Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung berwarna adem di Perumahan Prapen Indah Blok A Nomor 12, Kelurahan Prapen, Kecamatan Tenggilis Mejoyo, Surabaya, itu kini sepi. Semua pintunya tertutup rapat.
Cuma ada dua lelaki penjaga rumah dan perawat tanaman yang datang saban menjelang tengah malam. "Sejak yang punya rumah tewas, anak-istrinya ikut meninggalkan rumah tersebut," ujar Suyoto, tetangga di seberang rumah, sekaligus ketua seksi keamanan lingkungan setempat.
Tidak ada yang tahu ke mana mereka menyingkir setelah sang kepala keluarga, Tan Harry Tantono, 51 tahun, ditemukan mati mengenaskan di sebuah kamar hotel di Jakarta Pusat, 26 Januari lalu. Keluarga itu memang dikenal tak pernah bersosialisasi dengan lingkungan. Terakhir, mereka pergi begitu saja tanpa melapor atau berpamitan, kepada Suyoto sekalipun.
Ihwal kabar kematiannya, "Tidak ada laporan sama sekali dari pihak keluarga kepada pengurus kampung atau perangkat kelurahan," kata Suyoto, sambil menambahkan, "Kami tahunya malah dari media massa."
Namun suatu kali, Suyoto menambahkan, Tan alias Ayung, yang biasanya jarang kelihatan, terlihat di rumah berturut-turut pada 21-25 Januari lalu. Komisaris Utama PT Sanex Steel Indonesia (sekarang PT Power Steel Mandiri), perusahaan peleburan besi terbesar di Kabupaten Tangerang, itu rupanya merayakan Imlek bersama keluarganya.
Saat itu, Ayung meminta izin menyulut kembang api dan membakar petasan agar perayaan tahun baru Cina tersebut tambah meriah. Tapi hal itu urung dilakukan karena dilarang Suyoto. "Karena tidak ingin suasana di lingkungan ini menjadi gaduh," ujar Suyoto, yang ditemui Tempo pada Kamis pekan lalu.
Itu rupanya rangkaian komunikasi terakhir Ayung. Pada 25 Januari pagi, dia sudah terlihat berkemas lagi. "Besoknya, saya lihat siaran televisi, dia dibunuh di hotel," kata Suyoto.
Kesan tertutup juga dimunculkan ketika jenazah Tan yang penuh luka tusuk itu disemayamkan selama tiga hari di ruang VVIP di lantai 8 Rumah Duka Heaven, Pluit, Jakarta Utara, tepat di pengujung Januari lalu. Bahkan tak jelas benar mana keluarga inti yang dimaksud Suyoto dengan seorang istri dan empat anak.
Saat itu, hanya seorang pria bernama Darta yang mengaku sebagai wakil keluarga yang bersedia memberi sedikit keterangan. "Anggota keluarga masih banyak yang syok," katanya. "Soal kematian sekarang diserahkan sepenuhnya oleh keluarga kepada polisi." Itu saja.
Kendati keluarga Ayung sehari-hari tertutup, seorang anggota satpam di Perumahan Prapen, Solichin, mengatakan mereka tak pernah absen membagikan bingkisan bahan kebutuhan pokok setiap Idul Fitri—meski itu dilakukan lewat pembantu. "Katanya yang menyuruh istrinya Ayung," ujar Solichin.
Ironis, justru kematiannyalah yang akhirnya mengungkap profil Ayung. Dia yang tidak dikenal di antara pengusaha asal Jawa Timur ini ternyata justru cukup dekat dengan Agung Laksono, politikus Partai Golkar yang kini menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Agung sendiri mengaku datang melayat ke rumah duka di Pluit sebelum Ayung dimakamkan di Surabaya pada 1 Februari lalu. Dia terang-terangan mengaku mengenal Ayung sebagai sesama pengusaha baja.
Ayung juga disebut-sebut berambisi menggarap proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda. Menurut Carrel Ticualu, kuasa hukum Ayung, kliennya sering bolak-balik Indonesia-Cina untuk bertemu dengan sindikasi yang berpengalaman ikut membangun Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). Ia juga menjajaki bank-bank Cina yang mungkin tertarik pada proyek tersebut.
"Dia ini pengusaha tulen. Dia juga donatur untuk beberapa parpol," kata Carrel Ticualu ketika ditemui Tempo di kantornya di kawasan Kelapa Gading, Jumat pekan lalu.
Ditemui secara terpisah, Wakil Sekretaris Hubungan Masyarakat Partai Golkar Surabaya Ismet Rama membantah kedekatan Partai Golkar, baik di tingkat kota maupun Provinsi Jawa Timur, dengan pria yang masih kental logat Mandarinnya itu. "Tidak ada yang tahu dengan yang namanya Ayung, tapi saya tidak tahu kalau Golkar pusat," kata Ismet.
Namun sumber Tempo yang memahami dunia perkara tanah menyampaikan bahwa Tan nyambi dalam kasus-kasus sengketa tanah. Dia disebutkan berperan memasok informasi soal sengketa tanah bernilai tinggi kepada Candra Srijaya, advokat yang banyak menangani perkara sengketa tanah dari Surabaya.
Setelah perkaranya dianggap menjanjikan, demikian kata sumber tadi, Ayung dan Candra masuk ke kasus tersebut dan "membersihkan" semua masalah hukum sampai tingkat Mahkamah Agung. "Setelah bersih dari kasus, tanahnya kemudian dijual dengan harga tinggi," kata sumber itu.
Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Candra membantah keras. Ia bahkan mengaku tidak kenal Ayung. "Bohong besar itu. Tahu orangnya saja sama sekali tidak," ujar Candra, Kamis pekan lalu.
Hingga 2011, Tan juga sebenarnya masih tercatat dalam daftar pencarian orang (DPO) Direktorat Jenderal Imigrasi. Dia dijerat pidana karena dugaan pemalsuan kewarganegaraan dan kepemilikan paspor ganda. Kasus itu merupakan buntut dari perselisihan PT Sanex Steel yang diwakili Tan dan pemilik saham lain dengan Arifin alias Ho Giok Kie karena masalah utang piutang.
Sebelumnya, pada April 2007, Arifin diadukan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan tuduhan memalsukan sejumlah dokumen perusahaan serta memberikan keterangan palsu kepada notaris untuk mendapatkan pengakuan dari PT Sanex.
Sebagai balasan, Arifin ganti membongkar soal pelanggaran keimigrasian Tan. Data kelahiran Tan di Surabaya pada 1961 dituding palsu dan disebutkan bahwa selama ini ia masih berstatus warga negara asing.
Di sinilah lalu ada peran pengacara Amir Syamsuddin—kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia—yang membuat kasus sukses berujung surat perintah penghentian penyidikan. "Benar almarhum pernah menjadi klien saat saya masih aktif sebagai pengacara," kata Amir lewat pesan BlackBerry-nya kepada Isma Savitri dari Tempo, Jumat pekan lalu. Saat itu, Ayung sudah mendekam di ruang tahanan selama delapan bulan untuk kasus kartu tanda penduduk ganda dan kepemilikan narkoba.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Maryoto mengatakan status buron Tan telah dicabut sebelum dia tewas. "Dia masuk DPO karena beberapa kali pemanggilan tak datang. Tapi, karena akhirnya dia datang ke Imigrasi, status buronnya dicabut," ujar Maryoto. Ia tak mampu mengingat kapan Tan datang, tapi penyidikan Imigrasi itu ditegaskannya masih dilakukan dan baru terhenti karena kematian Tan pada 26 Januari lalu.
Pengacara John Kei, Tofik Chandra, mengatakan hubungan John dan Ayung sangat akrab. Ayung sering membantu John Kei dan begitu juga sebaliknya.
Ayung pertama kali bertemu dengan John Kei, menurut Carrel Ticualu, di dalam ruang tahanan titipan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ayung ditangkap polisi pada 31 Desember 2006 saat dalam perjalanan menuju pabrik besi miliknya di daerah Balaraja, Tangerang. Sedangkan John Kei ditahan lantaran kasus keributan di Bekasi. Di sana, Ayung dan John mulai berkawan hingga menjadi akrab. "Sudah seperti saudara," katanya.
Wuragil, Syailendra, Suseno, Ananda Badudu, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo