Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Keprak Ketoprak Bertalu-talu

Lama mati suri, ketoprak to-bong surut dan berganti men-ja-di ketoprak tanggapan-. Yang per-tama merepresen-tasikan bu-kan h-anya keto-prak sebagai ke-se-nian me-lainkan juga komu-ni-tas—pa-ra- pemain dan kru selama ber-bulan-bulan ting-gal da-lam to-bong, ba-ngu-nan tidak per-manen yang dibong-kar pa-sang dan di-bawa dari satu tem-pat pementasan ke tempat lainnya.

Ketoprak tanggapan le-bih- sim-pel: pemain ha-nya- ber-kumpul jika a-da yang menanggap. Di pantai utara Jawa, grup-grup kese-nian ini tumbuh dan menjadi sandaran hidup para pelakunya. Era tobong memang sudah ber-akhir, terutama setelah Siswo Budoyo Tulungagung tutup layar pada 2001. Yang lain bagai tercekik: penonton enggan mendatangi pementasan tobong dan menggantinya dengan sinetron dan dangdut di televisi.

Pada akhir Februari lalu sebuah festival ketoprak digelar di Solo, Jawa Tengah. Suara keprak, kentongan kayu yang dipukul untuk menandai pergantian adegan tobong, nyatanya tak pernah benar-benar surut.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULARTO memukul-mukul kendang sendirian di bawah panggung. Ritmenya tak begitu ter-atur-, tetapi tampak sekali lelaki 36 tahun itu begi-tu menikmati permainannya. Di panggung, em-pat lelaki bergeletakan mengaso sambil ngo-brol ngalor-ngidul. Udara panas sekali. Siang itu di tobong ketoprak milik Ki H Anom Suroto, Timasan, Sukoharjo, ia bersama rekan-rekannya baru saja menuntaskan latihan. Malam nanti, mereka akan beraksi membawakan lakon legendaris berjudul Sum-pah Palapa.

Sularto bukan pemain utama dalam kelompok Ketoprak Guyub Dalang Sukowati, Sragen, Jawa Te-ngah. Ia hanyalah pemain comotan khusus untuk adegan perang—biasa disebut wayang kepruk. Melihat postur tubuhnya yang langsing tapi liat itu, Larto memang cocok unjuk keterampilan bersilat di atas panggung. ”Tetapi gara-gara itu saya belum pernah naik pangkat dalam ketoprak,” katanya masam.

Bermain ketoprak sejak lulus SD pada 1987 di dusun kelahirannya, Tambakselo, Ngawi, Jawa Timur, ia memang langsung kebagian peran keprukan. Kete-rampilannya bersilat ia peroleh dari Darmaji, seorang pemain ludruk keliling yang suatu ketika mampir ke dusunnya. Untuk biaya latihan, ”Waktu itu per hari saya cuma membayar sebungkus rokok Bentoel dan air kelapa muda,” cerita Larto.

Dia lalu bergabung dengan kelompok tobong Wah-yu Budoyo dan berkeliling selama sembilan tahun. Lepas dari sini, ia bertualang ke berbagai tobong dan berlabuh di Setiyo Budoyo, Ngawi, sampai sekarang.

”Tetapi saat ini sedang sepi tanggapan, maka saya mau saja diajak main Pak Eko di festival ini,” kata-nya. Eko Wahyu adalah pimpinan Guyub Dalang Sukowati. Mereka hadir di tobong Anom Suroto pada akhir Februari lalu, sebagai peserta Festival Ketoprak Se-Jawa Tengah. Festival ini diprakarsai oleh Guyub Dalang Surakarta yang dipimpin GPH Benowo, Ki H Anom Suroto, dan Ki H Manteb Sudarsono.

Dalam kalender Jawa, bulan Pasa hingga Sura ada-lah masa paceklik bagi kelompok ketoprak. Pada bulan-bulan itu tak banyak orang yang memiliki hajat, dus tak ada tanggapan. Mendirikan tobong dan berharap orang akan datang sendiri juga sudah tidak mungkin. Era ketoprak tobong sudah lewat bers-ama matinya Kelompok Siswo Budoyo, Tulungagung, pa-da 2001.

Siswo Budoyo pimpinan Ki Siswondo H.S., dan Wah-yu Budoyo di Kediri pimpinan Ki Pujo Sewoko, boleh dibilang ikon kejayaan ketoprak tobong era 1970-an dan 1980-an. Pada dekade itu, gairah kesenian ketoprak tobong seperti keprak—kentongan yang dibu-nyikan sebagai tanda pergantian adegan—yang bertalu di bibir panggung pertunjukan. Demikian marak di berbagai tempat, dan penonton pun rela mendatangi tobong-tobong pertunjukan.

Tetapi televisi perlahan menggusur keperkasaan tobong. Hal itu diakui Widayat, 64 tahun, praktisi ketoprak senior Yogyakarta. Menurut dia, orang le-bih memilih duduk di depan televisi yang menawarkan ragam hiburan—termasuk ketoprak. Jadi, buat apa susah-susah mendatangi tobong dan harus membayar pula? ”Lagi pula, tempat yang strategis untuk membangun tobong juga kian habis,” katanya di sela acara Festival Ketoprak. Dekade 1990 napas ketoprak tobong tinggal satu-satu: hidup segan, mati tak mau.

Penonton kian sepi, pemasukan pun tak pasti. ”Waktu itu, kalau lagi ramai, saya dibayar Rp 5.000. Tapi, kalau tidak main karena tak ada penonton, ha-nya dapat uang makan Rp 1.500,” ujar Larto, yang pernah ikut Siswo Budoyo. Tapi Siswo Budoyo Tulungagung tutup layar dengan menggelar pementas-an terakhir sebelum Lebaran 2001. Di tempat lain, tobong-tobong ketoprak juga gulung tikar.

Setelah ketoprak tobong surut, ketoprak tanggap-an malah bermunculan. Ini terutama terjadi di kawasan Pati dan sekitarnya. Menurut Seto, 45 tahun, penata gamelan dan tata suara di banyak kelompok, grup-grup ketoprak itu tak mendirikan tobong, tapi menunggu tanggapan. Model ini ternyata berhasil, se-kurangnya sampai saat ini.

Seto menduga keadaan ini terjadi karena selera masyarakat di pantai utara (pantura) sedikit bergeser. Pada dasarnya, akar kesenian masyarakat Pati dan sekitarnya sudah cukup kental. Mereka selalu menggelar kesenian tradisi ketika mengadakan upacara sedekah laut, sedekah bumi, atau hajatan. ”Sela-ma- ini masyarakat menanggap wayang kulit,” katanya.-

Belakangan disadari, dengan dana yang sama, orang bisa menanggap ketoprak—yang sebetulnya berbiaya produksi lebih banyak karena me-libatkan lebih banyak kru. Dalam pementasan ketoprak, ”Sua-sana akan lebih ramai, dan penonton berta-han sampai selesai,” ujar bapak tiga anak ini. Ia lalu mem-bandingkan dengan seorang dalang kondang Solo yang hanya didatangi sedikit penonton saat pe-ntas di Pati. Sekarang bahkan berkembang pemeo, se-se-orang belum merasa afdol jika tak menanggap ketoprak saat memiliki hajat.

Kini di Pati ada sekitar 35 grup ketoprak. Bagi anggota kelompok yang laris, main ketoprak sudah bisa dijadikan sandaran hidup. Lihatlah Kelompok Konyik cs, yang kini tengah kondang di kawasan pantai utara itu. Untuk setiap pentas di kawasan Pati, mereka mematok tarif Rp 5,5 hingga 7 juta. Mentas di luar kota tentu tarifnya lebih besar. Sekali ditanggap biasanya mereka main dua sesi, yakni siang dan malam.

Pada bulan-bulan ramai, terutama bulan Jumadil-awal hingga Ruwah, mereka bisa manggung 17 hingga 27 kali per bulan. ”Bahkan, pernah satu bulan full main terus, tak ada istirahatnya,” ujar Mogol, adik Konyik (lihat Suatu Malam di Tanah Tandus). Pemain utama biasanya mendapat honor Rp 100-150 ribu sekali main. Sedangkan pemain di bawahnya Rp 50-80 ribu, dan tenaga kasar Rp 50 ribu. Saat ini Grup Konyik didukung 70 orang personel—pemain, pengarawit, sinden, sopir, dan tenaga kasar.

Konyik saat ini hidup berkecukupan dengan rumah ba-ru di Kompleks Rendole Bukit Indah, Pati, sehar-ga Rp 85 juta. Untuk mendukung mobilitasnya, Ko-nyik me-miliki sebuah jip Katana. ”Semua ini dari hasil -ke-to-prak.”

Rezeki tanggapan juga dirasakan oleh grup-grup yang agak berada di pedalaman, misalnya di Purwo-da-di, Grobogan. Grup Purwo Budoyo pimpinan Loso Carito, 40 tahun, adalah salah satu yang paling kondang di kawasan ini. Sama dengan Konyik, pada musim tanggapan sebulan mereka bisa main lebih dari 20 kali. Tarif dan pembagian rezekinya pun tak jauh berbeda dengan Konyik cs. Hanya, di kawasan ini grup ketoprak biasanya cuma main malam hari. ”Siangnya klenengan saja,” kata Loso.

Namun di kawasan pedalaman ini ketoprak pu-nya saingan berat, yakni pentas tayuban. Inilah jenis kesenian yang tumbuh dari masyarakat di pinggiran hutan. Sekali main, kelompok tayuban mematok ta-rif antara Rp 900 ribu hingga Rp 1 juta. Tetapi Loso me-miliki perhitungan sendiri untuk tetap optimistis. Dia memerinci, di Kabupaten Grobogan ada 19 kecamatan dan 250 kelurahan. Jika musim hajat tiba, tanggapan akan berdatangan dengan deras. Itulah saat-saat mereka memetik hasil panen. Ia jadi tak takut bersaing dengan tayuban.

Toh, tak selamanya rezeki mengalir kencang. Pada bulan sepi tanggapan, para seniman panggung itu akan menjajal segala pekerjaan untuk menutup kebutuhan. Sebagian kembali menggarap sawah atau menunggui toko kelontong kecil-kecilan. ”Karena saya petani, ya akan kembali ke sawah,” kata Loso.

Bagi Larto, masa sepi tanggapan tak membikinnya keder. Di rumah dia akan mengaktifkan kelompok Campursari dan reog. Bapak dua anak ini memang mulai melirik cabang kesenian tradisi lain untuk tetap bertahan. Tetapi tentu saja ini juga musiman.

Jika semua sedang sepi, akhirnya Larto harus ter-jun- ke sawah. Bukan memacul tanah, tapi mengope-ra-si-kan mesin giling padi, selep keliling. Mesin selep ini milik seorang juragan, dan bersama seorang kawan ia jadi operatornya. ”Di masa panen, kami mendatangi- sawah-sawah menawarkan selepan,” katanya.

Hasilnya cukup lumayan. Sehari kerja, dari pukul sembilan pagi hingga tiga sore, mereka bisa menganto-ngi- Rp 150 ribu. Uang itu dibagi-bagi: Rp 100 ribu untuk- juragan pemilik mesin, Rp 50 ribu dibagi dua Larto dan temannya.

Di sela waktu luangnya Larto sama sekali tak meninggalkan ketoprak. Bersama tiga teman setianya sejak 1987, yakni Karmun, Sardi, dan Ambon, mere-ka- akan mencoba teknik-teknik keprukan baru. Dia a-kui persaingan tim keprukan antarkelompok sema-kin- ketat. Apalagi adegan perang adalah salah satu yang selalu ditunggu-tunggu penonton.

Untuk memperkaya gerakan, Larto sering mempelajari gerakan-gerakan aktor Kungfu Jacky Chan. ”Pernah pada malam hari saya gedebag-gedebug sen-dirian sampai istri terbangun dan terheran-heran,-” katanya. Biasanya, Larto tak akan berhenti mencoba sebelum menguasai gerakan barunya.

Menjaga kemampuan ”akting” saat sepi tanggap-an sudah jadi tuntutan profesi. Sebab, dalam pe-ntas-pentas tangapan di kawasan pantura, adegan perkelahian bisa memakan durasi satu jam lebih. Maklum, pentas berlangsung siang dan malam. ”Jika ada tanggapan seminggu penuh, saya akan minum jamu suruh,” ujar dia. Jamu dari daun suruh (sirih) yang diperas konon berkhasiat melonggarkan pernapasan dan berfungsi mencuci darah.

Dengan seluruh ikhtiar itu, Larto menyimpan secuil harapan, bahwa ketika musim tanggapan tiba, dia tak akan tersingkir dari panggung. Dia dan sedulur lanang-nya—demikian ia menyebut tiga kawan setianya sejak 1987—tetap bisa bermain di Setiyo Budoyo, ataupun di kelompok lain, untuk menjadi wa-yang kepruk.

Larto terus menyimpan harapan. Pada kelompok ketoprak di belahan selatan Jawa Tengah, harapan bahkan sudah jadi barang mewah. Ketoprak tobong yang masih hidup hanyalah milik Seniman Muda Surakarta, yang lebih dikenal dengan Ketoprak Ba-lekambang. Itu pun mereka menjalani hari-hari de-ngan ketidakpastian.

Di luar itu, boleh dikata tak ada grup-grup ketoprak tanggapan, karena memang tak laku. Kala-u-pun ada grup ketoprak, biasanya diprakarsai instansi pemerintah daerah atau dewan kesenian setempat. ”Jadi, keberadaannya sekadar untuk nguri-uri kabudayan (merawat kebudayaan),” ujar Agus Krisbianto-ro, tokoh ketoprak Klaten.

Dalam festival Februari lalu memang terlihat wakil-wakil dari eks Karesidenan Solo, grup-grup milik instansi pemerintah dan dewan kesenian. Misalnya ada Ketoprak KKMTR (Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Klaten), Ketoprak Racak Sari PLN Semarang, Ketoprak Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Sragen, dan lain-lain. ”Saya kira tahap pertama agar kesenian ini tak hilang adalah jangan menuntut kelompok itu bisa menghidupi pemainnya. Biarlah sekadar nguri-uri dulu,” kata Agus.

Joko Malelo, 50 tahun, pimpinan grup DKD Sragen, menandaskan tak mungkin ketoprak dijadikan mata pencaharian seperti di pantura. Sekarang ini, kata dia, mendapatkan tanggapan tiga bulan sekali saja sudah lumayan. Alhasil, sekadar untuk memenuhi hajat hidup paling dasar, mereka harus meninggalkan panggung. Rezeki pun mereka kais dari menjadi buruh, pelayan toko, dan jasa lainnya. ”Saya sendiri jual buah-buahan,” kata Joko.

Tetapi entah karena panggilan jiwa atau pangil-an perut, sebagian dari mereka memilih njajah desa milang kori, merantau ke pantura, bermain di grup-grup lokal. Joko termasuk yang memilih jalan ini. Dalam sebulan, ia bisa bermain tujuh kali di kawasan pantura. Dan karena jam terbangnya sudah tinggi, ia sering diminta menjadi pemeran utama. Sekali main ia dibayar Rp 150-200 ribu.

Joko Malelo memang bukan orang baru dalam jagat ketoprak. Semasa muda ia malang-melintang di berbagai ketoprak tobong. Dia bahkan tercatat seba-gai salah seorang pendiri grup Cipto Budoyo (1979) yang kondang itu. Ia memimpin grup ini mulai berdiri hingga ambruknya pada tahun 2000.

Seniman Sragen lain yang mengikuti jejak Malelo adalah Sri Poncowati, 30 tahun. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan menjadi primadona kelompok Konyik cs di Pati. Sehari-hari ibu dua anak ini tinggal di Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen. Pekan lalu, Sri kembali memperkuat grup Konyik ketika manggung di Pucakwangi, Pati.

Sekali main, ia menerima honor Rp 150 ribu. ”Sebagian honor itu saya tabung untuk cadangan jika sepi tanggapan,” ujarnya. Dengan hasil ngetoprak itu-lah ia tak harus tertatih mengurusi dua anaknya, meski se-bagai orang tua tunggal. Di dunia pertunjukan- tradisi ini, Sri sudah malang-melintang selama 15 tahun-.

Bagi Widayat, komunitas ketoprak harus menyesuai-kan diri dengan perkembangan masyarakat. Bahkan juga bagi grup-grup yang laris tanggapan. Masyarakat, kata dia, gampang jenuh jika ketoprak hanya ber-tahan pada pola pertunjukan yang itu-itu saja—baik ketoprak tobong maupun tanggapan. ”H-arus ada per-ubahan format. Pola konvensional tradisi boleh diper-tahankan, tapi yang lain harus digarap. Misalnya da-lam hal dramaturgi,” kata dia.

Widayat meyakini, sejatinya antusiasme penonton ketoprak masih tinggi. Terutama terhadap ketoprak yang masih setia pada pakem tradisi. Hanya, komunitas ketoprak kurang tajam menangkap selera masyarakat. ”Kawan-kawan seniman ketoprak harus le-bih kreatif menangkap dan mengolah selera penonton itu,” katanya.

Tulus Wijanarko dan Anas Syahirul (Solo), Bandelan Amiruddin (Pati)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus