Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Pentas Rebo Legian

Main ketoprak sejak kecil di berbagai tobong, kini ia mentransfer ilmunya kepada kelompok-kelompok lain.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS Krisbiantoro tak akan pernah lupa keti-ka- dengan tatag ia mementaskan lakon Hadi-wi-jaya Gugur, tahun lalu. Sultan Hadiwijaya a-dalah sosok yang dihormati di tanah Jawa. Me-mentaskan kisah kematiannya bisa diang-gap- tak menghormati kebesaran pendiri Kerajaan Pa-jang- itu. Apalagi, pentas itu dilakonkan di kawasan Pa-jang, Kartasura, tepatnya di tobong yang berdiri me-gah di Kebon Seni Timasan milik Ki Anom Suro-to-.

”Waktu itu saya sendiri yang memerankan Hadiwi-jaya,” ujar seniman ketoprak asal Klaten ini. ”Jadi, ka-lau ada apa-apa, biarlah saya yang menanggung.” Pertunjukan untuk mengisi pentas rutin setiap Rebo Le-gi itu akhirnya berjalan lancar. Tidak terjadi sesu-a-tu- yang buruk sesudahnya. Di panggung, Hadiwijaya me-mang gugur. Sebaliknya, dalam keseharian, nama A-gus, kini 39 tahun, kian kukuh dalam perkembang-an- jagat ketoprak.

Pentas rutin itu, acap disebut Rebo Legian, adalah per-tunjukan ketoprak yang dimainkan para dalang da-ri Solo dan sekitarnya. Agus sejak awal dipercaya me-nyutradarai para dalang kondang itu agar enak di-ton-ton. Dengan peran itu, Agus leluasa memilih la-kon-, termasuk Hadiwijaya Gugur yang menimbulkan su-asana giris itu.

Agus masuk ke komunitas dalang atas permintaan Ki Anom Suroto. Tentu saja Anom tak asal tunjuk. Re-pu-tasi Agus sebagai tokoh ketoprak sudah kondang. Se-belumnya ia banyak melakukan pembaruan di be-r-bagai kelompok yang bertebaran dari Wonogiri, So-lo-, Sragen, Purwodadi, sampai Pati. Pengaruhnya bah-kan juga sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur.

Pada kelompok-kelompok tradisional itulah ia me-nge-nalkan konsep-konsep pertunjukan yang sebelum-nya- jarang disentuh seperti dramaturgi, akting, blo-king-, dan pengenalan pementasan berdasarkan naskah. Dia tahu persis, selama ini pentas ketoprak hanya mengandalkan improvisasi di atas panggung. ”I-tu sebabnya, mereka sering tak tahu tempo, sehing-ga- ada adegan yang berpanjang-panjang,” kata pria gon-drong ini. Dengan naskah, alur adegan bisa diatur dan penonton jadi tak bosan.

Agus bukanlah orang teater, tak pula pernah me-nge-cap sekolah akting. Ia sepenuhnya mempelajari e-lemen-elemen pertunjukan setelah malang-melin-tang- di panggung ketoprak puluhan tahun lamanya. Jam- terbangnya sudah tercatat di banyak tobong keto-prak- yang bertebaran dari pedalaman hingga pantai u-tara Jawa Tengah dasawarsa 1970 dan 1980-an.

Lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, per-kenalan pertamanya dengan panggung ketoprak ter-jadi saat usia enam tahun. Waktu itu ia diajak Ju-rit-, pakdenya, berlibur ke Lampung. Entah dapat wang-sit dari mana, Jurit yang juga pemain ketoprak se-tempat mengajaknya naik panggung. Agus cilik ke-ba-gian meng-isi sesi dagelan. ”Penonton ketawa bu-kan- karena saya lucu, tapi merasa unik ada dagelan ci-lik,” kata Agus. Selama sebulan Agus mengocok pe-rut peno-nton. Ketika liburan usai dan kembali ke Ran-dulanang, Klaten, Agus mengantongi honor Rp 6.000.

Bakat seni Agus sebetulnya sudah terlihat sebelum ia ngetoprak di Lampung. Pada usia lima tahun ia su-dah- bisa memainkan gendang secara otodidak. Saat i-tu, ia kerap mengambil alih posisi pemain gendang da-ri kelompok pengamen cokek-an. ”Saya mengamatinya, lalu begitu saja bisa ketika mencobanya.”

Ia kian gandrung dengan kesenian karena sering diajak ibunya yang tergabung dalam grup karawitan- Tir-to Kencono. Saat itu masih murid kelas empat SD. Tak hanya menguasai peranti gamelan, alat-alat mu-sik- modern pun segera dikuasainya. Gitar dan ketipung semua dipelajarinya secara otodidak.

Panggung ketoprak kembali dijamahnya ketika du-duk di kelas 1 SMA Muhammadiyah, Klaten. Saat itu De-sa Randulanang mengadakan pentas ketoprak me-nyam-but perayaan 17 Agustusan. Agus diminta menja-di- pemeran utama sebagai Panji Gunungsari dalam la-kon Panji Asmorobangun. Ia lincah memainkan la-kon- itu. Kemampuan ngetoprak-nya sudah komplet: se-lain karawitan, ia mampu pula nggendhing alias nem-bang. Hingga kini ia sendiri tak mengerti kenapa bi-sa melakukan semua itu secara otodidak. ”Barang-ka-li ini karunia Allah,” kata Agus.

Agus lahir sebagai anak yatim. Ayahnya meninggal ke-tika ia dalam kandungan. Ketika berusia enam ta-hun-, ibunya kawin lagi dengan pensiunan tentara. ”Ia la-lu saya anggap sebagai bapak sendiri,” kata Agus.

Belakangan, hubungan Agus dengan orang tuanya- tak mulus. Tamat SMA, ia pergi tanpa pamit dan bergabung dengan tobong Sekar Budaya pimpinan Kendrandi di Desa Klepu, Ceper, Klaten. Inilah kehi-dupan- pertamanya dengan komunitas tobong de-ngan se-gala cap yang melekat padanya. Konon, orang-o-rang tobong dikenal suka berjudi, minum-minum, dan gonta-ganti pacar.

Agus mengaku berusaha untuk tak terpengaruh per-gaulan bebas seniman ketoprak. Bekalnya lumayan-: i-a lulus dari sekolah Muhammadiyah. ”Saya tak i-ngin la-rut. kalau bisa, ingin mengubahnya,” katanya. Se-kar- Budaya menjadi awal misinya Agus mengubah ci-tra- ketoprak. Kelak, di tobong-tobong lain yang digelu-ti-nya pun Agus mempertahankan- sikap se-rupa.

Di Sekar Budaya itu pulalah namanya diubah. Ken-dran-di menganggap nama lahirnya, Agus Widodo, ku-rang ”nyeni”. Akhirnya ia memberi nama Agus Kris-bian-toro. Hingga kini nama itulah yang lebih di-ke-nal.

Di kelompok ini pula, beberapa tahun kemudian A-gus menyunting Lis Damayanti, primadona Sekar Bu-daya. Kini, dengan dua anak, rumah tangganya ber-tahan hingga 18 tahun. Bertahan dengan satu is-tri- adalah juga caranya menolak kultur tobong yang per-mi-sif terhadap praktek gonta-ganti pasangan. ”Ini su-dah- prinsip saya.”

Dari Sekar Budaya, Agus bertualang dari satu to-bong- ke tobong lain. Di antaranya kelompok Darmo Mu-do pimpinan Yusuf Agil di Jepara, lalu ke Wargo Bu-doyo, Klaten, Budoyo Jati pimpinan Teguh Srimu-lat- di Solo dan Wahyu Budoyo di Kediri. Agus menye-rap- ilmu penyutradaraannya dari Yusuf Agil, yang kemudian ia terapkan di tobong-tobong lain. Di sela-se-la periode nobong itu, Agus ikut ketoprak gabungan- di beberapa tempat. Antara lain ia main bersama Yati Pe-sek di Yogyakarta.

Karier ketopraknya kian gemilang saat ia diminta- se-buah stasiun televisi menggarap 13 episode keto-prak-. Kepercayaan ini diraihnya setelah sebelumnya i-a sukses menggarap tiga episode. Saat itu Agus kem-ba-li mentransfer ilmu kepada kelompok-kelompok la-in seperti Purwo Budoyo (Purwodadi), Saraswati- (Wonogiri), Sri Budoyo (Solo), dan Janger (Banyuwa-ngi-).

Tak hanya menyutradarai mereka, Agus juga main, meng-garap gendhing, dan menulis naskah yang sarat pe-san sejarah. Dalam menulis naskah, pria ini seperti- tak kehabisan ide. Modalnya menulis memang tak se-di-kit. Di rumahnya ia menyimpan buku-buku seja-rah se-perti Negarakertagama dan Pararaton (Majapahit), Ba-bad Tanah Jawi (Demak dan Mataram), Serat Ramayana dan Serat Mahabarata, dan tujuh jilid buku ka-rangan Padmosukotjo. ”Saya juga banyak pinjam bu-ku ke Pak Widayat (tokoh ketoprak Yogyakarta) dan almarhum Pak Siswondo,” kata Agus. Siswondo a-dalah pemimpin Siswo Budoyo.

Berpengalaman menularkan ilmu ke banyak seni-man- ketoprak, Agus memutuskan tak menetap pada sa-tu kelompok, apalagi membentuk kelompok sendi-ri.- ”Saya ingin ada Agus-Agus lain di mana-mana,” ka-tanya. Ia malah mengompori anak buahnya agar mem-bentuk kelompok sendiri.

Setidaknya, semangat yang dipompakan Agus itu berhasil membuat Loso Carito dan Markonyik, dua a-nak buanya, berani mentas. Keduanya membentuk dan memimpin kelompok sendiri. Loso moncer de-ngan- Purwo Budoyo dan Markonyik kondang di Pati se-kitarnya dengan Kelompok Markonyik.

Agus sendiri tak pusing dengan ”kariernya”. Seca-ra- material, panggung ketoprak benar-benar telah mem-berinya kehidupan dalam arti harfiah. Dari permin-ta-an jadi sutradara, bermain ketoprak gabungan, hing-ga menulis naskah, ia bisa membuat dapurnya ber-asap. Anak-anaknya tak ada yang putus sekolah. Dari nge-toprak Agus punya dua mobil keluaran 1991.

Kini, Agus adalah katalisator dunia ketoprak di Ja-wa- dengan segudang ide di benaknya. Festival Keto-prak- di Solo pada Februari lalu adalah salah satu ge-bra-kannya bersama tokoh-tokoh setempat, termasuk A-nom Suroto. Ia merasa beruntung ada tokoh sekali-ber- Ki Anom Suroto yang bersedia mewadahi gejolak kre-atifnya. ”Saya benar-benar terharu dengan perha-ti-an Pak Anom pada dunia ketoprak,” katanya.

Tulus Wijanarko, Anas Syahirul

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus