Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tukang Diskusi, Tukang eksekusi

Sejak muda, ia bersahabat dengan banyak orang dan golongan. Terkenal cepat mengambil keputusan.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah besar di samping Masjid Raya Ujungpandang di Jalan Andalas 2, Makassar, itu tak pernah sepi. Saban hari di rumah ini ramai keluar-masuk mahasiswa. "Karena HMI belum memiliki sekretariat, jadilah rumah itu markas yang kami pakai selama 24 jam," ujar Alwi Hamu, teman kuliah Jusuf Kalla, yang kini bos media Fajar Group.

Alwi mengenang tidak pernah ia mendengar keluhan si empunya rumah tentang keberadaan mereka di sana. Bahkan ibu Jusuf, Athirah, selalu menyediakan makanan dan minuman untuk mereka.

Itu memang rumah orang tua Jusuf Kalla. Semasa kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Ujungpandang, Jusuf memang aktif dalam berbagai kegiatan. Salah satunya, ya itu tadi, pada Himpunan Mahasiswa Islam.

Haji Kalla membangun rumah itu pada awal 1950, sebagai salah satu "hasil" kesuksesan berbinis pria asal Watampone tersebut. Rumah berlantai dua dengan 11 kamar itu-dalam kenangan masa kecil Halim Kalla, putra kedelapan Haji Kalla-selalu ramai didatangi mahasiswa teman-teman Jusuf kakaknya. Menurut Halim, ada rencana keluarga besar untuk menjadikan rumah tersebut kini sebagai museum.

Jusuf sendiri yang menjadikan rumah ayahnya itu sebagai sekretariat HMI. Di organisasi yang kini alumnusnya banyak menjadi orang penting itu, dia pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ujungpandang pada 1965-1966. Dia juga menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (1964-1966) dan Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan (1965-1968).

Itulah tahun-tahun saat negeri ini dilanda berbagai gejolak dan mahasiswa turun ke jalan. Seperti KAMI di kota-kota besar lain-terutama di Jawa-Jusuf dan teman-teman menggelar demo atas kebijakan pemerintah yang mereka nilai membuat hidup masyarakat semakin sulit. Misalnya demo menentang kebijakan sanering alias pemotongan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Situasi ekonomi yang sulit ini, antara lain, membuat masyarakat susah memperoleh beras. Di Sulawesi Selatan, untuk mengatasi masalah ini, Komando Daerah Militer XIV Hasanuddin, yang saat itu dipimpin Brigadir Jenderal Solihin Gautama Purwanegara, mengambil alih pengendalian beras. Solihin melibatkan mahasiswa untuk menjual beras subsidi ini kepada rakyat.

Dalam buku JK Ensiklopedia (2012) diceritakan bagaimana hubungan Jusuf dengan Solihin. Jusuf mengakui Solihin merupakan idolanya-selain Jenderal M. Jusuf, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI. Dari Solihin, Jusuf mengaku banyak belajar tentang kemasyarakatan. Rasa hormat Jusuf kepada Solihin kelak ia wujudkan dengan memberi nama yang sama untuk anak keempat dari lima anaknya sekaligus putra satu-satunya. Solihin, putranya itu, lahir di Makassar pada 27 Juni 1976.

Alwi Hamu menyebut sosok lain yang juga menjadi tempat Jusuf berguru, yakni Kolonel Purnawirawan Muhammad Yasin Limpo, ayah Gubernur Sulawesi Selatan saat ini, Syahrul Yasin Limpo. Pendiri Golkar Sulawesi Selatan yang meninggal pada 4 Agustus 2009 itu, menurut Alwi, selalu memberi dukungan bila mereka melakukan demo.

Yasin Limpo, yang kala itu juga sebagai Ketua Kosgoro Sulawesi Selatan, banyak memberi nasihat dan informasi tentang bagaimana menghadapi situasi yang ketika itu sangat tidak menentu. "Beliau juga yang memberikan alat-alat untuk demo, seperti cat untuk membuat tulisan di dinding. Meski militer, dia mendukung aksi mahasiswa," kata Alwi, yang, menurut dia, bersama Jusuf kerap menemui Yasin.

n n n

Kebiasaan berdiskusi dan berbicara dengan siapa saja, termasuk kalangan petinggi, tampaknya yang membentuk pola pikir Jusuf seperti sekarang ini. Dia dikenal cepat dalam mengambil keputusan dan selalu memiliki solusi untuk setiap masalah yang dihadapi.

Setidaknya demikian kesan Alwi Shihab, 67 tahun, yang pernah menjadi kolega dan bawahan Jusuf di pemerintahan. Alwi, yang menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, menceritakan bagaimana Jusuf membuat keputusan penting dengan cepat.

Waktu itu, kata Alwi, pihak Pekerjaan Umum mengeluhkan soal pembebasan tanah sebagai penghambat pembangunan. "Pak JK mengatakan jalan terus saja dan penyelesaiannya di pengadilan. Jadi, ini ada terobosan dari Pak JK," ucap Alwi.

Ali menuturkan pengalaman lain mengenai kenyamanan bekerja dengan Jusuf. Saat itu ia menjabat utusan khusus presiden untuk Timur Tengah. Waktu itu Indonesia tengah berusaha menarik investasi Dubai untuk pembangunan real estate 1.000 hektare di Lombok. Pihak investor mengajukan persyaratan, seperti penyiapan infrastruktur, tapi Indonesia sulit memenuhi.

"Posisi saya di tengah-tengah. Tapi sebenarnya ketidakmampuan Indonesia lebih disebabkan oleh masalah birokrasi. Akhirnya Pak JK sendiri yang menerobos PLN, bicara dengan Menteri Pekerjaan Umum dan sebagainya," kata Alwi. Terobosan itu berbuah dengan rampungnya pembangunan bandar udara. Namun beberapa proyek lain gagal karena terjadi krisis keuangan di Dubai.

Alwi mengenal Jusuf sejak mereka sama-sama kecil di Makassar. Kedua ayah mereka berkawan akrab dan sama-sama menjadi pengurus Masjid Raya Ujungpandang. Ayahnya, Abdurrahman Shihab, menjabat ketua umum, sedangkan Kalla bendaharanya. Dari segi umur, ia lebih muda daripada Jusuf Kalla. "Pak JK itu sepantaran kakak saya, Quraish Shihab. Mereka berteman akrab," ujar Alwi.

Menurut Alwi, suatu ketika, saat tsunami melanda Aceh, Jusuf menelepon Quraish. Saat itu Jusuf memerintahkan ribuan jenazah korban bencana segera dikubur. "Ia sadar dan menelepon Quraish untuk menanyakan apakah korban bencana bisa dinyatakan mati syahid sehingga tidak perlu dikafani. Quraish menjawab bisa. Pak JK bilang, 'Saya bisa tidur nyenyak mendengar jawaban itu. Saya takut salah mengambil keputusan yang saya anggap terbaik'."

Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menyebutkan Jusuf sosok yang enak diajak berdiskusi. "Tema diskusinya tidak terbatas," kata Komaruddin.

Sudah lebih dari enam tahun ini Komaruddin dan Jusuf tergabung dalam Paguyuban Golf Insan Cita. Perkumpulan pegolf yang digagas para alumnus HMI ini berdiri pada 2007. Dari obrolannya dengan Jusuf di sela-sela bermain golf itu, kata Komaruddin, Jusuf menyatakan harus ada tiga kata kunci dalam pendidikan Indonesia. Pertama, pemerataan ilmu pengetahuan. Kedua, ilmu harus menyatu dengan karakter dan diaplikasikan dan ketiga perguruan tinggi harus dekat dengan riset industri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus