Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Medan Tempur ke Meja Perundingan

Konfrontasi dengan Malaysia mengantarkan Benny ke dunia intelijen. Dihormati pemerintah Malaysia.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JATUHNYA pesawat yang membawa seratus anggota pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Djamaluddin asal Gorontalo di Laut Cina Selatan mengubah pendekatan pemerintah Indonesia dalam konfrontasi dengan Malaysia. Wakil Panglima Komando Mandala Siaga Mayor Jenderal Soeharto memutuskan membangun jaringan intelijen untuk mengumpulkan informasi dan menghubungi orang-orang Malaysia pro-Indonesia.

Kebetulan, Benny Moerdani baru dipindahkan oleh Panglima TNI Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). "Saya bilang ke Pak Ali Moertopo, itu Benny enggak ada tugas setelah terlempar dari Batujajar (markas RPKAD)," kata Aloysius Sugiyanto, pertengahan September lalu. Sugiyanto merupakan perwira Operasi Khusus yang menjadi tangan kanan Ali. "Lalu Pak Ali bilang, ya sudah, dipanggil."

Benny kemudian ditempatkan di Bangkok. Operasi ini menjadi awal kerja sama Benny dan Ali.

Sebenarnya konfrontasi Malaysia bukan hal baru bagi Benny. Tak lama setelah Presiden Sukarno menyerukan operasi Dwi Komando Rakyat pada 3 Mei 1964-perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Sarawak dengan menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia-dia dikirim ke pedalaman Kalimantan Utara.

Selama di sana, dia menyamar sebagai gerilyawan Tentara Nasional Kalimantan Utara-kelompok yang punya pemikiran sama dengan Sukarno. Dari Leonardus Benjamin Moerdani yang kelahiran Cepu, Jawa Tengah, dia menjadi Moerdani saja, warga Muara Teweh, sebuah kota kecil di tepi Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah.

Operasi ini menuntut Benny aktif bergerak dan berpindah lokasi. Ia, antara lain, pernah ditugasi di Senaning Nagabadau, dusun di perbatasan Sarawak-Kalimantan Barat, dan daerah perbatasan Kalimantan Timur dengan Sabah.

Di Bangkok, Benny ternyata harus kembali menyamar karena menjalankan misi intelijen. Dia datang sebagai petugas penjual tiket Garuda Indonesia. Dalam buku Memori Jenderal Yoga yang ditulis B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Ali mengatakan hanya tiga orang yang terlibat dalam penggodokan ide dan strategi operasi rahasia tersebut: Soeharto, Yoga Soegomo sebagai Asisten Intelijen Kostrad, dan dia sebagai wakil Yoga. Benny berada di bawah Ali.

Petinggi Angkatan Darat yang khawatir terhadap ancaman Partai Komunis Indonesia di Pulau Jawa saat itu sebenarnya hendak menjajaki upaya damai dengan Malaysia. Tapi gagasan tersebut mentah di tengah jalan lantaran diketahui Presiden Sukarno. Lewat radio, Bung Karno marah dan menyebutkan ada jenderal dagang yang mendekati Malaysia untuk menghentikan konfrontasi.

Meletusnya Gerakan 30 September kembali mengubah peran Benny dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia. Operasi intelijen untuk memata-matai negeri jiran itu dihentikan. Benny ditarik pulang ke Jakarta dan diberi tugas baru: menjadi juru runding perdamaian Jakarta-Kuala Lumpur.

Diceritakan Ali dalam Memori Jenderal Yoga, mereka menggelar pertemuan di kantor Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX di Jalan Merdeka Selatan. Ali memberi istilah rapat itu "sidang cabinet ndelik" alias ngumpet. Dalam pertemuan yang dihadiri Soeharto, Sultan, Menteri Luar Negeri Adam Malik, dan Benny itu, Ali memaparkan rencana operasi penghentian konfrontasi.

Operasi untuk mendamaikan kedua negara sebenarnya telah lama dirintis Ali. Ini diceritakan Des Alwi dalam buku kumpulan tulisan L.B. Moerdani: Pengabdian tanpa Akhir. Ali kemudian menyerahkan tugas tersebut kepada Benny. "Benny mengambil alih pembicaraan dan mematangkan persiapan perundingan lebih lanjut," kata Des dalam tulisannya.

Des Alwi adalah anak angkat Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Ketika itu, dia tengah tinggal di Malaysia akibat dituding terlibat Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Ia dikenal dekat dengan banyak pejabat Malaysia saat itu.

Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman, Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak, dan Kepala Intelijen Malaysia Tan Sri Ghazali Shafie merupakan teman-teman Des Alwi semasa kuliah di Raffles College, London, Inggris. Tak aneh kalau Benny kemudian melobi para pejabat Malaysia itu melalui Des Alwi.

Pada November 1965, perundingan mulai digelar di Hotel Erawan, Bangkok, tempat menginap Tun Razak. Pertemuan ini, disebut Des Alwi, difasilitasi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Thailand Marshall Dawee. Seusai perundingan, Tun Razak memuji Benny.

Selanjutnya, perundingan diadakan dari hotel ke hotel, tapi masih di Bangkok. Ditemani hidangan khas Thailand, tom yam, Des Alwi menggambarkan perundingan-perundingan lanjutan ini sebagai pertemuan yang hangat dan bersahabat. Pada kesempatan itu juga Benny memaparkan kondisi politik Indonesia pasca-30 September 1965.

Dari Thailand, perundingan-perundingan lanjutan digelar di Malaysia. Agar rencana pertemuan tidak tercium pihak yang tak diinginkan, Benny tak menempuh rute Bangkok-Kuala Lumpur, tapi berbelok via Hong Kong. "Itu supaya Benny tidak dikenali orang," ujar Sugiyanto, seperti dikutip majalah ini pada edisi 30 September 2013.

Pada 24 Mei 1966, perundingan akhirnya berbuah manis. Indonesia dan Malaysia sepakat rujuk. Tiga hari berselang, Indonesia mengirimkan tim persahabatan yang dipimpin Laksamana Muda O.B. Syaaf, Kolonel Yoga Soegomo, Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan beberapa petugas lain ke Kuala Lumpur.

Rombongan berangkat menggunakan Hercules milik Angkatan Udara Republik Indonesia dan mendarat di Bandar Udara Internasional Subang. Mereka disambut Tun Razak dan Tan Sri Ghazali. Inilah pertemuan resmi pertama kedua negara setelah serangkaian pertemuan rahasia. Kesepakatan terbuka untuk perundingan pun dideklarasikan.

Puncak dari rangkaian operasi damai itu terjadi pada 11 Agustus, ketika Tun Razak bertemu dengan Soeharto di Bangkok. Soeharto didampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik, Dr J. Leimena, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Dalam kesempatan itu, secara resmi kedua pihak menandatangani dokumen rujuk.

Setelah perdamaian disepakati, Benny ditunjuk menjadi Kepala Penghubung di Malaysia. Sebagai penghargaan atas peran Benny dalam upaya perdamaian, pemerintah Malaysia memberinya gelar kehormatan: Tan Sri Leonardus Benny Moerdani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus