Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan Mudah Tergiur Voucer
SAYA ingin membagi pengalaman menginap di hotel dengan memakai voucer diskon. Pada 27-29 September 2004, saya bersama suami menginap di Hotel Grand Lembang, Bandung. Kami memilih hotel tersebut karena kami tertarik dengan voucer diskon hotel sebesar 20-30 persen yang ditawarkan PT Graha Bintang Sentosa.
Tiga hari sebelumnya, saya menelepon PT Graha Bintang Sentosa dan berbicara dengan Pak Zainal, untuk menggunakan voucer tersebut. Beberapa waktu kemudian, Zainal menelepon saya dan mengatakan bahwa kami dapat menggunakan voucer tersebut untuk tanggal 27-29 September. Potongannya 30 persen dari harga kamar (standar) Rp 379 ribu, sehingga kami harus membayar 379.000 x 2 malam x 30 persen = Rp 510.000. Kami pun langsung mentransfer melalui BCA, tanpa mengecek lagi harga kamar standar (published rate) untuk hari biasa di Hotel Grand Lembang.
Setelah pulang dari Hotel Grand Lembang, kami kaget sekali. Ternyata harga kamar standar hari biasa (published rate) hanya 279 ribu, sudah termasuk pajak dan makan pagi. Ini berarti pihak Graha Bintang Sentosa menaikkan 100 ribu, sebelum memberikan potongan 30 persen. Saya mencoba menghubungi Zainal tentang penipuan ini, namun Zainal berkelit. Ia pun mengubah harga kamar yang ia sebutkan sebelumnya yakni Rp 379 ribu menjadi Rp 330 ribu, dan hanya mendapat diskon 20 persen dan harga tersebut sesuai dengan perjanjian dengan Pak Heru dari Hotel Grand Lembang. Padahal di lembar voucer yang kami miliki jelas-jelas tertulis discount 20-30% from published rate.
Pembicaraan saya di telepon dengan Zainal berlangsung cukup alot. Saya bersikeras meminta kelebihan uang Rp 119.400, namun Zainal mengatakan, hitungan dia benar, dan tidak bisa mengembalikan uang kami. Lucunya, setelah saya menelepon lagi, untuk menegaskan lagi kesediaan PT Graha Bintang Sentosa mengembalikan uang kami, Zainal malah mengubah lagi harga hotel menjadi Rp 321, karena harga Rp 330 adalah harga untuk akhir pekan. Walaupun telah menurunkan menjadi Rp 321 ribu, uang yang kami bayar masih lebih.
Mungkin jumlah kerugian kami relatif tidak begitu banyak secara nominal, tetapi secara moral kami kecewa dan sakit hati telah ditipu. Karena itu kami mengimbau kepada anggota PT Graha Bintang Sentosa agar tidak mudah tertipu tawaran diskon.
Putri Anisa Ciangsana, Cikeas Ilir Bogor, Jawa Barat
Kompilasi Hukum Islam (1)
Saya ingin menanggapi draf Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang akan diajukan menjadi rancangan undang-undang. Sebelumnya, izinkan saya menyampaikan pengalaman. Saya anak ke-3 dari 4 bersaudara. Sejak usia 5 tahun saya tumbuh dalam keluarga poligami. Ibu saya dulu janda Nasrani-Thionghoa, menikah lagi dengan seorang pria muslim yang sudah beristri. Kami sekeluarga masuk Islam karenanya. Walau secara ekonomi bisa dikatakan ayah tiri saya kurang dapat menghidupi kami, hal itu tidak membuat saya trauma dengan kehidupan poligami. Karena saya bersyukur lewat beliau saya dapat mengenal Islam.
Setelah dewasa, saya dipinang seorang pria muslim yang juga telah beristri. Tapi kehidupan berkeluarga saya lebih baik dari ibu saya. Suami saya seorang yang tegas dan benar-benar dapat membimbing saya. Hubungan dengan istri pertama pun baik-baik saja. Kami sering berkumpul bersama. Secara ekonomi juga tidak ada masalah.
Berdasarkan semua itu, sebagai seorang muslim saya merasa poin-poin yang ada dalam draf KHI yang baru, banyak hal yang justru akan merugikan dan tidak memuliakan kehidupan wanita. Terutama mengenai kawin kontrak atau apa pun namanya dan dibolehkannya secara mutlak pernikahan beda agama.
Setelah merasakannya, saya semakin yakin dan setuju dengan apa yang Allah tentukan dan tertulis dalam Al-Quran, bahwa pria muslim boleh menikahi ahli kitab seperti yang terjadi pada orang tua saya. Tapi wanita muslim tidak boleh menikah dengan pria non-muslim. Kalau Anda mengatakan poligami haram karena eksesnya, maka mengenai kawin kontrak dan pernikahan beda agama seperti tersebut di atas juga sama.
Mengenai poin kedudukan dan kesetaraan dalam keluarga, menurut saya bukannya sesuatu hal yang hina dengan hanya menjadi seorang ibu rumah tangga. Bahkan itu kedudukan yang sama mulianya dengan pencari nafkah, karena mendidik calon pemilik masa depan. Keadilan bukanlah kesamarataan, keadilan adalah sesuai dengan porsinya. Dan Islam tidak melarang seorang istri membantu dalam mencari nafkah.
Kalau KHI memang berpijak pada Al-Quran, mengapa masih banyak hal yang jelas-jelas melonggarkan ketentuan Allah yang tertulis dalam Al-Quran, misalnya soal pernikahan. Setahu saya, Nabi Muhammad memberikan teladan bahwa sebuah senyum atau menyingkirkan duri di jalanan saja adalah suatu ibadah. Bukankah pernikahan adalah salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia. Jadi bagaimana mungkin itu bukan suatu ibadah?
Untuk Ibu Siti Musdah Mulia dan jajarannya, yang merancang draf itu, mungkin pendapat saya tidak akan mempengaruhi jadi atau tidaknya hal itu menjadi undang-undang. Saya hanya mengharapkan ini jadi masukan untuk Ibu agar draf tersebut dapat dikaji kembali. Jangan sampai membuat perpecahan umat.
Christinawan Gn. Tampomas, Cirebon Jawa Barat
Kompilasi Hukum Islam (2)
PADA Tempo edisi 11-17 Oktober lalu dimuat wawancara dengan Siti Musdah Mulia, perancang draf Kompilasi Hukum Islam (KHI), berjudul, ”Poligami Haram Karena Eksesnya”. Ketika ditanyakan apakah draf itu dipengaruhi oleh Asia Foundation yang mensponsorinya, ia menjawab ”Ah, mereka ngerti apa soal fikih? Mereka hanya membantu pada beberapa kegiatan, tetapi inisiatif tetap dari kita.”
Hanya, saya tetap menduga mereka terkooptasi secara ideologis oleh Asia Foundation hingga rela mengingkari kemutlakan Al-Quran. Ada beberapa catatan yang perlu saya sampaikan kepada Dr. Siti Musdah Mulia berikut kelompok yang sealiran dengannya.
Salah satu gerakan pemandulan pemikiran Islam adalah membenturkan persoalan-persoalan khilafiyah yang keberadaannya diakui dalam agama ini. Tujuannya: mengubur kesempatan umat Islam untuk mencapai kemajuan lantaran berkutat dalam perdebatan yang tak bermanfaat. Orang-orang yang berkepentingan terhadap pemandulan Islam tidak mempersoalkan berapa cost yang harus dikeluarkan.
Alasan menolak poligami yang didasarkan pada alasan psikologis dan menghasilkan anak-anak yang telantar adalah suatu alasan subyektif dan bersifat kasuistis. Berapa banyak hasil pernikahan monogami yang berasal dari kalangan borjuis, namun menghasilkan anak-anak yang tumbuh di bawah tekanan psikologis yang buruk. Apakah Dr. Siti Musdah Mulia juga pernah meneliti ini? Lihatlah anak-anak dari kalangan atas yang tercengkeram oleh narkoba. Padahal mereka berasal dari keluarga monogami.
Faktor ”keadilan” yang sering dijadikan alasan untuk menghujat poligami adalah sesuatu yang luhur. Hingga begitu luhurnya keadilan yang bersifat ilahiah, tidak ada manusia yang mampu menyamai keadilan-Nya. Jika tuntutannya seperti itu, di muka bumi ini tidak akan ada pemerintahan. Mengapa? Sebab tidak mungkin ada pemimpin yang sanggup meletakkan prinsip keadilan seadil-adilnya. Sama halnya seperti: tidak akan pernah ada orang yang mampu mengamalkan tugas ketakwaan dengan sepenuh takwa.
Dalam komunitas Syiah (baca: Iran) paham mut’ah termasuk suatu paham yang absah dan legal. Namun, dengan keabsahan dan legalitas itu, tidak serta-merta masyarakat Iran ramai-ramai mempraktekkan nikah mut’ah. Begitu pula gambaran paham poligami di negara-negara Islam (termasuk Indonesia), dengan adanya paham poligami (matsna, tsulasa wa rubba’; dua, tiga, atau empat istri), tidak serta-merta umat Islam begitu saja mempraktekkan paham ini. Dari sekian banyak umat Islam yang setuju paham poligami, berapa yang melakukannya? Kenapa? Karena di belakang mereka masih terdapat sejumlah kendala yang membatasi keinginannya untuk berpoligami, antara lain kemampuan ekonomi dan yang tidak kalah penting adalah perasaan sungkan.
Para aktivis perempuan yang memposisikan poligami sebagai musuh, secara umum tidak memiliki sensitivitas terhadap kaum perempuan yang menjadi penghias jalanan dan tempat-tempat dugem. Mereka inilah yang seharusnya dijadikan obyek pemikiran: bagaimana agar tuntutan kesetaraan gender yang mereka kehendaki justru tidak melecehkan dirinya. Sepanjang sejarah poligami belum pernah ada yang terkena HIV, dibanding pengikut paham kebebasan (seks) yang dikembangkan oleh negara-negara liberal.
Pembaruan apa pun yang dilakukan (dengan dalih memajukan Islam) tetapi bersentuhan dengan hak prerogatif Allah yang sakral dan diyakini kebenarannya oleh sebagian besar kaum muslimin, pasti akan berimplikasi pada kebencian yang bukan tidak mungkin berujung pada radikalisme. Bagi kaum radikal, setiap pemikiran yang keluar dari frame hukum Allah wajib dilenyapkan. Pandangan itu sah-sah saja berdasar rujukan yang diambil dari para ulama salaf.
Ideologi yang dijadikan pegangan para konseptor KHI adalah ”kebebasan” dan demokrasi. Persoalannya, kalau Anda berbicara tentang kebebasan dan demokrasi, mengapa justru tidak memberikan ruang bagi pemilik paham poligami untuk mengekspresikan pahamnya.
Asmaji As Muchtar Sunggingan RT/RW: 02/03 Kudus, Jawa Tengah
Klarifikasi dari Jamsostek
Majalah Tempo edisi 18-24 Oktober 2004 menurunkan tulisan bertajuk Salah Parkir Dana Jamsostek dalam rubrik Investigasi. Kami ingin menyampaikan klarifikasi, karena hemat kami tulisan tersebut mengandung banyak hal yang tidak akurat dan terkesan dipaksakan.
Adalah sangat tidak adil apabila Tempo menuliskan penafsiran (opini) dan membuat kesimpulan tanpa memahami substansi permasalahan secara benar. Tempo menulis tanpa memahami aturan, latar belakang, dan realitas atas suatu topik bahasan. Bahkan beberapa informasi dan angka-angka disajikan secara tidak benar dan cenderung didramatisasi.
Tidak etis bila hanya mendasarkan pada dokumen atau surat kaleng, Tempo langsung membuat penafsiran dan kesimpulan penyalahgunaan, kendati telah dijelaskan bahwa informasi atau data pada dokumen tersebut tidak benar. Dengan begitu, penjelasan dari Jamsostek menjadi tidak berguna sama sekali dan sekadar justifikasi seolah-olah telah terjadi liputan yang berimbang (both sides coverage). Padahal, dalam pertemuan dengan jajaran Biro Humas PT Jamsostek bahkan Dirut PT Jamsostek, sudah dijelaskan bahwa ada beberapa substansi persoalan yang dikemukakan (Tempo) yang tidak dilandasi fakta dan bukti yang kuat.
Secara keseluruhan, laporan investigasi Tempo amat subyektif, tendensius, dan insinuatif sehingga patut dipertanyakan sejauh mana peran pers seperti Tempo bersikap netral, fair, dan obyektif demi kepentingan orang banyak.
Agar tidak terjadi pembentukan opini yang salah pada pembaca, kami merasa perlu menyampaikan beberapa keterangan persoalan dan angka-angka yang benar sebagai berikut:
- Tulisan Tempo menyajikan informasi, data, dan opini yang penuh kontroversi dan tak jelas motivasinya. Dalam satu bagian tulisan, Jamsostek dituduh menyalahgunakan dana membantu penyelesaian masalah PHK (pemutusan hubungan kerja) di PT Havila Citra Footwear dengan izin dari pemegang saham. Kebijakan tersebut diambil Jamsostek dalam rangka mengatasi masalah yang dihadapi pekerja peserta Jamsostek.
Di bagian lain tulisan, Jamsostek dituduh tidak memperhatikan pekerja, dan program Jamsostek tidak memberi manfaat. Patut dipertanyakan motif tuduhan seperti itu, karena program Jamsostek adalah program pemerintah. Apalagi selama ini Jamsostek berupaya membantu meringankan beban pekerja dengan memberikan pinjaman uang muka perumahan, rumah susun sewa pekerja, ambulance trauma centre, bantuan PHK, bantuan/pinjaman koperasi pekerja, dan sebagainya.
- Tentang kasus di BRI Surya Kencana, Bogor, yang dipaparkan dalam investigasi tersebut, berikut ini penjelasan Jamsostek:
- Tuduhan Tempo bahwa dana Jamsostek sebesar Rp 100 miliar adalah tidak benar dan dibesar-besarkan karena kenyataannya hanya Rp 75 miliar.
- Copy format surat yang dimuat di Tempo adalah surat palsu yang tidak diterbitkan oleh Jamsostek—begitu pula beberapa lembar bilyet deposito. Hal ini telah pula diputuskan oleh pengadilan. Dan Jamsostek menerima kembali utuh dana pokok deposito berikut bunganya setiap bulan.
- Dengan bukti-bukti palsu tersebut, Tempo memaksakan membentuk opini bahwa surat-surat tersebut asli.
- Skenario pemalsuan dokumen untuk pembobolan bank tidak cuma terjadi di BRI Surya Kencana, Bogor, tapi juga terjadi di BRI cabang Senen dan BRI Tanah Abang. Sedangkan kasus pembobolan BRI dengan modus penjaminan deposito dan pemalsuan bilyet deposito tidak hanya terhadap deposito Jamsostek, tapi juga terhadap bank lain.
- Jamsostek atas dasar keterbukaan informasi menerima wawancara Tempo, namun banyak hal yang bersifat positif tidak ditulis dalam pemberitaan. Padahal manajemen Jamsostek terus berupaya meningkatkan kinerja perseroan dari tahun ke tahun. Kinerja perseroan sehat sekali dan opini laporan audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah wajar tanpa pengecualian (WTP). Laba Jamsostek mencapai Rp 1 triliun dan aset perusahaan telah meningkat menjadi Rp 30 triliun. Jumlah pekerja yang menjadi peserta Jamsostek kini 23 juta orang.
Ir. Hardi Yuliwan Kepala Biro Humas PT Jamsostek
— Tanggapan Redaksi:
Terima kasih untuk penjelasan dan klarifikasi dari PT Jamsostek. Dalam investigasi ini, Tempo tidak mendramatisasi atau membesarkan angka-angka, karena semua angka dikutip dari dokumen-dokumen yang diperoleh tim investigasi Tempo.
Tempo tak pernah menggunakan surat kaleng sebagai dasar sebuah investigasi. Dan redaksi tak pernah menerima surat kaleng apa pun tentang Jamsostek selama investigasi ini berlangsung.
Investigasi ini dibuat antara lain dengan cara menelusuri sejumlah dokumen, sebagian di antaranya telah menjadi dokumen publik. Umpama, dokumen berita acara pemeriksaan, dokumen dakwaan kejaksaan, audit internal BRI, audit Badan Pemeriksa Keuangan, serta dokumen-dokumen dalam persidangan Asep Tarwan di Pengadilan Negeri Bogor. Semua dokumen ada di tangan redaksi Tempo.
Kami melakukan konfirmasi kepada berbagai pihak yang terkait dengan tulisan. Konfirmasi kepada pihak PT Jamsostek, terutama Direktur Utama A. Djunaidi, kami muat tak hanya pada tulisan wawancara tetapi juga di hampir semua bagian tulisan.
Beberapa hal lainnya bisa kami jelaskan sebagai berikut:
- Dalam kasus PT Havilah Citra Footwear, Tempo tak pernah menyebut dana itu tak berguna bagi pekerja peserta Jamsostek. Yang kami tulis adalah prosedur pemberian dana kepada PT Havilah, yang antara lain dipertanyakan oleh Komisaris PT Jamsostek sendiri.
- Angka Rp 100 miliar didapat Tempo dari pengakuan para saksi, termasuk saksi dari PT Jamsostek sendiri di Pengadilan Negeri Bogor. Jumlah itu terdiri dari Rp 75 miliar Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) dan Rp 25 miliar Yayasan Kesejahteraan Karyawan (YKK)—keduanya adalah bagian dari PT Jamsostek sendiri.
- Copy surat yang dimuat Tempo adalah satu di antara bukti yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor. Pihak Asep meminta agar dilakukan tes Laboratorium Forensik dan Kriminal untuk membuktikan apakah surat itu asli atau palsu. Pengadilan menolak permintaan itu seperti yang kami tulis dalam berita itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo