Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Operasi Senyap ke Tanah Taliban

Benny menyelundupkan senjata buatan Uni Soviet ke Afganistan. Operasi ke Israel diwarnai berbagai aksi kamuflase.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Operasi Senyap ke Tanah Taliban
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KEKHAWATIRAN bahwa pasukan Uni Soviet akan menduduki Afganistan sampai ke telinga aparat intelijen Indonesia. Juga ada informasi Afganistan hanya berani menggunakan strategi perang gerilya melawan Soviet.

Fakta ini mencemaskan Amerika Serikat, yang sedang terlibat perang dingin dengan Soviet. Apalagi pasukan Taliban yang bersiap melawan Soviet itu bukanlah kelompok biasa. Mereka sebenarnya milisi yang dilatih oleh Central Intelligence Agency, dinas intelijen Amerika.

Indonesia, yang sedang mesra dengan Amerika, lantas memutuskan membantu. Pada 18 Februari 1981, Letnan Jenderal Benny Moerdani, yang waktu itu Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, berangkat ke Islamabad, Pakistan. Di sana ia bertemu dengan kepala intelijen Pakistan.

"Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afganistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afganistan," kata Marsekal Madya Purnawirawan Teddy Rusdy, pertengahan September lalu. Benny meminta Teddy menemaninya ke Islamabad. Saat itu, Teddy menjadi Perwira Pembantu VIII Staf Intel Hankam dengan pangkat kolonel udara.

Dalam pertemuan itu disepakati bahwa operasi bersama tersebut dinamai Babut Mabur atau permadani terbang. Ini operasi untuk mengirim senjata eks bantuan Soviet--yang dipakai saat Tri Komando Rakyat di Papua--ke Afganistan. Tentu saja atas persetujuan Presiden Soeharto.

Awalnya, bantuan Indonesia hendak disalurkan via Amerika. Setelah pikir-pikir, Indonesia memutuskan mengirimnya langsung ke Pakistan.

Dalam biografinya yang berjudul Think Ahead, Teddy Rusdy menyebutkan senjata itu diangkut ke Jakarta dan disimpan di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. "Waktu itu terkumpul 2.000 pucuk senjata, cukup untuk dua batalion," kata Teddy.

Namun perkara belum selesai. Asal-usul senjata-senjata tersebut harus dirahasiakan. Pekerjaan berikutnya, Teddy diperintah Benny menghapus nomor seri senjata-senjata itu. Baru pada Juli 1981, persiapan pengiriman mulai dilakukan. Semua senjata dimasukkan ke peti yang diberi tanda palang merah. Sebagai kamuflase, peralatan tempur ini dicampur bersama obat-obatan dan selimut. ??

Teddy juga ditugasi Benny mengantar peti-peti tersebut dengan kargo udara, memakai Boeing 707 milik Pelita Air. Pesawat ini diawaki Kapten Arifin, Abdullah, dan Danur.

Berdasarkan kalkulasi, jarak terdekat Jakarta ke Rawalpindi, lokasi pendaratan di Pakistan, adalah 5.400 mil. Tapi, karena rute itu melewati wilayah udara India yang pro-Soviet, pesawat dibelokkan ke laut via Pulau Diego Garcia. Jarak tempuh menjadi lebih jauh 600 mil. Di pangkalan militer milik Amerika ini, pesawat mampir mengisi bahan bakar. Teddy melukiskan Diego Garcia sebagai pulau yang indah dan nyaman. "Tapi tempatnya tertutup sekali," ujarnya.

Seluruh aktivitas Teddy dipantau Benny dari Jakarta. Benny juga meminta Teddy terus berkomunikasi dengannya melalui scrambler--peralatan komunikasi milik intelijen.

Karena operasi ini bersifat rahasia, Benny tak memberi tahu Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Pakistan, Kolonel Kavaleri Harjanto. Pengawasan selama penerbangan diserahkan kepada Kuntara, tentara intelijen yang ditempatkan di Rawalpindi.

Saat pesawat mendarat, intel Pakistan sudah siaga. Mereka membawa sekitar 20 truk. Menjelang pagi, iring-iringan bergerak melalui Attock, Nowshera, Peshawar, melalui lembah Khyber Pass, menuju Afganistan. Bantuan ini diserahkan kepada pemimpin Taliban di Nangarhar.

Menurut Teddy, dukungan untuk Taliban menunjukkan solidaritas Indonesia kepada mereka yang diinvasi. Soviet memang membantu Indonesia saat merebut Papua, tapi hubungan itu memburuk setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. "Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya, kami kasih saja," katanya.

Menyelundupkan senjata buatan Rusia ke Afganistan hanya satu dari banyak operasi intelijen yang dilakukan Benny di luar negeri. Dia pernah menjalankan misi intelijen di Malaysia pada akhir periode konfrontasi Jakarta-Kuala Lumpur. Pada 1975, ketika menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis, Benny juga terlibat bersama intelijen Amerika Serikat melarikan Presiden Kamboja Lon Nol ke Hawaii.

Adapun di Timur Tengah, selain menolong Taliban di Afganistan, Benny melakukan operasi rahasia membeli 32 pesawat tempur bekas A-4E Skyhawk milik Israel pada 1979. Nama sandinya Operasi Alpha, diambil dari huruf depan pesawat. Ini penugasan langsung dari Soeharto. Karena Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan Israel, operasi ini dijalankan dengan sangat rahasia.

Bekas Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Ashadi Tjahjadi dalam bukunya, Loyalitas tanpa Pamrih, menceritakan Benny mengancam tidak akan mengakui kewarganegaraan anggota pasukan yang ditugasi membawa pesawat itu jika misi gagal. "Yang ragu-ragu silakan kembali sekarang," kata Ashadi dalam bukunya, mengutip ucapan Benny waktu itu.

Pembelian itu merepotkan intelijen Indonesia karena mesti mengirim tim, dari teknisi hingga pilot, tanpa terendus banyak pihak. Semua identitas prajurit yang dikirim ke Israel dibuang di laut Singapura. Untuk menjaga kerahasiaan, mereka menyebut Israel dengan Arizona, negara bagian Amerika Serikat. Alamat korespondensi juga diarahkan ke Kantor Atase Pertahanan KBRI Washington.

Djoko Poerwoko, salah satu anggota tim, dalam otobiografinya Menari di Angkasa, mengisahkan bahwa awalnya mereka terbang ke Frankfurt menggunakan Lufthansa. Setelah beberapa kali ganti pesawat, mereka tiba di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Di sana, para pilot itu langsung digiring petugas tanpa sempat menyerahkan surat jalan laksana paspor. "Betapa hebatnya agen rahasia Mossad yang dapat cepat mengenali penumpang gelap tanpa paspor," kata Djoko dalam bukunya.

Latihan terbang Operasi Alpha berakhir pada 20 Mei 1980. Para penerbang gembira, tapi tak lama. Sebab, brevet dan ijazah pendidikan selama enam bulan dibakar oleh perwira intelijen penghubung di depan mata mereka. Bukan itu saja, semua barang milik para penerbang juga dibakar, termasuk peta navigasi dan peta perjalanan. Djoko menulis, "Mereka berpesan, tidak ada bukti kalau kalian pernah ke sini."

Selepas pendidikan, para penerbang itu pulang ke Indonesia melalui Washington. Selama dua pekan mereka diajak keliling Amerika, tidur di sepuluh hotel, dan mencoba berbagai moda transportasi. Mereka juga diwajibkan mengirim kartu pos ke Indonesia.

Mereka kemudian ke Arizona, masuk pangkalan US Marine Corps, Yuma Air Station. Selama tiga hari mereka menjalani pelatihan di sana. Pada hari terakhir, mereka diwajibkan berfoto seolah-olah baru diwisuda dan menerima ijazah versi Marine Corps. Salah satu pose wajibnya adalah berdiri di depan A-4 Skyhawk milik Amerika. "Ini sebagai kamuflase intelijen," kata Djoko dalam otobiografinya. Kembali ke Indonesia, mereka memamerkan Skyhawk ke publik pada peringatan ulang tahun ABRI, 5 Oktober 1980.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus