Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suatu Malam di Tanah Tandus

Pentas ketoprak tanggapan di Pati, Jawa Tengah, kerap berlangsung dari siang hingga dini hari. Cara singkat melawan kemiskinan.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRING-iringan dua truk itu hanya bisa berjalan- me-rambat. Jalan menuju Desa Terteg, Kecamatan Pu-cakwangi, Pati, rusak parah. Tetapi tak ada yang mengeluh. Rombongan seniman ketoprak yang tergabung dalam Kelompok Konyik itu su-dah- biasa menghadapinya. Juga Senin pekan lalu, ke-ti-ka matahari menyengat garang di atas kepala.

Terpisah agak jauh, sebuah mobil jip yang dikenda-ra-i pimpinan kelompok itu, Marko-nyik-, 35 tahun, menyusul kemudian. Di sepanjang jalan warga desa me-nyam-but hangat. Mereka melamba-i-lam-baikan tangan atau menyapa sebisanya. Penduduk tak sabar me-non-ton ketoprak dari kelompok yang tengah kondang di Pati ini. Ter-letak sekitar 45 kilometer dari Pa-ti, warga Terteg yang tandus itu tak banyak pilihan hiburan.

Desa itu dihuni sekitar 1.600 ji-wa. Sandaran hidup mereka a-da-lah sawah tadah hujan tanpa- i-ri-gasi. Selain menanam padi, se-bagian penduduk menanam bawang- dan cabe. Penduduk percaya, cara ampuh mengalah-kan- hidup yang sulit adalah menggelar upacara Sede-kah- Bumi. Dengan upacara itu, rezeki bakal mengalir da-ri Yang Mahakuasa. Yang unik: upacara Sedekah Bu-mi sama artinya dengan menanggap ketoprak.

”Sudah empat kali upacara Sedekah Bumi kami me-mang-gil Konyik,” ujar Sumardi, ketua panitia. Biaya Rp 6 juta yang mesti dikeluarkan ditanggung warga- ra-mai-ramai. Setiap keluarga mengulurkan Rp 25 ri-bu-. Akhirnya, terhimpun Rp 11 juta—lebih dari cukup- un-tuk menanggap Konyik.

Kini rombongan idola orang kampung itu sudah se-makin dekat ke desa. Selain sedan, ada truk yang meng-angkut pemain dan peralatan panggung. Seba-gian lain mengendarai sepeda motor. Di sepotong ru-as- jalan yang rusak berat, truk peralatan hampir ter-pe-rosok. Tetapi semua dapat diatasi.

Sesampai di lokasi, di sebuah tanah lapang, kru pang-gung dan karawitan bergerak cepat. Me-re-ka -sigap- membangun panggung 9x8 meter len-gkap d-e-ngan- 12 layar latar. Diesel listrik disetel agar berope-rasi sem-purna.

Kelompok ini akan bermain siang dan malam. Mu-la-i- pukul satu siang sampai sore, mereka akan memen-tas-kan lakon Kasunanan Kalijaga. Malamnya, pukul de-lapan hingga dini hari, lakon Maling Kopo. ”Lakon se-jarah memang paling disukai penonton,” ujar Konyik-. Selain itu, ki-sahkisah dari babad dan legenda tak sepi pe-mi-nat.

Sementara di halaman- kru- sibuk menata pang-gung-, para pemain masuk- ke balai desa me-nyi-apkan diri. Ruangan 10x15 meter itu kini beralih fung-si menjadi bilik serbaguna. Sebagian digunakan un-tuk kamar rias, sebagian untuk menata perangkat ga-melan. Hartono, 40 tahun, yang akan berperan seba-ga-i Raden Sahid, tampak duduk di satu sudut mengha-dap- kaca. Tangannya sibuk merias muka agar mencip-ta-kan karakter Raden Sahid yang berangasan.

Di sudut lain, Sri Poncowati, 30 tahun, tak kalah si-buk-. Janda dua anak berparas elok ini akan berperan se-bagai Roswulan, adik sang Raden. Sri sebenarnya ting-gal di Sragen dan baru dua tahun terakhir berga-bung- dengan Konyik. ”Setiap ada order, Mas Konyik me-nelepon saya,” katanya sambil berdandan. Sekali pen-tas dia dibayar Rp 150 ribu.

Kelompok Konyik yang berdiri dua tahun lalu kini te-ngah kondang. Namanya tidak saja besar di Pati, ta-pi- juga ke kabupaten sekitarnya seperti Jepara, Rem-bang-, Blora, Grobogan, dan Bojonegoro. Pada bulan-bu-lan ramai, kelompok yang dirintis kakak-beradik Ko-nyik dan Mogol ini bisa pentas 27 kali. Hal itu biasa-nya terjadi pada bulan Jumadilawal hingga Ru-wah-. ”Bah-kan, pernah satu bulan full main tanpa istirahat-,” ujar Mogol.

Setengah jam sebelum pertunjukan, semua pe-main- sudah siap. Mereka lalu berkumpul mendengar pe-ng-arahan sutradara. Grup Konyik memiliki tiga su-tra-dara: Agus Subekti, Dian Karyono, dan Darsuki, de-ngan spesialisasi berbeda-beda. Agus ahli mengga-rap- cerita legenda. Darsuki fokus pada cerita seja-rah. Di-an Karyono kerap menggarap cerita rakyat. ”Tugas- ka-mi hanya memberikan kerangka cerita dan memba-gi- peran,” ujar Darsuki kepada Tempo. Di panggung, pemainlah yang akan berimprovisasi.

Kini mereka siap beraksi. Di depan panggung, se-ki-tar 500 penonton sudah tak sabar menunggu. Mata-ha-ri- siang bolong yang memanggang tubuh tak menyu-rutkan antusiasme mereka. Anak-anak dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, memilih tempat terbaik masing-masing. Tak sedikit yang merasa nya-man- duduk di tanah tanpa alas. Kehangatan suasana se-gera menjalar.

Lakon Kasunanan Kalijaga adalah kisah tentang ter-usirnya Raden Sahid, anak Bupati Tuban, karena i-a berandalan. Di perjalanan meninggalkan Tuban, Ra-den Sahid bertemu Brandal Loka dan Jaya—dua pre-man lokal. Pertengkaran tak terelakkan. Raden Sa-hid bertarung dan mengalahkan kedua begundal. Ke-ajaiban terjadi ketika roh kedua begal ini masuk ke- tubu-h-nya. Singkat cerita, Sahid kemudian ber-te-mu- Sunan Bonang dan ia berubah jadi orang baik. Ke-lak, Raden Sahid inilah yang dikenal sebagai Sunan- Ka-lijaga.

Plot cerita kemudian bercabang ketika Rosowulan-, a-dik Sahid, mengembara mencari sang kakak. Di per-jalanan Wulan menjalani topo ngidang: bertapa te-lan-jang- bulat dan berjalan merangkak.

Tak hanya khusyuk menyimak ajaran para sunan-, pe-nonton juga terhibur ketika duet Konyik-Mogol tam-pil- melawak. Pasangan ini punya seribu cara mengo-cok- perut. Mereka menembang pangkur, dandanggu-la-, sinom, atau asmaradana. Duet bersaudara itu juga me-nyuguhkan lagu-lagu dangdut, pop, dan rock. Tak- mengherankan bila di sela-sela gamelan tampak ter-se-lip pula gitar, keyboard, dan drum. Lagu milik Pe-ter-pan atau Jamrud fasih mereka dendangkan.

Saat mendagel, Konyik-Mogol tak melewatkan ke-sem-patan menyentil situasi politik. Kata Konyik, pang-gung ketoprak beda dengan panggung politik.- ”Ka-lau ketoprak, yang ada hanya nyuwun sewu (per-mi-si). Tapi di panggung politik yang ada nyuwun (min-ta) Rp 100 juta sampai Rp 1 miliar.” Penonton ter-ba-hak.

Sore itu pentas pertama berlangsung sukses. Penon-ton- puas dan beranjak pulang. Tetapi para pemain kem-bali berkumpul di balik panggung mendiskusikan- pe-nampilan yang baru saja lewat. Mereka juga mempersiapkan pentas malam harinya.

Pentas malam hari dibanjiri penonton lebih banyak-. Ke-tika gelap mulai turun, rombongan penonton mu-lai berdatangan bahkan dari luar Terteg. Mereka anta-ra- lain datang dari Desa Mantingan, Kletek, dan A-ru-manis. ”Saya perkirakan seluruhnya ada 3.000 penonton,” ujar Mogol. Mereka berdesakan bersama pa-ra pedagang tiban yang ikut meramaikan malam. Me-reka menjajakan mainan anak, pakaian, dan pelba-ga-i makanan.

Konyik cs kembali mengulang sukses pertunjukan se-belumnya. Hingga dini hari penonton terpaku di tem-patnya masing-masing. Dingin udara pagi me-rayap- tapi tak bisa mengalahkan hangat suasana- me-non-ton ketoprak. Kesulitan hidup warga desa se-men-tara pupus—setidaknya hingga kokok ayam terde-ngar.

TW/Bandelan Amaruddin (Pati)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus