Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyergapan di Kamar 501

Diburu selama kurang-lebih sebulan, tokoh kelompok Kei, John Refra Kei, akhirnya ditangkap di sebuah "hotel jam-jaman" di kawasan Pulomas, Jakarta Timur. Selain menjadikan John tersangka pelaku pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono, polisi akan menjeratnya dengan belasan kasus kejahatan lain yang ia dan kelompoknya lakukan. Kali ini, kata polisi, ia tertangkap karena "jorok".

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA puluh reserse berpakaian preman mengepung Hotel C'One di kawasan Pulomas, Jakarta Timur. Hampir semuanya membungkus diri dengan baju antipeluru dan menenteng senjata laras panjang atau menggenggam pistol. Sekitar pukul 19.00, Jumat dua pekan lalu itu, mereka bersiap menyergap John Refra. Dari intel yang sudah disusupkan ke hotel itu sejak siang, diketahui setengah jam sebelumnya pria yang beken dengan nama John Kei itu sempat terlihat di kafe hotel. Tak lama ia di sana. Bersama seorang perempuan bahenol, pria berbadan tegap yang sekujur tubuhnya penuh tato itu lantas meninggalkan kafe dengan Jeep Wrangler hitam bernomor B-1-TUT.

Para reserse dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya itu dibagi tiga kelompok. Terdiri atas sekitar 20 orang, kelompok pertama, bersepeda motor dan bermobil, berjaga di jalan-jalan di sekeliling hotel. Kelompok kedua, tak kurang dari sepuluh orang, bersiaga penuh di pintu gerbang hotel. Sisanya menyebar di pekarangan. Pendeknya, semua sudut Hotel C'One benar-benar sudah terkurung. Setengah jam sebelumnya, mereka dikumpulkan Wakil Direktur Reserse Ajun Komisaris Nico Afinta di lapangan pacuan kuda, yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Hotel C'One. Dari sinilah mereka bergerak menuju C'One.

Didampingi Kepala Satuan Kejahatan dan Kekerasan Helmi Santika, Nico yang pertama masuk hotel. Ia segera menuju kafe dan di sana bertemu dengan Tito Refra, adik John. Kepada Nico, Tito menyatakan tak tahu-menahu keberadaan John. Mendapat jawaban ini, Nico langsung memerintahkan anak buahnya mencari John di seluruh penjuru hotel.

Para reserse memeriksa setiap garasi di hotel itu. C'One memang jenis "hotel singgah". Hotel itu terdiri atas empat bangunan. Masing-masing memiliki puluhan kamar. Kamar-kamar itu berada di lantai dua, sedangkan bagian bawahnya merupakan garasi. Mobil para tamu langsung masuk ke garasi yang berpenutup rolling door. Dari dalam garasi ada tangga menuju kamar di atasnya.

Sekitar 15 menit menyusuri garasi di sana, para reserse akhirnya menemukan Jeep Wrangler milik John di kamar 501. Ini kamar kelas VIP. Dilengkapi fasilitas Jacuzzi, per dua jam tarifnya sekitar Rp 500 ribu. Bersenjata siap menyalak, seorang reserse, didampingi lima rekannya, menggedor garasi.

Selang beberapa menit, John membuka pintu. Ia terperanjat melihat para tamunya. Ketua Angkatan Muda Kei ini menolak ditangkap. Dengan suara keras, ia mempertanyakan alasan penangkapannya. Tak ada jawaban. Sebaliknya, sejumlah reserse segera menyerbu dan menekuk John.

John berontak. Ia berteriak, menyatakan tak melakukan kesalahan apa pun. Tapi para reserse terus menyeret John ke pintu gerbang. Sepanjang jalan, John terus meronta-ronta. Tiba-tiba, dor, seorang reserse menembakkan pistol FN-nya ke bagian bawah tempurung kaki kanan John. John berteriak, langsung tersungkur. Darah mengucur deras dari kakinya. Sejumlah polisi segera memborgolnya.

John dimasukkan ke mobil dan dilarikan ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Menurut sumber Tempo yang ikut membawa John ke rumah sakit, di dalam mobil, John terus melakukan perlawanan. "Sikutnya ke sana-kemari," ujarnya.

Malam itu, berita penangkapan John, yang selama ini disebut-sebut sebagai salah satu preman terkuat dan paling ditakuti di Ibu Kota, dengan cepat merebak. Tito Refra menuding polisi melakukan pelanggaran karena menembak John yang tak berdaya. "Dia ditembak saat disuruh angkat tangan," kata Tito. Ia mengancam Jakarta akan geger bila sang kakak tidak diperlakukan semestinya. Tapi, kepada Tempo pada Kamis malam pekan lalu, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S. Radjab membantah kabar bahwa pasukannya asal main tembak. "Dia ditembak karena melawan, mau melarikan diri," ujar Untung.

Belakangan terungkap perempuan yang sedang bersama John adalah Alba Fuad, artis bermata belok yang namanya sempat ngetop pada 1980-an. Polisi menemukan Alba tengah fly di kamar John. Di kamar itu ditemukan pula beberapa botol kecil dan seperangkat alat yang diduga untuk nyabu. Alba, kini mendekam di kamar tahanan Polda Metro Jaya, ditetapkan sebagai tersangka pemakai narkoba. Darah dan urinenya mengandung methamphetamine, zat sabu-sabu. "Kalau John, kami belum tahu, dia juga positif memakai narkoba atau tidak," kata Untung. "Yang pasti, ia kami tangkap karena menjadi tersangka kasus pembunuhan."

l l l

Pada Kamis dinihari, 26 Januari lalu, sesosok mayat ditemukan di kamar 2701 Swiss-Belhotel, Jakarta Pusat. Pria itu mengenakan kemeja merah jambu, tergeletak berlumuran darah di atas sofa. Tubuhnya penuh bacokan dan lehernya menganga terkena sayatan. Pria malang itu kemudian diketahui bernama Tan Harry Tantono alias Ayung. Pria 51 tahun itu menjabat Komisaris Utama PT Sanex Steel Indonesia, perusahaan yang bergerak antara lain di bidang industri baja dan berkantor pusat di Tangerang.

Tak ada angin dan tak ada hujan, esoknya tiga pria datang menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Ketiganya, Chandra, Ancola, dan Tuce, mengaku sebagai orang yang "menghabisi" Tan. Kepada penyelidik, mereka menyatakan terpaksa membunuh karena bos Sanex itu tak kunjung membayar Rp 600 juta, uang jasa mereka menagihkan piutang Tan.

Kendati mereka cukup detail bercerita bagaimana membunuh Ayung, polisi tak langsung percaya. "Karena, saat dicecar, ketiganya ternyata tak bisa menunjukkan siapa yang mereka tagih," ujar seorang penyidik. Para penyidik Polda Metro terus mengumpulkan barang bukti serta meminta keterangan belasan karyawan dan petugas keamanan Swiss-Belhotel. Beberapa hari kemudian, penyidik menangkap Dani dan Kupra. Kelima orang itu anak buah John.

John Kei, 43 tahun, memang bukan nama asing bagi polisi. Bertubuh tegap dan kekar, pria asal Kepulauan Kei, Maluku, itu lekat namanya dengan dunia kekerasan. Kelompok John—dikenal dengan nama kelompok Kei—beberapa kali terlibat bentrokan berdarah dengan kelompok preman lain di Ibu Kota. Geng Kei, misalnya, menghabisi nyawa Basri Sangaji, pemimpin geng Maluku lainnya, pada 2004. "Geng Kei memang dikenal sadis dan tak kenal ampun jika sudah berhadapan dengan musuh-musuhnya," ujar seorang polisi.

John sendiri dikenal keras. Pada 2008, misalnya, ia ditangkap Detasemen Khusus Antiteror karena menebas putus jari dua orang yang terbilang masih familinya (lihat "Jejak Berdarah John"). Di Jakarta, geng Kei dikenal sebagai spesialis penagih utang dan penjaga keamanan, dua mata pencarian yang membuat mereka kerap berhadapan dengan kelompok sejenis.

Keterlibatan John dalam pembunuhan Tan menjadi terang-benderang ketika polisi membuka rekaman CCTV Swiss-Belhotel. Menurut sumber Tempo, rekaman itu menunjukkan, pada pukul 21.28, bersama belasan anak buahnya, John menuju kamar 2701. Lalu, pukul 21.41, terlihat Ayung sendirian datang dan masuk ke kamar yang sama. Satu setengah jam kemudian, John meninggalkan kamar bersama tiga orang lain dan turun ke lobi dengan lift. Pukul 22.41, rekaman menunjukkan semua anak buah John—jumlahnya belasan orang—berduyun-duyun keluar dari kamar. Rekaman itu tak menunjukkan sekali pun Ayung ke luar kamar.

Pembantaian terhadap Ayung diduga terjadi antara pukul 21.41 dan pukul 22.41 itu. Kendati awalnya anak buah John yang ditangkap menyatakan tak ada John di kamar 2701, belakangan, menurut seorang penyelidik, mereka buka mulut: bos mereka ada di kamar. Uji forensik terhadap waktu kematian Ayung juga klop dengan jam-jam ketika kelompok Kei berada bersama Ayung di hotel. "Sejak itu, John menjadi tersangka pembunuhan ini," kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto.

Selama ini, kata seorang penyelidik, John kerap lolos dari tuduhan penganiayaan atau pembunuhan karena ia memanfaatkan kesetiaan anak buahnya untuk menjadi martir: mengaku sebagai pelakunya. "Para martir itu sendiri lantas meningkat derajatnya di komunitas mereka," kata sumber itu. Hanya, kali ini, rupanya John kena batunya. "Kali ini kerja John jorok. Ia terekam CCTV," ujar seorang penyelidik.

Tan Harry Tantono sendiri bukan orang sembarangan. Menurut sumber Tempo, Tan dikenal memiliki koneksi dengan pejabat dan petinggi partai politik negeri ini. Jaringan bisnis bajanya terentang hingga ke negeri leluhurnya, Cina. Menurut sumber Tempo, sejumlah partai politik, antara lain Golkar dan Demokrat, pernah mendapat sumbangan dari perusahaan Ayung. Kepada Tempo, pengacara Ayung, Carrel Ticualu, tak membantah kabar bahwa kliennya dekat dengan banyak politikus.

Saat ia meninggal, misalnya, sejumlah tokoh politik, antara lain tokoh Golkar yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, datang melayat. "Dia memang sering menjadi donator partai politik," kata Carrel. Kedekatan inilah yang menurut sumber Tempo membuat polisi dengan cepat, termasuk antara lain karena permintaan sejumlah orang yang dekat dengan Tan, menangkap John. Tapi, tentang permintaan dari orang luar itu, Untung S. Radjab membantah keras. "Kami bergerak dan menangkap karena berdasarkan fakta dan bukti," ujarnya.

Menurut Helmi Santika, intensitas pengintaian terhadap John meningkat sepekan sebelum penyergapan di Hotel C'One. Saat itu, polisi sudah hafal semua tempat yang biasa dipakai atau disinggahi John untuk kongko serta jalan-jalan yang ia lalui. Polisi juga mendapat informasi tak kalah penting: John selalu dikawal lima hingga sepuluh anak buahnya di mana pun berada. "Saat berkendara di jalan raya, ia juga selalu dikawal sedikitnya dua mobil lain," ujar Helmi. Kepala Satuan Kejahatan Direktorat Reserse ini mengatakan polisi melipatgandakan personel saat menangkap John untuk menghindari jatuhnya korban dari pihak polisi. "Apalagi mereka dikenal sering melawan saat ditangkap," ujarnya.

Soal motif pembunuhan terhadap Ayung, sejumlah sumber Tempo yang kenal John dan Ayung ragu jika itu hanya tentang duit jasa menagih utang. "Kalau hanya Rp 600 juta, itu kecil bagi Ayung," kata sumber yang juga anggota partai politik itu. Sumber Tempo lain yakin pembunuhan Ayung dilatarbelakangi persaingan bisnis. "Ada orang yang memakai John untuk membunuh Ayung," kata sumber itu.

Perjalanan Ayung dalam bisnis bajanya tak mulus. Ia, misalnya, bersengketa dengan Ho Giok Kie alias Arifin dalam perebutan saham PT Sanex Steel pada 2005. Perselisihan ini merembet ke kasus lain yang membuat Ayung dipenjara. Di penjara itulah, menurut sumber Tempo, Ayung berkenalan dengan John. "Arifin ini bisa dibilang musuh besar Ayung," ujar sumber itu.

Tito Refra mengaku kakaknya memang berteman baik dengan Ayung. "Mereka bagai saudara," kata Tito. Sumber Tempo lain menyebutkan Ayung berkunjung ke Pulau Kei saat ulang tahun ayah John tiga tahun lalu. "Karena itu, jika John sampai membunuh Ayung, pasti ada kekuatan lebih besar, lebih kuat, yang membuat dia melakukan itu semua," kata sumber ini.

Tempo tak bisa meminta konfirmasi perihal konflik Arifin-Ayung ini kepada Arifin. Dihubungi Kamis pekan lalu, istri Arifin, Eflin, juga menyatakan tak akan berkomentar apa pun tentang hal ini. "Saya ini sibuk," ujarnya. Lalu, klik, ia mematikan telepon. Untung S. Radjab menegaskan, pihaknya juga belum mengarah ke penyelidikan adanya motif persaingan bisnis di balik ini semua. "Kami masih memfokuskan kasus pembunuhannya dulu," kata Untung.


LRB, Mustafa Silalahi

Kronologi Penangkapan John Kei
Hotel C'One, Pulomas, Jakarta Timur, Jumat, 17 Februari 2012

  1. Pukul 19.00
    John bersama teman-temannya terlihat nongkrong di kafe.
  2. Pukul 19.30
    Polisi masuk dan mengepung hotel itu. Sekitar sepuluh reserse berjaga-jaga di gerbang hotel sambil menenteng senjata api. Beberapa reserse lain berjaga-jaga di tiap sudut pagar hotel.
  3. Pukul 20.00
    Setelah dicari ke semua kamar hotel, John Kei diketahui berada di kamar 501. Polisi menangkap dan menggiring John ke arah gerbang hotel. Ia melawan dan berusaha melarikan diri. Polisi menembak kaki kanannya untuk melumpuhkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus