Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLETAK di pesisir selatan Pulau Kei Besar, Desa Tutrean nyaris terisolasi. Untuk mencapainya, perlu satu setengah jam dengan pesawat Fokker 27 dari Ambon ke Langgur, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara.
Dari Langgur, yang ada di Pulau Kei Kecil, perjalanan ke Tutrean dilanjutkan dengan kapal cepat bermesin 80 PK selama empat jam. Di desa nelayan inilah John Refra lahir dan tumbuh. Ia kini terkenal sebagai John Kei, yang disebut polisi sebagai salah satu penguasa dunia preman Jakarta.
Orang Tutrean umumnya tak percaya laki-laki 43 tahun itu dekat dengan dunia kekerasan. Rumatia, guru Sekolah Dasar Inpres Bombay di Desa Enlarang yang pernah mengajarnya, mengingat John sebagai anak penurut dan pendiam. "Dia tak pernah berulah," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Sampai SMP, John bersekolah di kampungnya. Kemiskinan membuatnya harus berjalan tiga kilometer pulang-pergi ke sekolah setiap hari. Tapi orang tua John, yang bekerja sebagai nelayan, Paulinus dan Maria Refra, terus menyekolahkan lima anaknya. Selepas SMP, John—anak kedua—dikirim ke Tual untuk bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Atas.
Di Tual, John mulai bandel. Ia dikeluarkan dari sekolah ketika duduk di kelas II karena berkelahi. Alih-alih pulang ke Tutrean, ia kabur ke Surabaya bersama sepupunya pada 1988. Di ibu kota Jawa Timur ini, ia hidup menggelandang. "Saya jual celana untuk makan, tidur di jalan," katanya kepada Tempo pada 2004.
Hidupnya mulai membaik ketika seorang paman menampungnya. Tapi tak sampai dua tahun. Bersama seorang kerabatnya, ia merantau ke Jakarta. Luntang-lantung sebentar, ia bergabung dengan sasana tinju amatir yang menampung anak-anak muda Ambon.
Penghasilan yang tak jelas sebagai petinju membuat John membuka jasa penagihan utang. Kliennya para pengusaha hiburan malam di daerah Kota, Jakarta Utara. "Ini pekerjaan pertama saya di Jakarta," ujarnya dalam wawancara yang sama.
Sebagai tukang tagih utang, John mengaku tak memakai kekerasan jika debitor kliennya belum bisa membayar. "Kalau belum bisa bayar, ya, negosiasi," katanya. Meski memakai jalan damai, John menyebut tempat pertemuan dengan para pengutang untuk negosiasi itu sebagai "kandang macan".
Pada 1995, nama John sebagai penagih utang sudah tenar. Banyak order yang ia terima. Karena itu, pundi-pundinya mulai kembung. Pada 1997, John menikahi Yulianti, yang melahirkan lima anak. John, yang bercita-cita jadi intel, berharap ada anaknya yang menjadi polisi lantaran ia kagum terhadap kerja korps baju cokelat ini. Karena itu, anak sulungnya dinamai Mossad, nama badan intelijen Israel. Anaknya yang lain dinamai Rambo, simbol ketangguhan.
Di rumahnya di Bekasi, John menampung anak-anak muda Ambon yang datang meminta pekerjaan. Sejak 1998, penagihan utang tak lagi ia lakukan sendiri. Selain jadi tukang tagih utang, anak-anak muda itu berlatih tinju karena John mendirikan sasana Putra Kei. Para petarungnya kerap berlaga di layar televisi. "Sampai sekarang, dia masih tercatat sebagai salah satu Ketua Komisi Tinju Indonesia," kata Tito Refra, adiknya.
Berlimpah uang tak membuat John lupa Tutrean. Ia membangun rumah ayahnya, yang dulu separuh tembok separuh papan dan beratap seng. Rumah itu kini menjadi salah satu rumah termegah di desanya. Tak hanya itu, John, yang menganut Katolik, juga membangun dua gereja.
Gereja Franciscus Xaverius dan Gereja Protestan Rehoboth dibangun dari kas pemerintah kabupaten. Tapi sebagian biaya yang menelan Rp 2 miliar disumbang John. Semua pekerjanya ia datangkan dari Jawa dan ia upah dengan koceknya sendiri. John kini sedang bersiap membangun sebuah sekolah di bawah Yayasan Gereja Protestan Maluku.
Jika pulang ke Tutrean, John membagikan Rp 50 ribu kepada orang miskin dan renta yang berpapasan dengannya di jalan. "Orangnya baik sekali," kata Herman, warga Tutrean. Karena itu, orang sana tak ada yang percaya John seorang preman yang gampang membunuh orang.
Warga kompleks Titian Indah, Bekasi, juga mengenal John sebagai tetangga yang baik. Istrinya kerap berbaur mengikuti senam pagi bersama ibu-ibu lain. Anak-anaknya juga tak canggung bermain di taman perumahan. "Pak John sendiri suka keliling kompleks dengan sepeda, suka mengobrol juga," kata Maulana, ketua rukun tetangga di sana.
Menurut Maulana, warga kompleks justru merasa terganggu oleh anak-anak muda yang menumpang di rumah John. "Suka kebut-kebutan naik motor," ujarnya. Anak-anak muda itu tidur di dua rumah yang dibeli John dua tahun lalu. Karena jumlahnya banyak, mereka suka bergerombol di depan rumah dengan memamerkan tato di sekujur tubuh.
Bagi remaja Ambon yang tak tertampung, John mengontrakkan rumah di dekat rumahnya. John sendiri bersama keluarganya, sepuluh tahun ini, menempati sebuah rumah dua lantai.
Tapi John juga punya sisi brutal. Menurut Herman, warga Tutrean yang berkawan sejak kecil dengan John, karibnya itu tak segan menghukum anak-anak buahnya dengan cambuk atau menghajar mereka dengan kabel. John, kata Herman, tak suka kepada orang yang ketahuan berbohong dan mencuri. "Apalagi jika ada anak buahnya yang makan di warung tak bayar," ujarnya.
Kepada teman sendiri, John juga tak segan memarahi. Daud Kei, Wakil Ketua Angkatan Muda Kei—organisasi yang didirikan John—mengatakan pernah akan dibunuh John karena alasan yang tak jelas. "Hanya dia yang tahu," ujarnya. Pekan lalu, Daud dan puluhan temannya berdemo di depan Markas Besar Kepolisian meminta John dihukum seberat-beratnya dalam kasus pembunuhan bos Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono.
Kepolisian Daerah Maluku juga pernah merekam kesadisan John dalam sebuah insiden di Tual. Pada 2008, John ditangkap dengan tuduhan penganiayaan Jemry Refra dan Charles Refra, yang terhitung keponakannya sendiri. Mereka terluka parah dengan jari tangan kanan buntung.
Jemry dan Charles mengatakan jari mereka dipotong John dan Tito setelah memaki ibu keduanya. Setelah jari mereka dipotong di atas meja batu, keduanya disekap di sebuah hotel, lalu dibiarkan mengerang bersimbah darah di depan rumahnya. Polisi yang datang ke sana kemudian melarikan Jemry dan Charles ke rumah sakit. John dan Tito ditahan.
Sidang John kemudian dipindahkan ke Surabaya. Charles dan Jemry mengulang kesaksian mereka di hadapan hakim. Tapi John, yang menjadi terdakwa, menyangkal menebas jari-jari keponakannya sendiri. Menurut dia, tangan mereka tak sengaja tertebas karena berkelahi dan ia membela diri. John dinilai bersalah dan divonis delapan bulan penjara.
Kesadisan lain adalah cerita tewasnya Basri Sangaji. Basri, yang disebut-sebut preman, tewas dengan lubang peluru di dada, dan tangan putus. Basri kalah bertarung setelah diserbu anak buah John Kei di sebuah hotel. John sendiri hanya diminta jadi saksi dan dinyatakan tak terlibat pembunuhan itu.
Tapi kematian Basri kian melambungkan namanya sebagai pentolan jagoan Jakarta. Menurut mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, sejak itu Angkatan Muda Kei masuk radar pengawasan polisi. "Sebelumnya, yang dikenal cuma Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam," kata Sofjan.
John sendiri menampik disebut preman. "Saya crossboy, orang yang suka kelahi," ujarnya.
Kartika Candra (Jakarta), Mochtar Touwe (Kei)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo