Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dunia Intel, Setelah Seoul

Tatkala pucuk pimpinan intelijen Indonesia berkonflik dan meletuskan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, Benny Moerdani dipanggil pulang dari posnya di Korea Selatan. Presiden meminta dia membereskan kekisruhan dan menugasinya menata lembaga intelijen Indonesia, yang kemudian melejitkan Benny ke tampuk tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dia pengendali keamanan Soeharto dalam lawatan-lawatan ke luar negeri.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diplomat Pulang ke Barak

Sukses membangun hubungan diplomatik dengan Korea Selatan. Kembali ke jalur komando ABRI saat diminta membereskan intelijen Indonesia.

Fotografer baru saja usai memotret Presiden Soeharto dan istrinya, Siti Hartinah atau Tien, yang tampil di tengah para mahasiswa Indonesia. Akhir November 1972 ketika itu. Presiden dan rombongannya tengah berkunjung ke enam negara Eropa. Leonardus Benjamin Moerdani, yang bersila di depan Tien, langsung bangkit dan menghampiri Tjokropranolo, Sekretaris Militer Presiden. Sambil berlalu, Benny-panggilan akrab L.B. Moerdani-menyelipkan sesuatu di saku dada jas hitam Tjokropanolo. "Ini suvenir dari Roma," ujar Benny kepadanya.

Penasaran, Bang Nolly-begitu Tjokropranolo disapa-mencabut kain bermotif garis hitam-putih yang dibentuk menjadi sapu tangan saku itu. Begitu lipatan terurai, ternyata sehelai bikini. "Kurang ajar kowe," katanya kepada Benny, yang berlari ke pojok ruangan. Dari jauh, Benny menyahut, "Maaf Pak, isinya tidak terbawa." Soeharto terkekeh dan Tien terpingkal-pingkal. Tetamu jamuan makan di Wisma Duta Kedutaan Besar Republik Indonesia di Italia pun tergelak.

Kegaduhan tersebut masih terekam dalam ingatan R. Haryoseputro, 73 tahun, yang ketika itu menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Eropa. Haryoseputro mengenal sosok Benny yang ternyata nakal dan penuh kejutan.

"Dia sedikit bicara dan wajahnya selalu serius dengan sorot mata tajam. Di balik itu, tersimpan kehangatan dan keakraban," ujar mantan Wakil Pemimpin Redaksi Suara Karya itu.

Benny waktu itu meninggalkan tugas utamanya sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di Seoul, Korea Selatan, untuk menjadi advanced group kunjungan kenegaraan Soeharto. Di Korea Selatan , Benny mulai bertugas di Seoul pada pertengahan Februari 1970. Benny praktis tak punya persiapan. Ia semula mengira dipertahankan di Kuala Lumpur karena saat menghadap Presiden pada akhir 1969, kurang dari sepekan sebelum kepindahan, Pak Harto tampak serius menyimak laporannya dari Malaysia.Tapi ternyata kemudian ia di tempatkan di Korea sebagai Konsul.

Clara Joewono, kini Wakil Ketua Dewan Direktur CSIS, teringat saat atasannya, Soedjono Hoemardani, membantu membuatkan surat rekomendasi kepada Presiden Republik Korea saat itu, Park Chung-hee. "Pak Benny diperkenalkan sebagai kolonel. Tapi, kurang dari dua hari, pangkatnya sudah brigadir jenderal," ujar Clara.

* * * *

Awalnya Korea adalah negara yang amat asing, tapi Benny berprinsip jika ingin mengetahui isi hati suatu bangsa harus lewat bahasanya. Itu sebabnya, ia memutuskan belajar bahasa Korea. Benny memang suka mempelajari bahasa asing sejak remaja. Dalam waktu setengah tahun, berkat ketekunan berlatih, ia sudah memahami dan cukup mahir berkomunikasi dalam bahasa tersebut.

Berbekal penguasaan bahasa, Benny intensif menjalin hubungan dengan semua kalangan. Ia menyapa warga, berbicara di depan mahasiswa, bertemu dengan pejabat setempat, dan mengajak para pebisnis Korea Selatan berinvestasi ke Indonesia. Bahkan Benny bisa akrab dengan Presiden Park. Soal ini dituturkan di buku biografinya, Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan (1993). Kata Benny, seperti dikutip dalam buku tersebut, "Tak tahu mengapa, setiap kali saya datang, Presiden Park ekstra-ramah."

Ada dugaan keakraban itu lantaran keduanya punya kesamaan latar belakang intelijen. Saat Park memimpin Dewan Militer, berdirilah Jung-ang Jeongbobu alias Korean Central Intelligence Agency (KCIA, kini Gukga Jeongbowon atau Badan Intelijen Nasional). Pengamat intelijen Richard Tanter pernah mengatakan kepada Tempo bahwa Benny terilhami KCIA dalam menjadikan Badan Intelijen Strategis (Bais) punya wewenang besar.

Agum Gumelar, 68 tahun, adalah bawahan Benny saat menjadi Komandan Satuan Tugas Intelijen Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dia menepis anggapan bahwa KCIA menjadi referensi Benny mengembangkan Bais. "Saya kira tidak. Intelijen Korea sebenarnya amat mengejutkan karena kepala intelijennya (Kim Jae-kyu) membunuh Presiden Park," ucapnya. "Yang pasti, Pak Benny bercita-cita meningkatkan profesionalitas intelijen," Ketua Umum Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri ini menambahkan.

Pemerintah Korea menganggap Benny berjasa membangun persahabatan kedua negara. Dia dianugerahi Bintang Jasa Keamanan Nasional, yang disematkan Presiden Roh Tae-woo di Istana Cheongwadae pada 17 Juni 1988. Kim Mun-hwan, penulis editorial bulanan Hanin News, yang diterbitkan Kedutaan Besar Korea di Jakarta, menulis tentang dia. Dalam edisi Juli 2011, majalah ini menulis, "Didukung Jenderal Benny Moerdani, figur yang berpengaruh dalam rezim, perusahaan Korea membuat rekor bersejarah: memenangi kontrak ladang minyak lepas pantai Madura Barat."

Perusahaan Korea yang dimaksud Mun-hwan adalah PT Korea Development Company (Kodeco) Energy, perusahaan kontrak bagi hasil Korea-Pertamina dengan komposisi saham 51 : 49. Pendirinya Choi Gye-wol. Kodeco merupakan bisnis eksplorasi minyak di luar negeri pertama yang sukses dalam sejarah Korea. Perusahaan ini menyelamatkan Korea dari krisis minyak kedua, yang dimulai 1978. Pada 27 Agustus 1984, sebanyak 420 ribu barel minyak mentah dikapalkan ke Pelabuhan Yeosu, Korea Selatan.

Sementara itu, menurut Yang Seung-yoo dari Hankook University of Foreign Studies-South Asian Studies, Benny merupakan sosok di balik kerja sama militer Indonesia-Korea untuk menggalang pemulihan ekonomi dan gerakan antikomunis. Dia menuliskan pendapatnya itu dalam kolom berjudul "Business Rule in Indonesia is Unanimity " yang terbit di koran Segye-Ilbo edisi 6 April 2011. Menurut Yang-Seung-yoo, dua target pembangunan itu diajukan oleh kedua pemimpin negara, Soeharto dan Park Chung-hee, yang sama-sama mendapatkan kekuasaan melalui kudeta.

Negeri Ginseng menjadi penutup karier diplomatik Benny. Walaupun santer beredar berita bahwa kursi duta besar di Belanda pernah disiapkan untuknya, Benny rupanya lebih dipercaya Soeharto untuk membereskan intelijen yang porak-poranda selepas peristiwa Malari, 15 Januari 1974. Seminggu pasca-Malari, Benny pun dipanggil pulang ke Jakarta.

Di Ibu Kota, jabatan telah menanti dia. Benny menjadi Ketua Gabungan 1 Asisten Intelijen Departemen Pertahanan dan Keamanan. Setelah sembilan tahun bertugas di luar negeri, ia pun kembali ke barak, ke jalur komando.

Mengapa Soeharto memilihnya? Dalam pemahaman Benny-seperti yang tertulis dalam biografinya-Soeharto menganggap ia orang netral dan luwes yang diperlukan untuk menata kembali pucuk pimpinan jaringan intelijen Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus