Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGIT Pulau Bintan belum terang sempurna pada Rabu, 12 Maret 1958, tapi di lapangan udara Kijang kesibukan sudah dimulai. Ketika itu, kurang-lebih pukul 04.30, operator lapangan berkoar-koar mengatur keberangkatan pesawat.
Kijang merupakan satu-satunya landasan terbang yang belum dikuasai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atawa PRRI di Sumatera. Dari landasan inilah Tentara Nasional Indonesia mengendalikan serangan udara untuk membebaskan Riau daratan dari cengkeraman PRRI.
Situs resmi tentang sejarah Pangkalan Udara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Tanjungpinang mencatat, yang mula-mula lepas landas pagi itu 26 pesawat C-47 Dakota. Dalam salah satu Dakota tersebut ada Letnan Dua Leonardus Benjamin Moerdani. Di usia yang masih belia, seperempat abad, dia didapuk memimpin Kompi A Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) membebaskan Riau daratan dari udara. Tugas ini diberikan oleh Komandan Operasi Tegas Kolonel Kaharuddin Nasution.
Subuh itu, Benny membawa Kompi A menuju Simpang Tiga, Pekanbaru, sekitar 2.000 kilometer di selatan Bintan. Hanya, ada satu masalah: Benny ternyata belum pernah berlatih terjun, sementara semua anak buahnya sudah mendapat wing terjun di dada mereka. "Semua anggota sudah latihan, dan saya komandannya belum," ujar Benny ketika menceritakan hal ini kepada Tempo dalam wawancara pada awal Mei 1993.
Mulanya ada pilihan untuk memberangkatkan pasukan kedua, yakni Kompi B pimpinan Letnan Satu Djajadiningrat. Namun Benny berkeras. "Di kompi yang lain, komandan sudah latihan terjun tapi sebagian anggotanya belum. Maka lebih baik pasukan saya yang diterjunkan," kata Benny, sebagaimana dituturkan ulang oleh Teddy Rusdy, mantan Asisten Perencanaan Umum Panglima ABRI.
Teddy, yang ikut dalam operasi tersebut, mengatakan Benny memang sering begitu. Menurut dia, atasannya itu selalu siap dikirim ke daerah musuh, tanpa tahu bisa kembali. "Istilah kami one-way ticket," ujarnya.
Sebenarnya untuk operasi ini ada latihan khusus, dari persiapan melompat, mengembangkan parasut, hingga mendarat. Latihannya di Batujajar, Bandung. Tapi, pada saat latihan diadakan, Benny sakit. "Akhirnya Pak Weno (Mayor Jenderal Purnawirawan Soeweno) diminta bercerita bagaimana cara terjun," kata Teddy. Soeweno salah satu anak buah Benny di Kompi A.
Berbekal "kuliah" singkat Soeweno, Benny pun siap melompat. Meski demikian, ketika berada di pesawat, Benny berpesan kepada Soeweno agar mendorongnya kalau dia tampak ragu-ragu. Brigadir Jenderal Purnawirawan Ben Mboi, yang mengaku mendengar cerita ini dari Soeweno, menduga Benny tidak didorong, tapi ditendang. "Jumpmaster yang biasanya menendang penerjun," ujar Ben, yang pernah terjun bareng Benny di hutan Irian pada 1962.
Selamat mendarat, siang harinya pasukan Benny berhasil merebut Simpang Tiga. Pada hari keempat operasi, seluruh Pekanbaru dikuasai pasukan Operasi Tegas. Sukses di Pekanbaru membuat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, yang memantau dari Kijang, terkesan. Dia lalu meminta Benny membebaskan Medan pada 17 Maret.
Sapu bersih Sumatera diakhiri di Padang lewat Operasi 17 Agustus pada 17 April 1958. Sebulan kemudian, Benny ditugasi ke Manado, mempertahankan daerah itu dari gerakan Permesta. Menggunakan pesawat amfibi, dia mendarat di Pantai Wori pada 16 Mei 1958 bersama satu kompi RPKAD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo