Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Berdarah John

Polisi mendalami keterlibatan John Kei dalam sejumlah kasus lama yang melibatkan anak buahnya. Namun belasan kasus kejahatan baru juga menantinya.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK banyak yang berubah pada kamar tipe superior bertarif Rp 200 ribu per malam di lantai dua Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan, itu. Interior dan perangkat kamar tak banyak yang diganti. Terletak persis di atas ruangan resepsionis, kini yang berbeda hanya nomornya. Semula 301, sekarang 306.

Di kamar ini, 12 Oktober 2004, pentolan pemuda Maluku, Basri Jala Sangaji, diserang sekelompok orang sampai akhirnya tewas saat dilarikan ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta.

Mukti, resepsionis yang bertugas saat kejadian itu, mengenang peristiwa pembantaian Basri. Pada dinihari itu, sekelompok pemuda dengan wajah beringas tiba-tiba masuk menuju kamar 301. Sebagian menggenggam kelewang dan golok. "Setelah itu, terdengar keributan dan bunyi tembakan," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Lima belas menit berselang, para penyerang kabur dari hotel menggunakan empat mobil. Tak lama setelah itu, menurut petugas satpam yang saat itu tengah jaga, Sunaryono, tiga orang berlumuran darah datang meminta dia segera mencari taksi untuk mengantar mereka ke rumah sakit terdekat. Satu di antaranya belakangan diketahui bernama Basri, 35 tahun. Ia digotong dua orang yang juga menginap di kamar 301 itu, Ali Sangaji, adik Basri, dan Jamal Sangaji, orang kepercayaan Basri. "Ketiganya terluka parah," kata Sunaryono, yang kini bertugas di restoran hotel itu.

Keesokan harinya, Kepolisian Daerah Metro Jaya melansir kabar Basri tewas. Dadanya berlubang bekas terjangan peluru dan tangan kirinya putus. Ali terluka parah karena selangkangannya tertembak. Tangan kanan Jamal nyaris putus ditebas golok. Hari itu juga, polisi memeriksa John Kei karena ia yang paling dicurigai. Tujuh bulan sebelumnya, kelompok Basri yang tengah menjaga Diskotek Stadium di Jakarta Barat diserang puluhan orang Kei. Dua anak buah Basri tewas.

Karena tak ada bukti, polisi melepas John Kei. Belakangan, polisi menetapkan delapan anak buah John sebagai tersangka kasus itu. John sendiri mengaku para tersangka itu adik-adiknya, bukan anak buahnya. Kendati menjadi pentolan Angkatan Muda Kei, dia mengaku tidak punya anak buah.

Kasus ini seperti tutup buku setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum para pelaku itu. Tiga di antaranya divonis sembilan tahun karena terbukti sebagai pelaku utama. Sedangkan lima lainnya divonis satu sampai empat tahun karena hanya sebagai pelaku pembantu.

Pekan-pekan ini, dugaan keterlibatan John Kei dalam kasus pembunuhan itu kembali diutak-atik Kepolisian Daerah Metro Jaya. Setelah dia ditangkap penyidik Polda Metro Jaya karena diduga terlibat pembunuhan Tan Harry Tantono alias Ayung, Jumat dua pekan lalu, sejumlah kasus yang diduga melibatkannya kembali dibongkar. "Kami mulai mendalami keterlibatan John Kei dengan kasus-kasus lama yang melibatkan anak buahnya," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Toni Harmanto.

Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S. Radjab mendukung langkah anak buahnya. Kalau buktinya kuat, kata dia, kasus itu bisa disidik. "Seperti kasus pembunuhan sekarang, karena dia diduga terlibat, kami tangkap," ujar Untung.

Selain dalam kasus pembunuhan Basri, keterlibatan John Kei tengah diendus dalam kasus keributan di Blowfish Kitchen and Bar, City Plaza, Wisma Mulia, Jakarta Selatan, dan bentrokan berdarah di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera.

Keributan di Blowfish, April 2010, dipicu pertengkaran seorang anggota kelompok Kei, Albert Altanya, dengan beberapa penjaga kafe. Malam itu, Albert kena hantam salah seorang penjaga. Tak terima, esoknya Albert membawa belasan temannya, sesama kelompok Kei, ke Blowfish. Tapi para penjaga Blowfish dari kelompok pemuda asal Flores sudah mengantisipasi kedatangan Albert dan kawan-kawannya itu.

Kepada polisi, Kanor Lolo, pemuda asal Ende, Flores, menyatakan saat itu diminta kawannya, Muhammad Sarip alias Mat, datang ke Blowfish. Mat adalah petugas keamanan yang cekcok dengan Albert. Kanor membawa tiga temannya. Sejam berselang, pecah keributan antara Kepala Keamanan Blowfish, Roy, dan kelompok Kei. Kanor dan teman-temannya membantu Roy. "Saya mengambil besi pembatas jalur dan memukul Yopi tiga kali," kata Kanor. Yopi adalah anggota kelompok Kei.

Perkelahian pun menjadi. Seorang teman Kanor, memakai golok, membacok lawannya dari kelompok Kei. M. Soleh, salah seorang dari kelompok Kei, tewas dalam perkelahian itu. Yopi, juga dari kelompok Kei, tewas pula karena banyak mengalami luka bacok. Polisi menduga keributan ini dilatarbelakangi perebutan lahan Blowfish antara kelompok John Kei dan Flores Ende yang dipimpin Thalib Makarim.

Perseteruan itu terus berlanjut saat Kanor Lolo dan tiga temannya diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Empat orang ini didakwa membunuh dua orang dari kelompok Kei. Sejumlah anggota kelompok Kei selalu datang dan memantau persidangan ini. Puncaknya terjadi pada sidang di bulan September 2010. Anggota kelompok Kei memukul Kanor Lolo dan temannya yang menjadi terdakwa.

Sepekan kemudian, teman-teman Kanor menuntut balas. Menumpang minibus, puluhan lelaki Flores turun ke pengadilan. Mereka menenteng golok, pedang, dan senjata lain. "Perang" dengan kelompok Kei pun pecah siang itu. Dua orang dari kelompok Kei, Agustinus Tomasoa dan Frederik Pilo Let, tewas. Seorang sopir bus Kopaja juga menjadi korban.

Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Imam Sugianto berjanji membuka kembali keterlibatan John Kei dalam kasus Blowfish dan Ampera. Pihaknya, kata dia, sedang mendalami dua kasus itu. "Kasus-kasus yang kejadiannya di Jakarta Selatan akan kami proses sampai tuntas," ujar Imam.

Sepanjang 2010 sampai sekarang, Polda Metro Jaya juga telah menerima sedikitnya 12 pengaduan dugaan tindak pidana yang dilakukan kelompok Kei. Salah satunya, ya, laporan pengaduan pembunuhan Tan Harry Tantono, yang dibantai kelompok John Kei, Januari lalu, di Swiss-Belhotel, Jakarta Pusat. Selain laporan pengeroyokan, pengaduan meliputi penganiayaan berat, perbuatan tidak menyenangkan, dan ancaman saat menagih pembayaran kartu kredit. "Akan kami dalami semuanya," kata Untung S. Radjab.

Pengacara John Kei, Tofik Chandra, menilai langkah polisi menelisik keterlibatan kliennya dalam kasus lama tak beralasan. Ia menyebutkan, misalnya, dalam kasus pembunuhan Basri, John tidak terbukti terlibat dan menyuruh. Dalam kasus Blowfish dan Ampera, kata Tofik, justru John Kei yang dirugikan karena korban berasal dari kelompoknya. Sedangkan untuk belasan pengaduan dugaan pidana kelompok Kei ke Polda, menurut Tofik, itu tidak identik dengan John Kei. "Polisi ini aneh," ujarnya.

Dalam hal lolos dari jerat hukum, John Kei tak bisa dibilang mahir-mahir amat. Pada 11 Agustus 2008, ia ditangkap Detasemen Khusus Antiteror di Desa Ohoijang, Kota Tual, Maluku. Dua bulan sebelumnya, John bersama adiknya, Tito Refra, menganiaya dan memotong jari Charles Refra dan Jemry Refra, yang masih terbilang saudara mereka. Kedua orang itu masing-masing ditebas tiga jarinya. John menuduh dua saudaranya tersebut akan membunuh orang tuanya.

Karena alasan menghindari bentrokan antarkelompok, persidangan John Kei dilakukan di Pengadilan Negeri Surabaya. Pada 3 Maret 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yang diketuai Jack J. Octavianus, memvonis John delapan bulan penjara. Vonis ini jauh dari tuntutan jaksa, yang meminta John divonis tiga setengah tahun. Karena sudah ditahan sejak Agustus, John hanya menjalani hukuman sebulan. Setelah itu, ia menghirup kembali kebebasannya.

Kini, John Kei kembali terantuk dalam kasus hukum. Belasan kasus lain juga siap menjerat pria yang ingin anak-anaknya kelak menjadi polisi itu.

Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus