BANYAK sekali perusahaan besar, melalui iklan-iklan yang mereka pasang, mengampanyekan kehebatan produk mereka dengan menghubungkannya dengan kejeniusan Albert Einstein. Soalnya jelas: sejak kematiannya 30 tahun yang lalu, Einstein dengan sempurna menjadi simbol kualitas manusia super yang kecerdasannya terhitung tanpa cacat. Sehingga, para pedagang sampai-sampai menghargainya dan "menjualnya" meski Einstein sendiri pada kenyataannya "pedagang" yang buruk yang tidak pernah bisa mengatur keuangannya dengan baik. Tapi, apa yang membuat Einstein dan para jenius yang lain menjadi sedemikian pintar? Dalam memburu jawaban, para ilmuwan itu umumnya menempuh cara yang menurut mereka paling obyektif dan logis: mempelajari susunan otak Einstein. Di antara para ilmuwan yang percaya pada otak itu, terdapatlah sekelompok neroanatomis - ahli anatomi saraf - yang bekerja di California. Mereka mencoba mencari otak Einstein di Missouri, yang disimpan dan diawetkan dalam sebuah kotak kardus di sebuah pendingin bir di Kansas. Para ahli saraf itu - yang dikepalai oleh Drs. Marian C. Diamond dan Arnold B. Scheibel - berhasil meyakinkan para dokter yang mengautopsi Einstein hingga mau mengirim empat potongan kecil otak Einstein untuk keperluan analisa secara mikroskopis. Para peneliti menemukan suatu jaringan yang boleh jadi memainkan peranan penting pada kejeniusan Einstein. Penemuan-penemuan itu belakangan mengundang banyak perhatian dan kontroversi di kalangan ahli nerologi. Yang barangkali tidak diperhatikan pada kehebohan itu adalah sebuah sejarah panjang tentang penelitian otak orang-orang jenius, yang salah satu bagiannya adalah penelitian otak Einstein itu. Sejarah itu, yang meliputi juga bab-bab penelitian otak-otak cemerlang lain, seperti pemeriksaan-pemeriksaan terhadap otak Lenin, tokoh komunisme Rusia, barangkali membuka lebih banyak kenyataan tentang bagaimana kita begitu terkagum-kagum kepada kejeniusan, tentang kekuatan dan daya pesona para jenius yang membuat kita terpikat dan akhirnya bisa saja terpedaya. Kekaguman berlebihan, dan penentuan kejeniusan yang tidak jelas, kenyataannya tidak mampu mengungkapkan apa penyebab kejeniusan itu sendiri. * * * Pada 1925, setahun setelah kematian Lenin, pemerintah Soviet mengundang Prof. Oskar Vogt, direktur Institut llmu Otak Kaisar Wilhelm, Berlin, untuk meneliti otak bekas pemimpin besar Uni Soviet itu. Vogt bahkan akhirnya diminta mendirikan sebuah institut serupa di Moskow, yang tujuannya cuma untuk menemukan sesuatu yang nyata pada otak Lenin, yang dipercaya melatarbelakangi kehebatan filsafat dan politik Lenin. Pada 1927, menurut harian Pravda, Vogt melapor kepada pada pejabat tinggi Soviet bahwa ia telah membuat 34.000 sayatan otak untuk penelitiannya. Journal of the American Medical Association mengutip laporan Vogt: "Perkembangan sel piramid dalam cerebral cortex Lenin sangat kentara menghasilkan - bilamana perlu - pelipatgandaan aktivitas umum pada beberapa bagian otak .... Jumlah jalur sel-sel piramid muncul dalam jumlah besar dan menyatukan banyak bagian-bagian otak. Tanda-tanda ini menerangkan adanya daya jangkau yang luas dan kemampuan menemukan ide-ide yang kaya, yang berkembang dalam otak Lenin. Juga, tanda-tanda itu mengisyaratkan kemampuannya untuk dengan cepat menemukan jawaban jika dihadapkan pada situasi dan persoalan yang sangat kompleks .... Kemampuan menemukan ide ini, bersama dengan daya jangkau yang luas dan kecepatan kemampuannya mengonsepsikan sesuatu, yang menghasilkan kekuatan intuisi yang luar biasa .... Aktivitas otak Lenin bisa dibandingkan dengan gelombang-gelombang suara yang saling mengait, yang bertabrakan satu sama lain tapi membentuk sebuah harmoni yang indah .... Inilah kunci pandangan materialistis kejeniusan Lenin." Rencana Vogt selanjutnya menurut penilaian Stefan T. Possony dalam bukunya Lenin: The Compulsive Revolutionary, sangat ambisius. Penelitian itu, menurut rencananya, dilengkapi penyelidikan otak orang-orang yang masih hidup dengan fokus penelitian: pencerapan sesaat belahan-belahan otak beberapa orang jenius Rusia. Para jenius yang terpilih antara lain: Maxim Gorky, penyair Vladimir Mayakovsky, dan Ivan Pavlov, penemu refleks bersyarat (conditioned reflex). Namun, rencana Vogt dan pandangan-pandangannya tentang otak yang agak kontroversial - terutama pandangannya tentang perbedaan otak pada tiap ras - entah mengapa membuat para pemimpin Soviet tidak enak. Karena itu, pada 1930 Vogt kembali ke Jerman, dan Institut Otak Moskow pada kenyata-annya mulai menggeser obyek penelitiannya ke masalah-masalah lain - bukan lagi masalah otak Lenin. Kasus Lenin ini sebenarnya cuma satu dari sederetan usaha menemukan dasar neuroanatomi atau anatomi saraf para jenius. Otak Marsekal Jozef Piludsky, kepala negara dan perdana menteri Polandia selama kedua perang dunia, misalnya, termasuk salah satu obyek penelitian: dipotong menjadi 13.000 bagian. Demikian juga otak banyak tokoh top Eropa, mulai dari ilmuwan, ahli filsafat, seniman, dan negarawan. Tapi, tidak satu pun penemuan tentang anatomi saraf, ternyata, bisa membuktikan hubungan antara anatomi saraf dan bakat intelektual tinggi. * * * Pada penelitian yang paling populer, yaitu penyelidikan otak Einstein, tampak adanya beberapa kemajuan. Perbedaan pertama, yang paling nyata, kejeniusan Einstein jelas lebih bisa diidentifikasikan ketimbang kehebatan Lenin, Piludsky, atau siapa saja yang otaknya sudah masuk laboratorium. Di samping itu, kelompok neuroanatomis California yang meneliti otak Einstein menggunakan metode yang lebih baru. Pendekatannya didasarkan pula pada penelitian pelengkap yang dilakukan salah seorang dari mereka yaitu Marian Diamond, yang menyelidiki efek lingkungan yang diperkaya pada otak tikus. Diamond, dalam pengamatannya, menemukan bahwa tikus yang hidup di tengah lingkungan tempat terdapat koloni tikus lain dan juga lingkungan yang memiliki bermacam-macam obyek mempunyai keistimewaan pada otaknya. Organ itu menghasilkan sel glial dalam bagian tertentu cerebral cortex. Jumlah sel glial yang diproduksi jauh lebih banyak ketimbang tikus yang lingkungannya miskin obyek, dan tidak memiliki suasana persaingan. Sel glial, antara lain, berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhan metabolisme sel-sel saraf yang berdekatan, yang diduga kuat bertugas pula melakukan tugas-tugas mental di otak. Dengan demikian, Diamond punya alasan untuk percaya bahwa pengayaan dan penambahan jumlah sel glial pada tikus di lingkungan kaya obyek menyebabkan meningginya pemanfaatan sel-sel saraf (neuron) sampai kepada kapasitas maksimal. Metode inilah - penghitungan sel neuron dan sel glial - yang digunakan para periset California untuk menyelidiki otak Einstein. Mereka percaya bahwa jika bagian tertentu otak Einstein digunakan sampai ke tingkat luar biasa - untuk proses pemikiran matematis, misalnya, itu bisa dikaitkan dengan kenaikan relatif jumlah sel glial pada bagian itu. Einstein sendiri, mereka tahu, pernah berkata bahwa pikiran produktif muncul dari "permainan kombinasi antara tanda-tanda dan bayangan-bayangan yang cukup jelas". Maka, para peneliti pun mencoba meneliti potongan bagian otak kiri dan kanan - yang mengandung daerah yang disebut "9" dan "39", yang diperkirakan memiliki peranan besar dalam permainan kombinasi itu. Para ahli anatomi saraf itu menemukan bahwa pada daerah "39" otak kiri Einstein jumlah sel glial ditemukan lebih banyak pada tiap sel neuronnya ketimbang di daerah lain, misalnya di sel-sel otak kontrol. Jumlah sel glial ini juga jauh lebih banyak daripada sel-sel glial pada otak orang-orang yang jelas bukan jenius. Implikasinya, sel-sel neuron dari "39", yang bekerja aktif dan produktif pada otak Einstein, memerlukan lebih banyak jasa sel glial dalam menyediakan bahan bagi metabolisme. Meskipun demikian, penelitian ini menghadapi persoalan yang cukup menyulitkan guna melakukan penafsiran data. Misalnya, hasil penelitian itu akan lebih meyakinkan jika bisa dibuktikan bahwa daerah otak Einstein yang dianggap tidak terlibat dalam proses mental tinggi kondisinya ternyata sama dengan otak-otak pembanding. Ada pula kelemahan lain. Otak-otak pembanding itu diambil dari bekas pasien rumah sakit Administrasi Veteran. Faktor-faktor medis, psikiatris, dan sejarah nutrisi para pembanding itu - yang paling tidak bisa mempengaruhi hasil pengamatan - sama sekali tidak diketahui. Kekurangan metodologis ini, juga sejumlah kelemahan lain - beberapa antaranya di luar kontrol para periset - membuat para ahli saraf lain menunda keputusan untuk menilai hasil penelitian itu. Selain itu, pengandaian-pengandaian yang mendasari riset ini, dari sudut konsepsi masih dianggap problematis, belum membuahkan kesimpulan pasti. Meningkatnya sel glial dalam otak tikus akibat lingkungannya diperkaya, menurut sejumlah pengamat, kurang tepat untuk dibandingkan dengan otak seorang jenius matematika. Secara ilmiah, kesimpulannya berbahaya. Jenius, yang paling terspesialisasi sekalipun, menurut para pengamat itu, pastilah sebuah hal yang kompleks: menyangkut tidak hanya kemampuan kognitif tetapi juga faktor-faktor psikologis lain. Hampir pasti aktivitas otak mereka merupakan hasil kerja sama banyak bagian otak. Melihatnya hanya dari satu daerah, tentu bertentangan dengan cara-cara bagaimana manusia - termasuk yang berbakat - berpikir. * * * Yang menjadi pertanyaan sekarang: Mengapa dengan konsep dan pengamatan yang masih diragukan itu, para ilmuwan dari satu generasi ke generasi lain tidak juga jera mencobanya? Salah satu alasannya, tentu saja, adalah daya tarik "kesederhanaan otak". Walaupun terdapat kekompleksan luar biasa pada otak jenius, kemungkinan untuk menemukan atau menyiasatinya dari satu daerah kecil, senantiasa ada. Kemungkinan ini demikian menarik sehingga membuat beberapa ahli anatomi saraf tetap mencobanya - terutama mereka yang punya jalur untuk mendapatkan potongan otak orang-orang yang secara internasional dianggap jenius. Tetapi alasan yang lebih kuat barangkali adalah cara kita melihat para jenius sendiri. Buat para ilmuwan, juga buat kita semua, jenius tulen benar-benar "barang" langka, yang sedemikian mengagumkan, demikian istimewa. Sehingga mereka sering kali, secara kodrati, dianggap lain - misalnya punya susunan otak yang lain. Memang, bagaimana lagi kita bisa menyingkapkan keistimewaan orang yang pikirannya menghasilkan sesuatu yang mengejutkan, yang tidak bisa dihasilkan orang biasa, kecuali dengan membongkar otaknya. Bagaimana lagi kita harus melihat Newton yang memahami aturan benda-benda. Atau Darwin yang memahami aturan alam. Atau Shakespeare yang memahami cara mengubah benda dan alam dan jiwa manusia menjadi kata-kata dan mengubah cara hidup dan cara berpikir kita? Buat para ahli anatomi saraf, langkah selanjutnya adalah menangkap metafora itu dan menjadikannya nyata - mencari akar-akar kejeniusan pada untaian otak yang barangkali lain. Itu adalah langkah yang bisa dimengerti, dan barangkali langkah yang betul. Barangkali para ahli saraf California tadi, karena kebetulan atau karena intuisi yang brilyan, betul-betul bisa menemukan suatu daerah di otak Einstein yang bertanggung jawab atas kejeniusannya. Meski betul itu yang terjadi. penting juga untuk menyadari bahwa bagaimanapun jeniusnya Einstein, dalam berbagai hal ia tetap menyerupai manusia biasa. Dalam arti, Einstein memiliki kekompleksan sistem otak manusia yang, bagaimanapun, mengagumkan. Meski kini beberapa binatang, kera misalnya, telah dilatih agar mampu mengerti dan menggunakan simbol-simbol, kita harus tetap ingat bahwa jurang antara mereka dan kita tetap besar. Masih terdapat perbedaan besar antara ketakmampuan mereka menggunakan bahasa dan kemampuan kita mengetahui, mengucapkan, dan menuliskan kata-kata. Jurang perbedaan ini tentu jauh lebih lebar daripada jurang antara kemampuan kita berbahasa dan keunggulan Shakespeare menghidupkan, dan memberi kekuatan pada bahasa. Selebar apa pun perbedaan kita dengan Shakespeare, perbedaan itu cuma menyangkut batas dan derajat kemampuan. Suatu hari kita barangkali bisa menemukan apakah kerja otak para jenius lain dari kerja otak kita. Tetapi yang kita temukan itu, barangkali, bukan dari potongan-potongan otak atau pada hitungan sel-sel. Sebelum kita menemukan cara yang lebih baik untuk mempelajari otak dan kejeniusan, barangkali kita cuma boleh berpuas dengan mengaguminya, dan melakukan penghormatan. Setelah kematian mereka, para jenius itu, sebaiknya kita membiarkan otak mereka dalam damai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini