Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yanusa Nugroho
KETOPRAK adalah kata yang menimbulkan gambaran indah masa lalu di benak saya. Jauh sebelum mengenal kelompok Siswo Bu-doyo pimpinan almarhum Ki Siswondo, saya akrab dengan tontonan ini, di samping ludruk dan wayang orang.
Seingat saya, di Surabaya pada akhir 1960-an, ketoprak dan wayang orang tidak terlalu dibedakan. Pada hari-hari tertentu kelompok wayang orang Sri Wandowo, misalnya, mementaskan kisah Anglingdar-ma, yang sebetulnya termasuk kisah ketoprak.
Padahal kesenian ketoprak menyebar hampir di seluruh pelosok Jawa. Tetapi rasanya, sejak kelompok Siswo Budoyo pimpinan Ki Siswondho H.S. dari Tulungagung sukses keliling sekitar 1978-an, kelompok khusus ketoprak menjamur.
Jujur saja, ketika kecil saya lebih suka menonton ketoprak ketimbang wayang orang. Alasannya sederhana: bahasa ketoprak lebih ”membumi”, ceritanya le-bih seru, dan pemainnya tidak menari seperti wa-yang orang. Ketika kelompok Wayang Orang Sri Wandowo mementaskan kisah berseri Prabu Anglingdarma, saya merengek agar dibelikan karcis terusan. Saya ingin menyaksikan ”lakon ketoprak” melalui pementasan wayang orang.
Saya tak ingat lagi setiap hari apa Sri Wandowo mementaskan lakon ketoprak. Yang saya ingat kini ada-lah rangkaian peristiwa sejak Maeru Supadmo—raksasa murid Prabu Jayabaya yang mbalela—yang membuat Anglingdarma kecil terpental jauh. Lalu perjalanan Batik Madrim mencari rajanya.
LAKON-lakon ketoprak—oleh para ahli digolongkan sebagai wayang madya—memiliki babon kisah berbeda dari wayang orang/wayang kulit. Kisah sejarah, kisah sempalan sejarah atau tokoh agama me-n-jadi menu utama.
Maka kita akan bersua dengan Ranggalawe, t-okoh Majapahit yang memberontak; sampai Kebo Marcuet, pemberontak lain dari carangan. Ada juga Damarwulan dan Ki Ageng Pemanahan. Ada lagi kisah romantik Bremana-Bremani, Sri Tanjung, dan Saridin, Abunawasnya Jawa. Lakon-lakon itu bagi saya terasa lebih dekat dibandingkan kisah wayang Mahabharata- atau Ramayana.
Setelah ”tersangkut” di Jakarta, saya hampir tak pernah menyaksikan ketoprak lagi. Dulu kerinduan sedikit terobati dengan mendengarkan siaran ketoprak di radio (masih adakah stasiun radio di Jakarta sekarang yang menyajikan ketoprak?). Tetapi suasana menonton: aroma kretek, kerkah kulit kacang, gelak tawa terpingkal-pingkal, atau keadaan senyap beku ketika adegan sedih berlangsung, kini hampir tak ada lagi.
Apa boleh buat, menonton kesenian tradisi tak bisa ”dihalangi” teknologi. Kesenian tradisi bersifat inte-r-aktif. Suasana terbangun bukan karena sorot lampu, efek komputer, gemerlap pakaian, serta cantik-gagah-nya si pemain. Suasana terbangun dan kita terserap ke dalamnya justru oleh kedekatan tontonan dan penontonnya. Ini yang membuat saya merasa kian ”terkucilkan” dari sesuatu yang membesarkan saya.
Apalah arti tontonan jika tidak menyentuh ”rasa”? Itulah yang ada pada kebanyakan tontonan saat ini, entah di panggung atau di layar kaca. Kesenian tradisi, termasuk ketoprak, menawarkan sikap le-bih ter-buka. Dengan ”enaknya” tontonan tradisi bisa ber-ubah situasi: dari sedih ke gembira, tanpa merusak adegan.
Dalam salah satu episode Anglingdarma, misalnya, muncul adegan menyedihkan ketika Dewi Setyawati- berniat membakar diri. Saat adegan memilukan itu berlangsung, seorang dayang juga berpamitan kepada suaminya untuk mengikuti junjungannya. ”Se-peninggalku, jangan lupa utang-utangku kamu lunasi,” katanya. Penonton tergelak. Tetapi nuansa sedih tidak berantakan.
KETOPRAK banyak memberikan ”makanan” bagi saya. Saya ingin sekali berbagi keindahan masa kecil itu dengan mengajak anak-anak saya menonton ketoprak. Tapi ke mana saya harus mencarinya? Jarak yang terbentang antara anak saya dan ketoprak sudah terlalu jauh. Bukan hanya bahasa, tetapi juga soal menyikapi tontonan itu.
Ketoprak kerap memunculkan dialog cerdas dan me-nyentuh. Dalam ketoprak, butir-butir pemikiran bebas, bernas, dan penuh perenungan terucap. Orang, misalnya, bakal terpana dengan alasan Rangga-lawe ketika memimpin Tuban melawan Majapahit. Sampai sekarang Ranggalawe masih— setidaknya secara diam-diam—dipuja oleh orang Tuban. Ketoprak memberikan ruang perenungan dan inspirasi.
Kini kabarnya ketoprak kian mengering, meranggas dan mati satu demi satu. Ketika ”budaya instan” kita jalani beramai-ramai (agar dosanya ditan-ggung ramai-ramai), ketika pembangunan hanya untuk mal, toko, dan restoran, dan bukan untuk gedung -ke-senian, kita seakan beramai-ramai membunuh -ke-senian kita sendiri.
Kita seolah parlemen Romawi yang membunuh Kaisar Julius dari berbagai arah. Pedang-pedang ketakpedulian, pedang keserakahan, pedang politis, kepongahan, atas nama manusia modern, atas nama moral (agama?), menghunjam habis kesenian tradisi-o-nal. Dan, kita masih saja ingin dianggap berbudaya.
Saya tiba-tiba merindukan sosok Saridin yang lucu, cerdas, dan berani mengkritik, kepada para su-nan-. Saya tiba-tiba rindu akan kesetiaan Sri Tanjung-. Saya memimpikan ketegasan Ranggalawe. Juga kecer-dasan Anglingdarma. Saya merindukan ketoprak, merindukan kemanusiaan....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo