemani anjing. Tak peduli dengan keluarga.

Yang jenaka sekaligus getir adalah seri yang menampilkan sosok-sosok laki-laki tua berkostum ”revolusi kebudayaan”. Inside Orthopedics, seorang tua duduk di kursi tukang cukur. Tertawa, ketika kupingnya dikilik sampai tembus—seolah otaknya tengah dipermak. Di hadapannya capung-capung elektronik beterbangan. Lalu Uncle Man En’s Anatomy Class. Dua orang berpakaian pekerja pabrik—serius, mengutak-atik, membedah robot-robot kecil. Ini renungan Zhong Shan akan industri yang produk dan keuntungannya tak lagi bercita-cita rata dibagi dengan para pekerja kecil.

Dari gambar ini tampaklah kritik pada masa lalu, masa komunis, bukan hal tabu. ”Tak lagi intel-intel ketat mengawasi seni,” tutur Zhong Shan. Bienale Shanghai buktinya. ”Pada Bienale 2002, lukisan telanjang (nude) dan politik masih diawasi, tapi pada Bienale 2004 ini sudah bebas sekali,” kata Michelle Blumenthal, pemilik Galeri A + A di Shanghai. Menurut Zhong Shan, kehidupan Shanghai memang lebih gemerlap daripada Beijing. Ketika pindah ke Shanghai, ia syok. ”Saya membayangkan gadis-gadis yang keren,” katanya sembari ketawa. Lalu ia melukis Nice Lake Supper: dua gadis telanjang di dalam kolam sauna namun membawa peralatan makan. Dan Bang Bang: dua gadis telanjang mengobservasi tembok Cina dengan teropong dan pistol.

Tentu, dua pemuda ini tak bisa mewakili kecenderungan seluruh perupa generasi terbaru Cina. Kita tahu, perupa muda Cina lain sangat antusias terhadap aspek-aspek media digital. Boleh dibilang merekalah pelopor di Asia. Sebut saja Feng Mengbo, yang dalam sebuah tulisan di majalah Asian Art News disebut perupa Asia paling inovatif. Ia menggunakan manipulasi komputer untuk menciptakan realitas virtual. Temperamen Tang Shu dan Zhong Shan agaknya berbeda. Keduanya lebih memilih membaca kota-kota dengan cemas, parodi, dan privat. ”Itu yang membuat Zhong Shan dan Tang Shu memiliki karakter….” Kata-kata Michelle Blumenthal, wanita yang mengisi hidupnya antara Shanghai dan Hong Kong ini, agaknya tak berlebihan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus