Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari semua siswi Sekolah Menengah Atas 3 Makassar, hanya satu yang menarik perhatian Jusuf Kalla. Dialah Mufidah Mi'ad, siswi kelas I. Meski menjabat Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah, ke mana-mana naik Vespa pula, Jusuf tak berani langsung mendekati siswi baru ini. Ia meminta lima temannya meneruskan salam kepada Mufidah.
Lima siswa utusan Jusuf itu berbondong ke rumah Mufidah dan menyorongkan sebuah amplop bertulis "ARA". Tentu saja Mufidah tak paham apa artinya. "Ini coba kamu ambil, pegang saja," kata salah satu pemuda utusan Jusuf itu.
Karena dipaksa berkali-kali, meski tak mengerti, akhirnya Mufidah mengambil amplop kosong tersebut. Baru saja dia menyentuh amplop itu, pecahlah sorak girang para utusan tersebut. Mereka segera menghambur ke luar rumah Mufidah menemui Jusuf muda, yang sudah menanti dengan harap cemas di atas sebuah bendi. Percaya atau tidak, berita gembira ini, bak film klasik, dirayakan anak-anak SMA tersebut dengan berkeliling Makassar naik bendi itu. Mufidah semakin bingung. tak mengerti apa yang mereka rayakan.
Belakangan, Mufidah tahu bahwa ARA adalah nama kelompok belajar Jusuf. Mereka mendatangi Ida-panggilan akrab Mufidah-untuk membaca pertanda. "Kalau amplop itu diambil, tandanya iya. Kalau tidak, tandanya tidak mau," ujar Ida menceritakan peristiwa awal 1960 itu kepada Tempo, Juni lalu.
Kini Mufidah berusia 71 tahun dan sudah 47 tahun menjadi istri Jusuf Kalla. Jusuf sudah jatuh cinta sejak Ida pindah ke Makassar. Ida adalah putri pasangan Buya Mi'ad dan Sitti Baheram, perantau Minang asal Lintau Buo, Tanah Datar, Sumatera Barat. Mereka sempat tinggal di Sibolga, Sumatera Utara, sebelum mendarat di Sulawesi Selatan.
Di SMA 3 Makassar, Ida adalah adik kelas Jusuf. Umur mereka terpaut setahun. Tapi siapa tak mengenal Jusuf, anak Haji Kalla, pengusaha paling kaya di Sulawesi Selatan? "Orangnya kecil, kurus, tapi populer. Ia juga menjadi Ketua OSIS di sekolah," ujar Ida.
Lulus SMA, Ida melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia. Ia mengira Jusuf, yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, akan berhenti mengejarnya. Sekitar sebulan menjadi mahasiswa baru, Ida dikejutkan oleh kehadiran Jusuf di salah satu kelasnya. Jusuf diperkenalkan sebagai asisten dosen.
Ida langsung paham bahwa itu akal-akalan Jusuf untuk mendekatinya. Sebagai anak orang kaya, Jusuf tak perlu nyambi menjadi asisten dosen. Betul dugaannya, karena gaji Jusuf di Universitas Muslim Indonesia selalu disumbangkan. Jusuf hanya ingin menikmati kebersamaan dengan Ida. "Bukan main Jusuf Kalla ini. Dia benar-benar berusaha mengejar bunga di sini," kata dosen-dosennya, seperti ditirukan Ida.
Selain kuliah, di saat yang sama Ida bekerja sebagai teller di Bank BNI cabang Sarinah, Makassar. Seperti semut mengendus gula, Jusuf membuntuti dan setiap hari setor menabung di bank itu. Hati Ida mulai luluh, dan itu membuat Jusuf memberanikan diri melamarnya.
Lamaran pertama ditolak karena ayah Jusuf beristri dua. Ayah Ida, Buya Mi'ad, khawatir Jusuf mewarisi hal itu. "Ayah saya bilang, 'Anak saya tidak boleh disakiti. Kalau suaminya punya dua istri, pasti hatinya sakit'," ujar Ida. Apalagi Ida satu-satunya perempuan dari sebelas bersaudara.
Saat itu Buya Mi'ad tidak tahu bahwa Jusuf tidak memiliki keinginan ikut-ikutan berpoligami. Itu justru karena Jusuf telah menyaksikan pahitnya kehidupan ibunya, Athirah, ketika ayahnya memutuskan menikah kembali ketika Jusuf masih 14 tahun.
Sebagai anak lelaki tertua di keluarganya, Jusuf yang masih sangat muda itu tiba-tiba harus menjadi kepala keluarga bayangan. Kewajiban menafkahi keluarga memang masih dilakukan Haji Kalla, tapi ia sudah jarang tinggal di rumah istri pertamanya. Kekosongan itulah yang harus diisi Jusuf.
Pengalaman pahit Jusuf Kalla dan ibunya ketika ayahnya menikah lagi, juga pengejaran terhadap Ida, kemudian diangkat sebagai novel berjudul Athirah. Buku itu ditulis Alberthiene Endah, yang dikenal banyak menulis biografi. "Buku ini kapan dibuatnya saya juga tidak tahu, tahu-tahu sudah jadi," kata Ida.
Beberapa bulan setelah lamaran pertama yang gagal, Jusuf kembali melamar Ida. Kali ini dia datang membawa "pasukan": para kiai sekaligus ayahnya. Sang ayah saat itu sudah mengatakan Jusuf tak boleh mengikuti jejaknya berpoligami. Pernyataan itu membuat Mi'ad dan Ida luluh.
Setelah menikah pada 1967, Jusuf berkeras agar Ida keluar dari pekerjaannya. Alasannya, ia tak ingin kesepian di rumah. Tapi Ida terikat kontrak. Jusuf tak kalah set. Setiap hari, setelah mengantar Ida bekerja, Jusuf tak langsung pulang. Ia duduk di lobi bank seharian, menunggu Ida selesai bekerja, sambil membaca koran.
Tentu saja atasan Ida memprotes. Tapi tampaknya inilah yang diharapkan Jusuf karena ia sudah mempersiapkan jawaban untuk meladeni protes itu. "Kalau Mufidah keluar dan harus bayar penalti, saya bayar semua, berapa saja," kata Jusuf. Uang penalti sebesar Rp 30 ribu pun dibayarkan.
Saat itu Jusuf Kalla bukan lagi anak bos besar. Dialah bos besar. Tak lama setelah mereka menikah, NV Hadji Kalla Trading Company, perusahaan keluarga Kalla, diserahkan kepada Jusuf, yang baru 25 tahun. Tapi dia menjadi bos besar dari perusahaan yang hampir runtuh. "Ketika perusahaan diserahkan, kami hampir tidak bisa bekerja. Pegawai yang tersisa hanya satu orang," ujar Ida.
Untuk menghidupkan kembali perusahaan sekarat ini, Jusuf memutuskan kembali dari nol, terjun ke bisnis jual-beli mobil Toyota. Dia mengajak Ida membantunya sebagai sekretaris sekaligus mengatur keuangan. "Pertama kali kami mencoba membeli sepuluh mobil dari Jepang. Belum sampai di Indonesia, semua mobil sudah habis dipesan," kata Ida.
Bulan berikutnya, mereka mendatangkan seratus rangka mobil, yang satu-satu dirakit di pekarangan rumah. Pegawai ayah Jusuf pelan-pelan kembali dikumpulkan untuk membantu mereka. Karena paduan merakit mobil dimuat dalam bahasa Jepang, tak jarang terjadi kesalahan teknis.
Toh, akhirnya seratus mobil pun laku dalam waktu singkat. NV Hadji Kalla pelan-pelan kembali berotot. Mereka kemudian bisa membuat kantor dan showroom besar yang, "Paling megah di Makassar, apalagi dekat dengan pasar sentral," ujar Ida. Mobil yang didatangkan berjumlah ribuan dan tak lagi harus dirakit di Makassar. Perusahaan kemudian dikembangkan dalam berbagai anak usaha.
Setelah anak kedua pasangan muda ini lahir, Ida lebih banyak di rumah mengurus anak. Ia tak banyak mencampuri urusan bisnis, terutama karena Jusuf memang tak membawa pekerjaan ke rumah tangganya. Kebiasaan tak membawa pulang pekerjaan ini dilanjutkan ketika Jusuf makin aktif di ranah politik. "Mungkin ini yang membuat dia tidak kacau karena istrinya tidak menuntut ia harus begini atau begitu," ujar Ida.
Meski tak membawa masalah pekerjaan ke rumah, sebaliknya Jusuf Kalla membawa keluarga ke pekerjaannya-terutama ke bisnisnya. Solihin Kalla, anak keempatnya, yang merupakan putra tunggalnya, sejak bocah sudah dikenalkan pada kerajaan bisnisnya. Bahkan, sejak berusia tiga tahun, sang "putra mahkota" sudah diikutkan dalam rapat. "Untuk anak saya, disediakan kursi sendiri. Kalau ia sudah mengantuk, diserahkan kepada sekretarisnya," ujar Ida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo