Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bertemu Sang Juru Selamat

Karena memprotes Komandan RPKAD, Benny dibuang ke Kostrad. Ali Moertopo menariknya ke dunia intelijen.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepasang kaki Letnan Satu Agus Hernoto terluka parah dalam pertempuran melawan Marinir Belanda saat operasi pembebasan Papua. Baik kaki kanan maupun kaki kiri perwira operasi Batalion I Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) itu akhirnya harus diamputasi.

Benny, yang memimpin Batalion I RPKAD, berpangkat mayor, agaknya sangat memperhatikan nasib anak buahnya itu. Maka, tatkala Komandan RPKAD Kolonel Moeng Parhadimuljo mengeluarkan kebijakan baru untuk memensiunkan perwira cacat dari kesatuan, Benny melawan keputusan tersebut.

Menurut buku biografi Sintong Hamonangan Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang ditulis Hendro Subroto, Benny menolak karena tahu keputusan itu akan berdampak pada Letnan Satu Agus Hernoto.

Akibat sikap itu, Benny dikeluarkan dari RPKAD, cikal-bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Peristiwa pahit tersebut terjadi seminggu setelah Benny kembali dari bulan madu keliling Jawa. Benny menikahi Hartini, mantan pramugari kepresidenan, pada 12 Desember 1964.

Pada 4 Januari 1965, dia menerima sepucuk surat dari Panglima TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani. Dia diminta menghadap Yani di Markas Angkatan Darat keesokan harinya.

Rupanya, Yani gerah mendengar kabar bahwa Benny menentang Moeng. Pertemuan berlangsung tegang. Keduanya berbicara dalam bahasa Belanda. Sejurus kemudian, Yani memerintahkan Benny pindah dari RPKAD ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pimpinan Mayor Jenderal Soeharto.

Benny kecewa, tapi segera menuju Markas Kostrad. Karena Soeharto tak ada, dia kembali ke Cijantung, markas RPKAD. Di Cijantung, Benny juga kemudian mendengar kabar bahwa jabatan Komandan RPKAD Kolonel Moeng Parhadimuljo akan diserahkan kepada Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Itu membuat Benny tambah kecewa. Menurut Benny, lebih pantas Letkol Widjojo Soejono, Kepala Staf RPKAD, yang menjadi komandan daripada Sarwo Edhie.

Esoknya, seusai serah-terima jabatan Komandan RPKAD, Benny mencopot semua atribut kesatuan komando dan mengembalikan baret merah ke kesatuan. Kolonel Purnawirawan Aloysius Sugiyanto, mantan intelijen di Kostrad, menduga Yani menunjuk Sarwo Edhie lantaran keduanya jebolan tentara Pembela Tanah Air dan berasal dari Purworejo, Jawa Tengah.

Peristiwa dikeluarkannya Benny dari korps baret merah itu agaknya terus membekas dalam hatinya, bahkan sampai kelak ia menjadi Panglima Angkatan Bersenjata. Ada cerita, manakala Sintong menjadi Komandan Jenderal Kopassus, pada 1985, ia pernah menyodorkan baret merah kepada Benny, yang menunggu bersama Jenderal Try Sutrisno di ruang kerjanya di Cijantung. Mereka bersiap memberikan anugerah Warga Kehormatan Baret Merah kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia Sultan Iskandar. Benny melempar baret merah itu. Suasana menjadi tegang.

Untung, tatkala tamu tiba, Benny berubah pikiran. "Ton, mana baret merah tadi?" ujarnya kepada ajudannya, Letnan Satu Tono. Mendengar itu, Sintong segera lari ke kamar kerjanya, mengambil baret merah. Benny memakainya dan Sintong merasa lega.

Di Kostrad sendiri, beberapa saat Benny menjadi perwira tanpa jabatan fungsional. Tapi, tak dinyana, ia bertemu dengan Ali Moertopo, yang pernah bersamanya dalam Komando Mandala Siaga. Ali menjabat Wakil Asisten Intelijen Kostrad berpangkat letnan kolonel.

Ali mengajak Benny bergabung di timnya. Benny dijadikan Wakil Asisten Intelijen Komando Tempur Satu di Medan. Dari sinilah karier Benny di dunia intelijen bermula. Ali bisa dibilang sebagai sang juru selamat Benny. "Kalau tak ada Ali Moertopo, Benny akan luntang-lantung di Kostrad," kata Aloysius Sugiyanto, mantan anak buah Ali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus