Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRING-iringan dua truk itu hanya bisa berjalan- me-rambat. Jalan menuju Desa Terteg, Kecamatan Pu-cakwangi, Pati, rusak parah. Tetapi tak ada yang mengeluh. Rombongan seniman ketoprak yang tergabung dalam Kelompok Konyik itu su-dah- biasa menghadapinya. Juga Senin pekan lalu, ke-ti-ka matahari menyengat garang di atas kepala.
Terpisah agak jauh, sebuah mobil jip yang dikenda-ra-i pimpinan kelompok itu, Marko-nyik-, 35 tahun, menyusul kemudian. Di sepanjang jalan warga desa me-nyam-but hangat. Mereka melamba-i-lam-baikan tangan atau menyapa sebisanya. Penduduk tak sabar me-non-ton ketoprak dari kelompok yang tengah kondang di Pati ini. Ter-letak sekitar 45 kilometer dari Pa-ti, warga Terteg yang tandus itu tak banyak pilihan hiburan.
Desa itu dihuni sekitar 1.600 ji-wa. Sandaran hidup mereka a-da-lah sawah tadah hujan tanpa- i-ri-gasi. Selain menanam padi, se-bagian penduduk menanam bawang- dan cabe. Penduduk percaya, cara ampuh mengalah-kan- hidup yang sulit adalah menggelar upacara Sede-kah- Bumi. Dengan upacara itu, rezeki bakal mengalir da-ri Yang Mahakuasa. Yang unik: upacara Sedekah Bu-mi sama artinya dengan menanggap ketoprak.
”Sudah empat kali upacara Sedekah Bumi kami me-mang-gil Konyik,” ujar Sumardi, ketua panitia. Biaya Rp 6 juta yang mesti dikeluarkan ditanggung warga- ra-mai-ramai. Setiap keluarga mengulurkan Rp 25 ri-bu-. Akhirnya, terhimpun Rp 11 juta—lebih dari cukup- un-tuk menanggap Konyik.
Kini rombongan idola orang kampung itu sudah se-makin dekat ke desa. Selain sedan, ada truk yang meng-angkut pemain dan peralatan panggung. Seba-gian lain mengendarai sepeda motor. Di sepotong ru-as- jalan yang rusak berat, truk peralatan hampir ter-pe-rosok. Tetapi semua dapat diatasi.
Sesampai di lokasi, di sebuah tanah lapang, kru pang-gung dan karawitan bergerak cepat. Me-re-ka -sigap- membangun panggung 9x8 meter len-gkap d-e-ngan- 12 layar latar. Diesel listrik disetel agar berope-rasi sem-purna.
Kelompok ini akan bermain siang dan malam. Mu-la-i- pukul satu siang sampai sore, mereka akan memen-tas-kan lakon Kasunanan Kalijaga. Malamnya, pukul de-lapan hingga dini hari, lakon Maling Kopo. ”Lakon se-jarah memang paling disukai penonton,” ujar Konyik-. Selain itu, ki-sahkisah dari babad dan legenda tak sepi pe-mi-nat.
Sementara di halaman- kru- sibuk menata pang-gung-, para pemain masuk- ke balai desa me-nyi-apkan diri. Ruangan 10x15 meter itu kini beralih fung-si menjadi bilik serbaguna. Sebagian digunakan un-tuk kamar rias, sebagian untuk menata perangkat ga-melan. Hartono, 40 tahun, yang akan berperan seba-ga-i Raden Sahid, tampak duduk di satu sudut mengha-dap- kaca. Tangannya sibuk merias muka agar mencip-ta-kan karakter Raden Sahid yang berangasan.
Di sudut lain, Sri Poncowati, 30 tahun, tak kalah si-buk-. Janda dua anak berparas elok ini akan berperan se-bagai Roswulan, adik sang Raden. Sri sebenarnya ting-gal di Sragen dan baru dua tahun terakhir berga-bung- dengan Konyik. ”Setiap ada order, Mas Konyik me-nelepon saya,” katanya sambil berdandan. Sekali pen-tas dia dibayar Rp 150 ribu.
Kelompok Konyik yang berdiri dua tahun lalu kini te-ngah kondang. Namanya tidak saja besar di Pati, ta-pi- juga ke kabupaten sekitarnya seperti Jepara, Rem-bang-, Blora, Grobogan, dan Bojonegoro. Pada bulan-bu-lan ramai, kelompok yang dirintis kakak-beradik Ko-nyik dan Mogol ini bisa pentas 27 kali. Hal itu biasa-nya terjadi pada bulan Jumadilawal hingga Ru-wah-. ”Bah-kan, pernah satu bulan full main tanpa istirahat-,” ujar Mogol.
Setengah jam sebelum pertunjukan, semua pe-main- sudah siap. Mereka lalu berkumpul mendengar pe-ng-arahan sutradara. Grup Konyik memiliki tiga su-tra-dara: Agus Subekti, Dian Karyono, dan Darsuki, de-ngan spesialisasi berbeda-beda. Agus ahli mengga-rap- cerita legenda. Darsuki fokus pada cerita seja-rah. Di-an Karyono kerap menggarap cerita rakyat. ”Tugas- ka-mi hanya memberikan kerangka cerita dan memba-gi- peran,” ujar Darsuki kepada Tempo. Di panggung, pemainlah yang akan berimprovisasi.
Kini mereka siap beraksi. Di depan panggung, se-ki-tar 500 penonton sudah tak sabar menunggu. Mata-ha-ri- siang bolong yang memanggang tubuh tak menyu-rutkan antusiasme mereka. Anak-anak dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, memilih tempat terbaik masing-masing. Tak sedikit yang merasa nya-man- duduk di tanah tanpa alas. Kehangatan suasana se-gera menjalar.
Lakon Kasunanan Kalijaga adalah kisah tentang ter-usirnya Raden Sahid, anak Bupati Tuban, karena i-a berandalan. Di perjalanan meninggalkan Tuban, Ra-den Sahid bertemu Brandal Loka dan Jaya—dua pre-man lokal. Pertengkaran tak terelakkan. Raden Sa-hid bertarung dan mengalahkan kedua begundal. Ke-ajaiban terjadi ketika roh kedua begal ini masuk ke- tubu-h-nya. Singkat cerita, Sahid kemudian ber-te-mu- Sunan Bonang dan ia berubah jadi orang baik. Ke-lak, Raden Sahid inilah yang dikenal sebagai Sunan- Ka-lijaga.
Plot cerita kemudian bercabang ketika Rosowulan-, a-dik Sahid, mengembara mencari sang kakak. Di per-jalanan Wulan menjalani topo ngidang: bertapa te-lan-jang- bulat dan berjalan merangkak.
Tak hanya khusyuk menyimak ajaran para sunan-, pe-nonton juga terhibur ketika duet Konyik-Mogol tam-pil- melawak. Pasangan ini punya seribu cara mengo-cok- perut. Mereka menembang pangkur, dandanggu-la-, sinom, atau asmaradana. Duet bersaudara itu juga me-nyuguhkan lagu-lagu dangdut, pop, dan rock. Tak- mengherankan bila di sela-sela gamelan tampak ter-se-lip pula gitar, keyboard, dan drum. Lagu milik Pe-ter-pan atau Jamrud fasih mereka dendangkan.
Saat mendagel, Konyik-Mogol tak melewatkan ke-sem-patan menyentil situasi politik. Kata Konyik, pang-gung ketoprak beda dengan panggung politik.- ”Ka-lau ketoprak, yang ada hanya nyuwun sewu (per-mi-si). Tapi di panggung politik yang ada nyuwun (min-ta) Rp 100 juta sampai Rp 1 miliar.” Penonton ter-ba-hak.
Sore itu pentas pertama berlangsung sukses. Penon-ton- puas dan beranjak pulang. Tetapi para pemain kem-bali berkumpul di balik panggung mendiskusikan- pe-nampilan yang baru saja lewat. Mereka juga mempersiapkan pentas malam harinya.
Pentas malam hari dibanjiri penonton lebih banyak-. Ke-tika gelap mulai turun, rombongan penonton mu-lai berdatangan bahkan dari luar Terteg. Mereka anta-ra- lain datang dari Desa Mantingan, Kletek, dan A-ru-manis. ”Saya perkirakan seluruhnya ada 3.000 penonton,” ujar Mogol. Mereka berdesakan bersama pa-ra pedagang tiban yang ikut meramaikan malam. Me-reka menjajakan mainan anak, pakaian, dan pelba-ga-i makanan.
Konyik cs kembali mengulang sukses pertunjukan se-belumnya. Hingga dini hari penonton terpaku di tem-patnya masing-masing. Dingin udara pagi me-rayap- tapi tak bisa mengalahkan hangat suasana- me-non-ton ketoprak. Kesulitan hidup warga desa se-men-tara pupus—setidaknya hingga kokok ayam terde-ngar.
TW/Bandelan Amaruddin (Pati)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo